Bangun tidur siang tadi, saya menengok lantai depan rak buku, tampak amplop warna coklat seukuran sedikit lebih besar dari kertas folio dalam keadaan sudah disemprot cairan “anti virus”.
Seperti pernah saya ceritakan, setiap paket baru tiba, senantiasa diletakkan di lantai depan rak buku untuk disemprot. Setelah itu didiamkan. Beberapa saat kemudian dibongkarlah paket (-paket) tersebut.
Nah, saya baca nama pengirim: Widodo Basuki. Saya duga isi amplop pasti buku atau majalah.
Benar saja, isinya buku. Tepatnya buku kumpulan 43 ‘geguritan’ (puisi Jawa) hasil karya jurnalis dan sang seniman multi talenta yang tinggal di Sukolegok, Sidoarjo, ini. Judulnya : Ajisaka Angejawa. Beberapa sketsa estetik artistik karyanya juga menghiasi sejumlah halaman buku kumpulan geguritan itu.
Saya tak akan menjelaskan detil sosok yang biasa saya panggil ‘Mas Wid’ tersebut. Yang bisa saya tulis, bahwa ia sosok peraih banyak penghargaan, baik sebagai jurnalis maupun sastrawan. Selain itu sebagai pelukis sudah banyak pameran yang diikutinya. Bahkan pernah berpameran tunggal. Belakangan rajin membuat patung dari kayu.
Saya belum membaca seluruh isi buku yang dipengantari oleh Dr. M Shoim Anwar tersebut. Baru melihat-lihat sekilas. Dari sekilasan itu, saya berhenti sejenak pada ‘gurit’ berjudul ‘Weteng’ (perut) — halaman 44, yang pada bait terakhir ditulis begini:
weteng wis micara
endi dalan swarga
apa neraka
Jika dibahasa-Indonesia-kan: perut sudah bicara — mana jalan (mengarah) sorga atau neraka. Sesuatu yang jleb dan kontemplatif. Berhati-hatilah terhadap yang Anda makan, usahakan dari hasil yang halal, begitu kira-kira jika saya interpretasikan.
Tentang judul ‘Ajisaka Angejawa’, saya agak sedikit berkerut, bahwa Ajisaka tokoh dalam legenda Jawa sudah lama saya ketahui, setidaknya
pada saat kelas 3 SR/SD dulu dimana huruf Jawa ‘ha na ca ra ka’ yang diperkenalkan oleh pujangga ini mulai diajarkan. Tetapi ‘angejawa’ ? Saya buka google tidak saya temukan artinya. Adakah ‘Ajisaka Angejawa’ bermakna: pujangga yang mengajarkan peradaban kejawaan ? Atau, ada makna tersirat lainnya?
‘Last but not least’ : tabik berat untuk Mas Wid !