REFLEKSI oleh Aris Tanone
“Bahagia itu kalau melihat Winnie menarik walker ke kursi rodanya, menggenggam erat walker-nya, berdiri, lalu mulai mendorongnya sampai ke meja makan. Iya, segampang itu.” Begitulah posting saya di Facebook, sekitar bulan Agustus tahun lalu. Walker adalah tongkat kaki empat beroda dua di depannya.
Teman-teman di facebook mengenalku sebagai Aris Tanone, dan Winnie adalah istriku. Kami menikah tahun 76 di tanah air. Kehidupan membawa kami mengembara sampai akhirnya menetap di Huntsville, Amerika Serikat dan kemudian pindah ke Honolulu setelah aku pensiun dari tugasku di Pusat Penerbangan Antariksa Marshall, NASA di Huntsville, Alabama, bulan Maret 2016. Kami dikaruniai tiga putra, satu putri, dan lima orang cucu, yang kesemuanya tinggal berjauhan dari kami.
Winnie terkena penyakit Parkinson sejak tahun 2012, dan salah satu akibatnya adalah gangguan pada gerakan berbagai bagian tubuh. Pertama, pada kedua kaki yang menyebabkan ia harus memakai kursi roda. Ada lagi anggota tubuh lain yang juga sering terganggu, misalnya kelopak mata dan mulut yang sulit membuka tutup. Kadang, kedua rahang, atas dan bawah, seperti terkancing.
Secara medis cara pengobatan Parkinson sudah sangat baku. Berikan obat penghasil dopamin di otak dan selanjutnya pasiennya tinggal tunggu nasib. Sejak awal dokternya bahkan sudah mengatakan, penyakit ini tak ada obatnya.
Di akhir tahun 2015, Neurologist menganjurkan agar Winnie berganti dokter karena dia sudah kehabisan akal. Winnie dikirim ke seorang Neurologist yang bekerja di Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Alabama di kota Birmingham, sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil dari rumah kami.
Karena melihat tidak ada kemajuan, kami pun mulai melihat ke berbagai metode alternatif. Perhatian utama adalah metode pengobatan lewat latihan Qigong (chikung), olahraga tradisional Tiongkok untuk mengolah tubuh dan pikiran. Perhatian khusus kami tertuju pada Zhineng Qigong yang dikembangkan oleh Dr. Pang Ming, seorang dokter berpendidikan kedokteran barat yang juga ahli pengobatan medis tradisional Tiongkok, serta ahli Qigong aliran Konfusius, Taoist maupun Budhist yang kemudian diintegrasikan ke dalam ilmu baru dengan nama Zhineng Qigong. Metode ini sangat terkenal di Tiongkok di akhir abad lalu. Dr. Pang sendiri adalah pendiri Huaxia Medicineless Hospital (Rumah Sakit Tanpa Obat Huaxia) yang kemudian ditutup gara-gara adanya gerakan Falong Gong yang anti pemerintah dan semua kegiatan Qigong di Tiongkok terkena getahnya.
Pada tahun 2014 aku menemukan buku karya Bianca Molle, seorang guru sekolah menengah Amerika yang bisa sembuh total dari penyakit Parkinson dengan berlatih Zhineng Qigong. Semenjak itu kami mulai ikut retreat penyembuhan atau seminar tentang pengobatan dengan Zhineng Qigong. Bukan cuma di Amerika saja, kami juga menemui seorang guru Qigong ternama ketika mengunjungi cucu-cucu kami di Auckland, New Zealand, saat guru dari Tiongkok itu memberikan retreat di sana. Kami juga sempat berobat ke Penang di Malaysia, Port Townsend di negara bagian Washington, juga ke Santa Fe di negara bagian New Mexico di Amerika.
Awal tahun 2019, kami pergi berobat di kota Guilin, Tiongkok, menemui seorang guru Qigong yang kami kenal, dan sempat kami ikuti latihan daringnya beberapa bulan. Ada dua hal yang menarik tentang Guilin ini. Pertama, sejak kecil di sekolah Tionghoa dulu, Winnie dan aku sudah mengenal ungkapan Guilin shan shui jia tian xia yang artinya: pemandangan Guilin terindah di kolong langit. Kedua, biaya retreat di sana hanya seperempat biaya di Amerika.
Kami menginap di Yangshuo, salah satu kota turis di pinggiran kota Guilin. Kami tinggal di lantai lima hotel dan di situ tidak ada lift. Untuk naik ke kamar, guru Qigong menggendong Winnie di punggungnya. Dari Senin sampai Sabtu kami terus berlatih Qigong pagi dan sore di hotel itu. Latihannya termasuk latihan berjalan memakai walker, latihan naik turun tangga dengan memakai walker atau memanjat naik turun memegang rel pengaman sepanjang tangga serta gerakan dasar lainnya. Kemajuan Winnie sangat menggembirakan.
Sekitar tiga minggu di sana, wajah Winnie tambah segar dan teman-teman yang melihat foto yang kami kirim dari Guilin ikut gembira. Ketika meninggalkan Guilin, Winnie tak perlu digendong, bisa berjalan turun sendiri sampai ke lobby hotel dengan menyusuri rel pengaman.
Setelah kembali ke rumah, aku mendorongnya agar tetap rajin berlatih. Sampai bulan Mei 2019, Winnie sanggup memakai walkernya sampai dua jam, baru duduk. Itu kemajuan luar biasa, dan itulah yang mendorongku untuk menulis posting di Facebook.
Tapi ada satu hal yang lolos dari pengamatanku maupun guru qigongnya. Sebelum berangkat ke Guilin, berat Winnie 33 kg, tapi waktu pulang dalam waktu sebulan, beratnya turun 1.8 kg menjadi 31.2 kg saja.
Semula aku tak masukkan ke hati urusan berat badan ini karena aku pikir perjalanan begitu jauh, begitu melelahkan, berat badan turun sedikit tidak mengherankan. Tetapi setelah sampai bulan Juni, berat badannya turun terus dan aku pun mulai khawatir.
Gerakan Winnie banyak mengalami kemajuan tapi gerakan mulutnya tetap sama. Dari tiga kali makan sehari, dua kali Winnie bisa membuka mulut dengan baik, tapi satu kali mulutnya seakan terkancing. Kapan terjadinya random, pokoknya satu dari tiga kali waktu makan selalu begitu. Kadang-kadang untuk menghabiskan nasi semangkuk kecil butuh waktu 2 – 3 jam. Padahal latihan fisik Winnie sangat intensif, sehingga terjadilah ketidakseimbangan pemasukan nutrisi dan pengeluaran tenaga. Ketidakseimbangan inilah yang membuat berat badan Winnie turun terus.
Itu kesimpulan Neurologis dan dia menganjurkan agar Winnie dioperasi untuk memasang selang kecil di perut yang akan menyalurkan nutrisi ke dalam perut. Berat badan Winnie sudah kritis karena tinggal 27,2 kilogram saja. Akhirnya kami terima anjuran itu dan Winnie dioperasi tanggal 28 Oktober 2019 yang lalu.
Sejak pensiun pada bulan Maret 2016, aku menjadi caregiver Winnie sepenuhnya. Setelah operasi pun, aku masih tetap mengurusi Winnie setiap hari.
One day at a time, kata orang sini. Kami jalani hidup ini hari demi hari, dan banyak hal kecil yang bisa kami simpan dalam laci-laci kenangan di dalam hati, yang kalau dibuka bisa mengundang senyum. Misalnya saat membantu Winnie memakai piyama. Setelah kedua kakinya masuk dan ia mau berdiri, lho, kok dua kaki itu masuk ke dalam kaki piyama yang sama?
Atau aku begitu gembira waktu mengerti bahwa yang kedengaran kata ce’i, maksud sebenarnya adalah jahe, yang mengacu pada permen jahe. Begitu juga kata-kata aneh yang maksudnya kue, atau makanan lainnya.
Sekarang, tiga bulan setelah operasi, berat badan Winnie sudah naik kembali ke beratnya sebelum kami berangkat ke Guilin. Tapi semenjak operasi, Winnie tak sempat latihan dan badannya lemah sekali. Baru beberapa hari ini Winnie mulai belajar berdiri lagi dengan memakai walker.
Buatku sekarang, bahagia itu… melihat Winnie memegang walker dan belajar berdiri lagi. (ArisTanone/BG)
“Dalam hidup ini aku telah dihadapkan dengan berbagai masalah, dan semua itu telah aku lalui tanpa buku petunjuk, hanya dengan menerimanya sehari demi sehari.” – Yoko Ono