Penguatan lembaga sertifikasi halal diwajibkan di tengah budaya pungli yang belum bersih. Permainan di bawah meja masih merupakan kewajaran. Sehingga sangat mencemaskan. Sudah pasti beban baru bagi pelaku UMK yang rawan dipermainkan oleh aturan, kebijakan.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
DUKUNGAN kepada pemerintah baru Prabowo – Gibran, bukan tanpa syarat. Kita tidak layak memberikan cek kosong. Dalam beberapa kebijakan harus dikritisi. Apalagi ketika kepemimpinan lembaga dikuasakan kepada relawan Pilpres, sebagai imbalan/konsesi yang berpotensi menangguk keuntungan pribadi.
Misalnya, terkait kewajiban mengurus sertifikat halal. Sosok yang dipercaya menangani kini nampak jumawa menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan aturan yang bertentangan dengan akal sehat. Juga bertentangan dengan budaya dan kemajukan suku bangsa Indonesia. Kebetulan dia memang keturunan Arab. Dan juga pernah dekat dengan ormas Islam radikal.
Tak heran setelah dilantik di Istana dia bikin pernyataan berbau mentang mentang : “Awas lu ya para pelaku usaha segera daftarkan produknya yang belum bersertifikat halal, kalau kagak gue sanksi,” kata nya di Jakarta, seperti dikutip dari Detik, Kamis (24/10).
Secara teori dan pernyataan resmi, proses mengurus sertfikat halal gratis – tapi tidak dalam praktiknya. Sudah menjadi rahasia umum.
Di negeri kita, pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) jumlahnya mencapai 65 juta unit usaha. Sekitar 70% dari jumlah itu bergerak di bidang makanan, minuman, dan kuliner. Betapa gurih potensi pungli dari 50%-nya saja. Memanfaatkan ketidaktahuan pelaku UMK dan kelonggaran pengawasan – seperti biasanya.
Ingat, kasus judi online. Dari 5.000 lapak judol, yang terjaring yang dilaporkan dan dihapus 4000 saja, biar dianggap kerja. Sedangkan 1.000 lapak dirawat dan menghasilkan sogokan Rp. 85 miliar.
Penguatan lembaga sertifikasi halal diwajibkan di tengah budaya pungli yang belum bersih. Permainan di bawah meja masih merupakan kewajaran. Sehingga sangat mencemaskan. Sudah pasti beban baru bagi pelaku UMK yang rawan dipermainkan oleh aturan, kebijakan.
Kita hidup di abad 21 di Indonesia, di bumi Nusantara – bukan di jazirah Arab di abad 6 masehi. Kita bukan negara agama dan bukan negara yang melayani satu agama. Peraturan yang diterapkan bagi produk umum tidak harus boleh merujuk pada satu agama – meski menghormati ajaran agama.
Hal terpenting, warga patuh dan tidak patuh kepada ajaran agama bukan urusan negara. Melainkan urusan privacy setiap warga negara.
Daging babi dan turunannya – bahkan zatnya – dinyatakan haram dikonsumsi muslim. Tapi jika ada oknum muslim diam diam makan daging babi, mengandung babi, negara tidak berhak menghukumnya. Keyakinan pada ajaran agama bukan urusan negara. Pemerintah dan negara tidak mengurus dosa warga kepada Tuhannya.
Sebaliknya shalat dan kegiatan mengajian yang menutup jalan raya, yang mengganggu lalu lintas, wajib ditindak meski bagian dari ritual agama. Karena mengganggu ketertiban umum dan merugikan warga dan pengendara lain.
Tindakan korupsi gratifikasi jelas terlarang karena merugikan bangsa dan negara, selain dilarang agama. Bangunan yang disiapkan untuk 50 tahun rubuh hanya dalam waktu 10 tahun lantaran mutu dan jumlah bahannya dikurangi oleh kontraktor, demi menyogok pejabat. Itulah yang harus ditindak. Selain haram menurut ajaran agama.
Hukum positif lah yang diutamakan, yang dirumuskan oleh semua penganut agama yang ada – bukan hukum agama yang berlaku hanya bagi yang meyakini – dari satu agama. Meski mayoritas.
CONTOH aktual, sejauh ini – belum ada pengganti cairan alkohol untuk membersihkan alat alat kesehatan di rumah sakit. Juga serum yang disuntikkan yang mengandung unsur dari babi. Normalnya, untuk pengobatan dan tindakan medis, agama membolehkan. Bahkan dalam keadaan darurat daging babi pun layak dimakan, jika dan tak ada pilihan makanan lain.
Seorang jendral muslim yang pernah operasi di Timor Timur tak ragu menyantap hidangan mengandung minyak babi. “Jangankan minyaknya, babinya juga pernah saya makan. Operasi di hutan berbulan bulan memangnya ada makanan apa? Kalau gak kijang ya babi, ” katanya.
Ormas MUI yang awalnya memegang sertifikasi halal, diketahui menampung uang kutipan ratusan miliar – yang tidak dipertanggungjawabkan kepada negara – dari sertifikasi bahan makanan impor, khususnya produk daging sapi impor dari Australia dan India, selain produk makanan dari Jepang, China, Korea dan negara lainnya yang ujung ujungnya duit – UUD.
Oknum oknum MUI dan mereka yang mengurus sertifikat halal menangguk duit setelah mewajibkan sertifikat halal kepada pengusaha – lokal maupun asing – yang pada akhirnya berongkos dan menyapu berbagai produk yang tidak relevan, seperti cat tembok, kulkas, obat nyamuk, produk elektronik, dan lainnya. Kalap!
Sungguh menyedihkan! Pemerintah baru yang seharusnya mendorong negara meringankan beban bagi pengusaha usaha mikro kecil (UMK) – produk produk UKM-UMKM justru malah memberatkannya. Kewajiban sertifikat halal itu merepotkan bahkan memundurkan peradaban.
“Apakah daging babi yang dimasukkan ke kulkas bersertifikat ‘Halal’ menjadi halal? ” Itu olok olok yang menjadi dampaknya.
Haikal Hassan Baras, relawan Prabowo-Gibran yang diangkat menjadi Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. (ist).
AJARAN agama – Islam khususnya – hanya diperuntukkan bagi yang berakal. Mewajibkan kulkas, obat nyamuk bersertifikat ‘Halal’ menunjukkan produk kebijakan manusia yang tidak berakal. Absurd.
Hal yang mendesak bagi bangsa ini bukan memberikan sertifikat pada produk halal. Melainkan memastikan uang yang digunakan belanja adalah uang halal.
Uang hasil korupsi adalah haram, meski digunakan untuk membeli produk halal. Pendakwah yang menjual ayat untuk memperkaya diri dan foya foya, menambah isteri, malah haram. Meski dia belanja produk produk yang bersertifikat halal.
“Kami menyayangkan pernyataan Haikal Hassan yang telah menimbulkan kegaduhan terkait wacana sertifikasi halal untuk seluruh produk,” kata Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ipong Hembing Putra, Kamis, 31 Oktober 2024.
PITI menegaskan, Indonesia berdiri dengan landasan Pancasila, bukan negara agama. Setiap pernyataan pejabat publik seharusnya mencerminkan persatuan dan kesatuan bangsa, tegasnya. Sedangkan apa yang disampaikan Haikal Hassan kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Padahal masyarakat Indonesia adalah majemuk, bisa bersatu meski berbeda agama, suku, ras dan golongan.
Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2021, pelanggar akan dikenakan sanksi secara bertahap atau kumulatif mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, pencabutan Sertifikat Halal dan/atau penarikan barang dari peredaran. Besaran denda administratif yang akan dikenakan mencapai Rp 2 miliar.
Di situ lah, senjata dan peluang main oknum-oknumnya. Bahan pengancam menuju proses di bawah meja.
Selalu ada tafsir ayat kitab suci untuk memaksa dan aturan untuk bermain sebagai peluang memperkaya diri bagi oknum pejabatnya. Memanfaatkan bangsa yang sedang didorong menjadi pemabuk agama dengan dukungan lembaga negara! ***