Sebab, kalau cuma makan, binatang juga bisa makan. Kalau cuma pakaian, binatang juga punya bulu. Buku – bisa membaca – itulah yang membuktikan manusia punya kebanggaan, punya kebudayaan, punya peradaban – demikian pesan mendiang Remy Sylado.
Oleh Dimas Supriyanto
“APABILA ada manusia di zaman sekarang yang menyebut dirinya modern tetapi tidak mengindahkan buku, memilikinya, dan membacanya, maka dengan demikian manusia tersebut telah mengambil inisiatif menjadikan dirinya sebagai hewan,” kata mendiang Bung Remy Sylado.
“Tampaknya hanya buku yang paling pantas diceritakan dengan bangga oleh manusia beradab. Bukan BMW, Mercedes, ataupun Volvo, “ tegasnya.
Bang Remy Sylado, begitulah saya memanggilnya, sudah menulis tak kurang 18 judul buku, novel, telaah sastra, kritik seni, kritik sosial, dan telaah lainnya dll. Dia juga pemimpin sanggar, sutradara teater, dan aktor teater dan juara nyanyi semasa kanak kanaknya. Dia juga kolumnis dan pembicara serta intruktur workshop seni, jurnalisme dan penulisan.
Jubah Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong adalah nama panjangnya. Nama resminya Jopiie Tambayong. Kelahiran Makassar, 12 Juli 1943. Pergi di usia 78 tahun. Dari marganya Tambayong orang sudah faham dari mana suku aslinya. Ya, Minahasa.
Pengetahuannya melayang jauh melampaui ahli, para pakar. Jika Youtuber botak dan kocak, “mbah NDul” menyebut diri sebagai pakarnya segala pakar, “ahlinya ahli”, “intinya inti”, “core of the core”, maka pada Remy Sylado lah sosok nyata itu.
Dia seorang guru bahasa, ahli bahasa dan pujangga. Munsyi, kata jurnalis senior Wina Armada, sobat karibnya.
Remy Sylado merupakan sedikit orang kita – barangkali satu satunya – yang paham bahasa Ibrani, China, Arab, Belanda sekaligus. Dan dia dia fasih bicara Manado, Makassar, Jawa, dan tentu saja Indonesia, dimana dia dibesarkan.
Lebih dari itu, dia juga menguliknya, mengritisi dan menyebut asal muasal satu kata dari bahasa bahasa itu. Dia menulis dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sama bagusnya. Dia bisa menulis huruf Arab dan China
Dia memahami musik rock, mementaskannya, melainkan juga bisa membedah musik klasik, sejarahnya. Di sisi lain dia mampu menjelaskan asal muasal dan perbedaan gamelan nada sendro-pelog.
Beruntunglah mereka yang bertemu dan berbincang dengannya atau mengikuti workshop, seminar yang menghadirkan Remy Sylado – gabungan not musik 23761: re mi si la do – sebagai pembicara. Saya adalah salahsatunya. Sejak membaca novel perdananya di tahun 1975, berkhidmat padanya, menyimak tulisan tulisannya.
LEMAHNYA dukungan masyarakat pada demo mahasiswa, beberapa tahun terakhir, nampak nyata karena mereka kurang membaca, minim bacaan. Minim pengetahuan. Minim referensi, minim diskusi dan olah pikir, mengakibatkan minim wawasan.
Sekadar berani turun ke jalan dan main aman, karena dilindungi “hak demokrasi” dan politisi sponsor di belakangnya. Kurang trampil berolah kata, sehingga sekadar membebek pada bohirnya, menjadi “MC” dan “speaker” dari pembawa pesan pesan orang lain; politisi oposan dan kadrun.
Dan itu adalah skandal! Hal yang sangat memalukan! Mahasiswa kok minim membaca?
Tidakkah anak anak muda itu tahu, “Membaca semua buku yang bagus layaknya sebuah percakapan dengan pemikiran terbaik di abad-abad sebelumnya,” kata filsuf dan metematikawan, Rene Descartes.
Budaya malas membaca adalah kekuatan yang melemahkan bangsa dan negeri ini dari segala aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Literasi kita termasuk paling rendah di dunia. Padahal, di dunia modern ini, membaca dulu, baru memimpin. “Today a reader, tomorrow a leader, ” ujar Margaret Fuller, jurnalis Amerika, editor, kritikus, dan advokat Feminisme.
“Orang yang tak pernah membaca buku sama buruknya dengan orang yang tak bisa membaca buku,” kata Mark Twain, penulis, novelis dan pengajar.
Elon Musk, industrialis, pendiri CTO, dan CEO SpaceX, konglomerat superkaya dari generasi ini, sangat kuat membaca. “Saya membaca buku dan berbicara dengan orang lain. Maksud saya, itulah cara seseorang belajar sesuatu. Ada banyak buku bagus di luar sana dan ada banyak orang pintar,” kata juragan mobil listrik Tesla yang menggagas wisata ke planet Mars ini.
“Ada dua motif untuk membaca buku. Pertama, kau menikmatinya dan yang lain, kau bisa menyombongkannya,” kata filsuf Bertrand Russell.
“Hidup kita diubah oleh dua hal: lewat orang yang kita cintai dan buku yang kita baca,” kata Harvey Mackay, pebisnis dan penulis kolom di AS
“Semakin banyak Anda membaca, semakin banyak hal yang akan Anda ketahui. Semakin banyak yang Anda pelajari, semakin banyak tempat yang akan Anda kunjungi,” kata Dr. Seuss, penulis anak-anak Amerika, kartunis politik, ilustrator, penyair, animator, dan pembuat film.
“Manusia hanya mempunyai dua cara untuk belajar, satu dengan membaca dan satunya lagi berkumpul dengan orang-orang yang lebih pintar.” (Will Rogers).
Kembali ke pakar bahasa, pujangga, sastrawan dan munsyi Remy Sylado. Dalam novel “Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa” (1999), dia menulis kekuatan baca tulis bagi suatu bangsa.
“Sebab, kalau cuma makan, binatang juga bisa makan. Lantas, kalau cuma pakaian, binatang juga punya bulu. Buku, bisa membaca, itulah yang membuktikan manusia punya kebanggaan, punya kebudayaan, punya peradaban, ” kata mendiang Bung Remy Sylado.***