Aduh Gile Beneer


Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Dahnia si Gadis Alor
Tinggal di Tangsel pacarnye orang Andaman
Dunia ini sedaon kelor
Cukup nge-klik ponsel dalam genggaman

Dalam khasanah sastra lama Indonesia ada dikenal pepatah “Dunia tak selebar daun kelor” yang secara harfiah mengacu pada fakta bahwa dunia itu luas, tidak sempit, tidak kecil sebagaimana daun kelor (Moringa oleifera) atau yang Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jawa 1811 -1819) bilang Dumstick Tree, dan FAO (organisasi pangan dan pertanian dibawah PBB) penyebutnya sebagai atau “Pohon Ajaib”.

Dalam dunia pergaulan, pepatah “Dunia tak selebar daun kelor” juga bermuatan nasihat (dari orang tua atau orang yang dituakan) agar kita, yang muda-muda… (Mas Gunawan Wibisono jangan ketawa, ya…!) jangan cepat putus asa dalam menghadapi persoalan atau kegagalan karena masih banyak pilihan. Bila ‘putus pacar’ gegara gaptek, ya cari yang baru dan belajar lagi IT yang betul seperti kata Mas Soegeng, pengusaha hidroponik dan jaringan multimedia, hi…hi…hi…!

Tapi bila dikaitkan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi masa kini, bisa jadi pepatah “Dunia tak selebar daun kelor” akan langsung berobah menjadi “…dunia ini sedaon kelor…” sebagaimana diungkap pantun pergaulan karya Penyair Betawi di atas, dimana untuk bisa membayar kangen pada pacar yang jauh di Kepulauan Andaman di perairan India sana, Dahnia si Gadis (Pulau) Alor cukup nge-klik ponsel dalam genggaman. Sila ngobrol berjam-jam. Begitu, kan, Kakak Ricke…?

Dunia yang harfiahnya “…tak selebar daun kelor”, dengan ragam perangkat komunikasi modern seperti komputer dan para keturunannya, kini jadi “…sedaon kelor”. Ke pelosok dunia di belahan mana pun, kini bisa kita ‘klik’, didengar dan dilihat hanya dalam sekejap. Bahkan sosok masa lalu dan rajanya gaptek (maaf, ya, Mas Gun…! Mohon sekali lagi, “Jangan ketawa…!”) masih bisa bakusenyum dengan cucunya nun jauh di Kaki Gunung Ciremai, berkat video-call di ponsel sang istri, hi…hi…hi…!

Bahkan pada 22 Juli 1969 (HUT-nya tinggal beberapa hari lagi nih, Mas Dimas…!) kita “warga bumi” bisa menyaksikan astronot Neil Amstrong dan Buzz Aldrin jalan-jalan di Bulan, saat pendaratan wahana antariksa Apollo 11 kepunyaan Amerika Serikat. Keduanya keluar dari cabin Apollo, lalu jalan-jalan dengan langkah kaku sebagaimana dipancar siarkan TVRI. Tak iye, Mas Redjo…?

Dengan ponsel canggih dalam genggaman atau tombol pengatur yang tersambung kabel ke layer tv-monitor, kita memang bisa berhubungan dengan siapa saja dan apa saja dan dimana saja, asal ada koneksi di antara kita, Beberapa malam lalu misalnya, saya bisa ngomong langsung dengan Didi Prambadi (yang baru malam itu saya kenal) di Philadelphia di pantai timur Amerika Serikat, 10.096 mil dari Tangsel Banten saat Didi tanya ini itu dengan Redaksi Seide.id lewat webinar zoom.

Demikian juga dengan Mbak Susi di p’losok Pangandaran, Jawa Barat. Kapan saja dimana saja, mantan pengasong ikan dan pemilik serta operator Cessna Grand Caravan terbanyak se-Asia Pasifik, ini bisa memonitoring pergerakan dan penerbangan 43 buah “montor mabur” yang dimilikinya, berkat sistem pelacakan satelit canggih Blue Sky Network yang lisensinya dia kuasai untuk sekujur Indonesia.

Kemajuan IT memang telah menjadikan masyarakat dunia ibarat tinggal di satu Village World, kampung-dunia yang warganya bisa saling sapa kapan saja. Dimana-mana, termasuk di Commuter-Line lintas Jabodetabek, yang seminggu ini jadi ‘jalan tikus’ bagi orang yang ingin keluar-masuk Jakarta tanpa harus diminta balik pulang oleh petugas jaga PPKM, orang pegang ponsel, berkomunikasi entah dengan siapa, tak peduli dengan orang yang duduk di dekatnya. Sebentuk a-sosial gaya baru.

“Ade juga yang lucu, Bang…!” mendadak, seperti biasa, Mak Wejang memotong konsentrasi saya. “Barusan aye lihat ada sepasang suami-istri paruh baya, duduk berendeng saling adu punggung di kursi-males di teras rumah. Keduanya sama asyik dengan ponsel masing-masing. Tak saling tegur. Asyik tertawa-tawa sendiri sambil pencet-pencet tust ponsel masing-masing…”

“Ternyata keduanya sedang berkomunikasi langsung, membicarakan ihwal kelucuan hidup yang mereka alami bersama semalam. Bah…! Kenapa mereka nggak langsung tatap muka aja? Kenapa harus ngabisin pulsa berjam-jam? Kayak nggak punya pekerjaan laen aja(h)…? Gile beneeer…!” sambung Mak Wejang, sebelum kemudian kabur entah kemana. Tapi terasa benar kekesalannya, ha…ha…ha…!” ***

09/07/2021 Pk 12:24 wib.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.