Oleh KATIJOW ELKAYENI
Memang serba mencengangkan kelakuan para ustad zaman now. Sok ngartis, merasa dibutuhkan, dan menganggap diri penting. Orang-orang ini terbiasa hidup dalam sorotan, dikepung puja-puji dan menjadi pusat kekaguman. Mereka akhirnya membuat jarak dengan khalayak. Bahwa ada mereka sebagai imam dan ada kelompok lain bernama jamaah. Derajatnya berbeda.
Atau dengan istilah feodal bisa digambarkan, mereka sebagai tuan tanah dan ada para kuli. Apapun kata tuan tanah, kuli yang bau dan dekil itu harus sendiko dhawuh. Duduk ngleset. Sami’na waato’na, kami dengar dan kami patuhi.
Misalnya Adi Hidayat itu. Orang ini merasa dirinya powerful. Punya banyak massa. Ditakuti. Sehingga, dengan semena-mena ia menunjukkan taringnya. Baru saja ustad berjenggot tebal dan lusuh itu mempolisikan seorang netizen bernama Eko Kuntadhi. Padahal kalau dipahami dengan saksama, tidak ada satu pun delik hukum yang terkandung dalam cuitan Eko Kuntadhi di Twitter itu. Ungkapan Eko itu tidak sedang menuduh siapapun, termasuk Adi. Kalau sedang melucu iya. Kok si Adi yang ge-er ya?
Justru si Adi yang bertampang culun itu pernah menyinggung ajaran Katolik dengan menyebut orang Katolik menyembah Santo Dominggo. Sebutan Santo Dominggo itu kemudian disingkat sebagai Minggu. Ini tentu saja fitnah dan menghina ajaran agama lain. Tapi orang ini seperti tak tersentuh hukum. Bahkan sekarang belagak main hukum. Ia juga oknum sama yang menyatakan telah menemukan obat Covid-19 dari bahan herbal. Dan menurut klaimnya, ia menemukan obat itu berdasarkan hadis Nabi. Wow. Kita harus salto mendengar kabar mengejutkan ini.
Orang seperti Adi Hidayat itu memang sering terlena dengan sanjungan dan keberadaan jamaah yang membludak saat ia berceramah. Oleh sebab itu, ada kesan ia sedang menonjolkan machoisme. Padahal sebenarnya ia cenderung terlihat kerempeng. Gak macho-macho amat.
Mungkin yang menyebabkan Adi Hidayat jumawa itu karena keluarganya merupakan tokoh penting di MUI. Katakanlah pamannya dari pihak ibu yang bernama Rafiuddin Akhyar, pendiri Dewan Dakwah Islam Indonesia di Banten. Perlu diketahui, DDII salah satu ormas utama yang mendapat gelontoran petrodolar dari Arab Saudi, selain LIPIA tentu saja. Ya, negara pengeskpor ajaran wahabi itu memang getol mendanai banyak gerakan keagamaan di luar negeri, termasuk di Indonesia. Apalagi kalau bukan untuk menyebarkan kewahabian dan menelurkan ideologi radikal.
Maka tidak aneh jika orang seperti Adi Hidayat itu sukses. Bukan dari uang saweran yang diberikan panitia pengajian tentu saja. Dari ilustrasi di atas kita tahu dari mana sumber keuangannya berasal. Oleh sebab itulah Adi ini dengan mudah mendirikan banyak jaringan, seperti Quantum Akhyar Institute, Akhyar TV, ia juga eksis di berbagai kanal medsos.
Adi yang telah melepaskan dirinya dari gambaran keustadan sejati ini tidak lagi mampu meraba dirinya sendiri. Sekarang ini ia adalah publik figur, setingkat artis. Wajar kalau disenggol dikit ngamuk. Ngancam mau lapor ke polisi. Biar disorot kamera. Padahal kalau dia benar-benar seorang pemuka agama, mestinya mengedepankan sikap bijaksana. Lembah manah. Pasrah. Mendoakan yang baik. Seperti yang sering diucapkan dalam ceramah-ceramahnya itu. Terbukti, orang ini bisa ngomong tapi gak bisa menjalani.
Adi menampakkan gelagat berbeda. Arogansinya muncul ketika disindir. Sebab dia merasa dirinya adalah tokoh. Semacam tuan tanah di zaman baheula. Sepenting itukah Adi Hidayat bagi Indonesia? Ya enggaklah. Meskipun di biografinya tertulis, Adi itu cerdas sejak kecil, tapi tidak ada karyanya yang monumental. Mungkin di kampungnya ia tergolong paling cerdas, tapi di luar kampungnya belum tentu. Ia sebagaimana kebanyakan pendakwah kekinian, hanya bisa ceramah di atas podium. Gak cerdas-cerdas amat.
Dari segi keilmuan, Adi mungkin sedikit lebih baik dari tukang obat Sugi Nur Raharja, si muka tembok Yahya Waloni atau corong HTI Felix Siauw. Tapi kelakuan arogannya ya sama saja. Jauh sekali jika membandingkan kelakuan Adi itu dengan ulama sungguhan, ustad sungguhan, pemuka agama sungguhan. Orang ini lebih tepat disebut ustad karbitan. Besar karena ada yang mendorong, matang karena dipaksakan, glamour karena ada sokongan. Maka ketika sedikit dikritik, ngambek, ngancam, merasa keagungannya terluka.
“Jangan pernah mengganggu singa yang sedang berdzikir…” kata Adi Hidayat, sambil mengacungkan telunjuknya ke depan. Dengan muka yang culun itu. Dengan mata mengerjap-ngerjap itu.
Yaelah Pak, gak ada mirip-miripnya juga dengan singa. Entahlah kalau maksudnya raja singa…