Seide.id – Banyak sekali hal yang berkaitan dengan angka 7. Mulai dari ilmiah sampai klenik. Mulai atom yang menurut para ilmuwan terdiri dari 7 elektron. Para geolog menemukan bahwa bumi tersusun dari 7 tingkatan (lahirnya ungkapan ’langit ke 7’?).
Seminggu terdiri dari 7 hari, Notasi yang terdiri dari 7 angka. 7 samurai. 7 Jendral. Film Pendekar Sumur 7. Selamatan 7 bulanan. Armada ke 7. Seven summit. Sampai ”Kutukan 7 keturunan”…
Sore itu, sebuah truk berisi aparat keamanan berhenti persis di depan bengkel kasur mang Aca, beberapa rumah dari rumahku. Aparat keamanan disebut juga alat. Alat, kata lainnya adalah perkakas atau tool. Truknya, waktu itu saja sudah terlihat jadul. Mungkin merk-nya Gaz(?) buatan Rusia. Terpalnya berwaran ’hijau tai kuda’, yak kami memang menyebutnya begitu, rasanya istilah untuk warna seperti itu memang pas.
Kembali ke aparat keamanan, mereka rupanya ingin mengangkut rumah, eh penghuninya yang pada hari itu tak memasang bendera. Entah kebetulan atau tidak rumah-rumah yang tak memasang bendera itu ada tujuh.
Berarti yang diangkut adalah 7 warga. Atau 7 kepala keluarga. Kulihat mereka baru berjumlah 6. 4 bapak-bapak. Dan 2 lelaki muda yang mungkin mewakili bapaknya yang kebetulan sedang tak berada di rumah. Mereka semua kukenal baik. Pak Bs, pemilik warung kelontong, yang berpakaian paling rapih karena baru pulang kondangan.
Ate, orang Tionghoa yang kami panggil bang, bukan engkoh. Seperti biasa berkaos oblong putih agak kumal, bercelana kolor (yang warnanya pernah) biru. Keponakan mang Aca yang sedang asyik mengecak Hwa-hwe terpaksa harus mewakili pamannya.
Bang Th, salah-seorang tukang las di bengkel las DT yang harus mewakili pemilik bengkel. Bang Hr, pemilik warung soto babat. Dan bang Ys. Semua orang itu berwajah bingung, bahkan bang Ys masih mengucek-ngucek mata karena baru bangun tidur siang.
Mereka sedang menunggu seorang lagi yang di rumahnya juga tak memasang bendera, yaitu ayahku. Ayahku sedang di kamar mandi memenuhi ’panggilan alam’ alias BAB. Ayahku memang punya kecenderungan bermasalah dengan perut (tapi tak juga kapok) sehabis kalap menghajar rendang buatan ibu yang memang endeesss (uenaak tapi pedeesss), maka ia bolak-balik ’menjenguk’ kamar mandi.
Kakakku ya g disuruh memanggil ayah di kamar mandi, malah kena semprot. ”Cepat yaah, mereka ada 7 orang. Mereka aparat keamanan”.
”Mereka ada 7, 10, atau 70. Aparat keamanan sekalipun,…suruh tunggu. Bilang ayah sedang buang hajaaat!”.
Akhirnya ayah selesai juga dengan urusan kamar mandinya. Malah menyempatkan solat magrib. Dengan hanya menggunakan kaus dan sarung, ayah digelandang, diangkut ke atas truk dengan 6 orang tetangganya. Mereka dibawa entah ke mana, oleh siapa, pasukan apa, karena apa, serba tak jelas, boro-boro surat tugas.
Rumah-rumah warga kampung yang terletak di pinggir jalan memang ’terpaksa’ mewakili setiap ada kewajiban memasang bendera.
Menurut cerita ayah. Mereka sampai di sebuah kantor aparat keamanan. Semua disuruh turun dengan tak banyak cakap. Hanya isyarat dari jari-jari telunjuk atau goyangan kepala. Disuruh menunggu hampir 2 jam di sebuah ruangan, tak ada ucapan selamat datang, boro-boro minuman atau cemilan, apalagi cepuluh.
Sementara menunggu, mereka kasak-kusuk. Berbicara dengan berbisik. Kira-kira salah mereka apa? Ini kantor apa? Mereka di mana? Seandainya sampai terjadi…amiit-amiiit,…mereka tak membawa identitas apa pun.
Tiba-tiba,…braakk, pitu terbuka. Ayah memberi isyarat, meminta teman-temannya tetap tenang. Ayah begitu tenang, mungkin sudah terbiasa dengan hal seperti ini, bahkan jauh lebih menyebalkan dan lebih meneror daripada ini.
Lalu masuklah dua orang aparat. Satu muda, yang membanting pintu tadi, satu paruh baya, mungkin perwira. Aah,…ayah agak tenang. Setelah basa-basi, meminta ma’af atas kekasaran anak buahnya, sang perwira memperkenalkan diri.
Ternyata terjawab sudah, kenapa mereka semua diangkut ke markas itu. Mereka, 7 rumah itu tak memasang bendera! Tanpa ada yang meminta, tak juga ada yg menolak, begitu saja ayah menjadi juru bicara.
”Bukankah ini tanggal 30 September?” tanya ayah.
”Yak!” jawab sang perwira.
”itulah, kenapa kami tak pasang bendera. Bukankah jika memasang, berarti kami mangakui partai terlarang itu?!”.
Sang perwira memotong:… ”30 September adalah hari ketika para jendral itu diculik dan dibunuh. Jadi, kalian harus memasang bendera setengah tiang, mengertiii?!”
“Oooo…”
Setelah itu mereka dinasehati, dibriefing atau bahasa jadul istilahnya: Diberi wejangan, bahwa warga masyarakat harus bla-bla-bla…tak boleh melakukan kesalahan lagi bla-bla-bla, kalau tidak,…bla-bla-bla…Siaaap!…
Akhirnya mereka, lima bapak-bapak warga kampung kami dan dua orang pemuda mewakili penghuni rumah dipulangkan dengan truk yang sama ketika mereka dijemput, tak kurang suatu apa.
Ketika anak-anak dan istri-istri pada bertanya, para bapak tak menggubris. Malah pada bilang: ”…Lapaaar!…
Kami semua yang menunggu di depan rumah, di pinggir jalan raya berjam-jam akhirnya bisa bernafas legaaa…
(Aries Tanjung)