ERIZELI JELY BANDARO
Katakanlah ada sebuah BUMN. Pada neracanya tertulis : Modal Rp. 100 M. Hutang Rp. 200 M. Itu artinya leverage terhadap modal sebesar 2 kali. Kelihatannya keren. Management mampu meningkatkan value modal. Bahkan semakin besar leverage semakin efisien menajemen itu. Kalau sudah terlalu tinggi hutang, BUMN akan sangat sulit mendapatkan pinjaman lagi. Sehingga tidak bisa melaksanakan penugasan proyek.
” Jadi bagaimana solusinya ?,” tanya menteri.
“ Pak nilai proyek kan Rp. 50 Miliar. Kami hanya butuh tambahan modal sebesar Rp. 5 miliar. Sisanya kami bisa leverage modal itu lewat pinjaman bank sebesar Rp. 50 miliar. Pemerintah tidak perlu keluar uang. Cukup izinkan kami untuk lakukan aksi korporate, right issue saham, “ kata direksi BUMN. Meneg BUMN senang. Karena tanpa keluar uang tetapi proyek bisa dikerjakan. Padahal walau tidak keluar uang, saham pemerintah sudah berkurang di BUMN tersebut.
Ada juga tekhnik peningkatan modal lewat revaluasi asset. Tinggal diatur konsultan yang bisa membengkakkan asset. Katakanlah revaluasi aset jadi 5 kali dari aset buku. Otomatis struktur permodalan naik 5 kali. Tetapi kan peningkatan aset karena revaluasi itu harus bayar pajak. Darimana duitnya ? Ya APBN lewat PMN lagi. Setelah revaluasi tuntas secara legal, maka BUMN melakukan leverage modal lewat penerbitan obligasi atau hutang ke bank untuk pembiayaan proyek. Biasanya leverage 5 kali. Kalau peningkatan modal 5 kali, maka total nilai modal yang bisa di leverage jadi 25 kali. Keren. Itulah yang terjadi pada PLN.
Kalau otak-atik neraca sulit meningkatkan leverage, maka dipakai skema leverage operasi. Caranya ? Naikan biaya tetap, agar biaya variable keliatan rendah. Sehingga leverage operasi jadi tinggi. Ini terjadi pada proyek jalan tol yang padat modal. Akan mudah dapatkan pinjaman dari bank. Mengapa? Karena kredit bank sebagian besar masuk ke aset. Jadi kalau gagal bayar, aset tetap punya nilai jual untuk disita.
Keliatannya smart. Cepat sekali growth nya. Banyak proyek dikerjakan. Tetapi tahukah anda bahwa leverage itu sangat beresiko. Karena kekuatanya ada pada cash flow. Kalau cash flow terganggu maka cicilan hutang dan bunga tidak terbayar. Ini akan mempengaruhi EBIT ( Laba sebelun pajak) dan menurunnya Return on Equity. Mengapa ? Semakin tinggi leverage semakin tinggi bunga, semakin ketat syarat hutang. Ini wajar saja. Bank atau kreditur mana mau ambil resiko. Satu demi satu aset jadi tidak bernilai. Bangkrut nya cepat sekali. Bank atau kreditur akan sita aset itu dengan harga diskon. Sisanya harus datang dari pemegang saham.
Kalau pemegang sahamnya Udin, ya tinggal nyerah saja. Selesai. Tetapi kalau BUMN, ini bahaya. Mau tidak mau negara harus bailout atau kehilangan segalanya. Hilang aset dan hilang reputasi. Nah tahukah anda, kata SMI, Menkeu di depan Anggota DPR, bahwa 68% BUMN terancam bankrut. Yang menyedihkan mereka yang terancam bangkrut adalah mereka yang kurun waktu 2007-2020 telah menikmati kucuran dana PMN lewat APBN. Hanya 32 % yang tergolong sehat. Mau tahu kondisi real BUMN? Baiklah saya gambarkan secara sederhana.
Sebanyak 55% dari total BUMN mempunyai rasio hutang ( Debt to Equity Ratio) diatas rata rata pada industri sejenis. Artinya potensi bangkrut itu memang karena hutang yang tidak terkendali dan pemborosan yang luar biasa. Sehingga modal negara lewat PMN tidak berdampak positip bagi BUMN. Bahkan 9% dari total BUMN nilai modal nya sudah negatif. Tergerus karena terus merugi bayar bunga, Itu terjadi pada Garuda. Berapa banyak yang sehat ? Hanya 2 % saja dari total BUMN. Sangat mengkawatirkan.
Mengapa sampai terjadi begitu? Padahal prosesnya sudah berlangsung sejak tahun 2007 sampai sekarang. Itu karena fungsi komisaris tidak efektif. Sebagian besar komisaris adalah bagi-bagi kue kepada team pemenang Pilpres dan kader partai. Terlalu banyak intervensi Meneg BUMN, yang justru membuat direksi BUMN lebih fokus kepada lobi politik daripada meningkatkan kinerja secara profesional.
Kalau culture ini tidak segera diperbaiki, maka berapapun PMN digelontorkan oleh APBN, tidak akan berdampak positif bagi BUMN. Bahkan PMN itu jadi skema merugikan negara lewat aksi korporat, yang secara akuntasi tidak bisa dibuktikan itu tindak korupsi. Karena terstruktur dalam leverage asset untuk melaksanakan penugasan proyek, dan fungsi BUMN sebagai agent of development.
Bagaimanapun BUMN harus bisa menjamin bahwa setiap PMN keluar dari APBN, leverage tidak boleh diatas pagu industri sejenis. Karenanya pendekatan mendapatkan PMN harus beroritentasi kepada laba berdasarkan kinerja real bukan sekedar window dressing. Itu sebabnya harus ada upaya analisa menyeluruh terhadap fungsi PMN. Harus ada analisa leverage asset. Atas dasar itu kita bisa fokus menyehatkan BUMN.





