Oleh Supriyanto Martosuwito.
Nasehat yang sederhana, dari zaman dulu kala, yang diucapkan para orangtua kita; jadilah manusia yang berguna! Syukur syukur bagi umat manusia di seluruh dunia atau nusa bangsa dan agama. Atau bagi kota di tempat tinggalnya. Atau di lingkungan sekitar. Atau di rumah. Membanggakan keluarga.
Sungguh sederhana bukan?
Tapi nampaknya karena begitu sederhana sehingga banyak orang mengabaikanya. Di saat krisis pandemi seperti ini, misalnya, kita tahu siapa yang berguna dan siapa menyampah saja. Siapa pupuk penyubur, siapa gulma. Jadi parasit. Cuma ngerecokin.
Bahkan dari level anak mantan presiden, pejabat pecatan, gelandangan politik, kaum kadrun, ulama, ustadz, guru besar, dosen, pakar hukum – apalagi mahasiswa mahasiswa sok tahu, para aktifis tunggangan, memamerkan dirinya sebagai warga tak berguna. Parasit negara. Sampah masyarakat. Termasuk juga media yang memanfaatkan bencana global ini untuk ambil untung karena bisnisnya terus merugi.
Anak presiden yang ramai digunjingkan sebagai pemakai narkoba, sok menasehati pemerintah akan kemungkinan kita jadi negara gagal alias “failed nation”. Mantan menteri yang dipecat itu terus nge-gas meningkatnya korban pandemi sebagai kegagalan kepala negara. Ustadz kadrun menuding pemerintah lebih takut pada Corona daripada takut Allah, mahasiswa meminta jokowi mundur saja. Guru besar, dosen pengamat, pakar hukum, bersilat lidah memberi analisa kegagalan penanganan oleh pemerintah. Bicara mafia, konspirasi dan sebagainya. Dan media kondang meminta jokowi mengibarkan bendera putih saja.
Semuanya menyuarakan kenegatifan, skeptis, pesimis : jadi makhluk parasit, merongrong negara, antipemerintah dan sampah masyarakat.
Alih alih membantu, memberi solusi, beramal, menolong sesama dan menawarkan solusi – malah cari cari perhatian dan panjat sosial.
Sungguh celaka kalian semua!
Tak perlu jadi analis politik untuk tahu bahwa politisi kubu oposisi sedang memanfaatkan suasana bencana pandemi ini untuk menaikkan pamor partainya yang telah merosot. Sungguh langkah politik nista.
Tak perlu jadi pengamat bahwa dendam kesumat menteri dan komisaris BUMN yang dipecat, masih menggelegak hingga pandemi sebagai dijadikan sarana pelampiasan sakit hati mereka.
Tak perlu belajar di pesantren untuk memberi tahu bahwa shalat di masjid itu “fardhu kifayah”. Sedangkan menjaga kesehatan diri, menjaga keselamatan bersama, menghindari potensi bencana, itu “fardlu ain”. Apa sebegitu bodohnya umat muslim kita sehingga penutupan masjid sementara dianggap memisahkan orang Islam dari tuhannya? Padahal di negeri Arab Saudi, pihak kerajaan pun melakukan pembatasan di kota sucinya?
Apa perlu diberitahu lagi bahwa Allah lebih dekat dengan urat leher kita? Mengapa kebodohan terus dipelihara?
Katakan saja gara gara mimbar ceramah sepi, ustadz penjual ayat kehilangan pemasukan dari jualan ayat dan agitasinya?
Apakah mereka tidak menyimak berita bahwa di negeri India upacara agama melonjakkan kasus Corona yang menewaskan ribuan warganya dan kini terjadi di negeri kita?
Kita sedang berperang. Perang kemerdekaan juga, seperti sebelum 1945. Perang melawan cengkeraman virus yang menjajah kita dan telah membunuh ribuan saudara kita, memporak poradakan kegiatan usaha dan menguras uang negara. Merampas kemerdekaan kita semua.
Lihatkah foto pemakaman yang sibuk, barisan ambulan yang mengantri di rumah sakit dan TPU. Masih belum jelas juga?
Setiap orang dari kita punya kesempatan menjadi pejuang, baik di garis depan maupun di garis belakang. Berguna bagi sesama. Janganlah jadi pecundang, cuma giat menghasut, cuma bicara bicara.
Begitu sulitkah menjadi manusia yang berguna? ***