Oleh HENRI NURCAHYO
PANDEMI Covid ini entah sampai kapan terus membelenggu aktivitas kita. Larangan yang berbunyi “Tidak boleh berkerumun” nampaknya sederhana namun dampaknya besar dan banyak sekali.
Aktivitas seni budaya dan hiburan bahkan juga olahraga massal menjadi lumpuh. Pariwisata nyaris runtuh. Perekonomian terseok-seok. Sekolah-sekolah menjadi sepi. Tak ada keriuhan anak-anak pergi dan pulang. Tak ada upacara bendera, tak ada aktivitas apa-apa.
Parkir kendaraan kosong melompong. Kantin sekolah sudah membalikkan kursi-kursi di atas meja. Sepi.
Saya lantas teringat Ivan Illich, dengan bukunya yang menggegerkan “Deschooling Society” terbit tahun 70-an. Filsuf kelahiran Austria tahun 1926 itu sudah memprediksi akan adanya monopoli legitimasi oleh sistem sekolah dalam paradigma pendidikan dunia. Seolah-olah pembelajaran satu satunya yang sah hanya melalui guru di sekolah.
Padahal, orang orang bisa belajar dari lingkungannya, belajar untuk berbicara, belajar mencintai, belajar merasakan. Semuanya itu belajar yang tidak harus melalui guru.
Sekolah Pemungut Pajak
Lima puluhan tahun yang lalu, Illich sudah mengatakan bahwa sekolah telah membuat para siswanya terdoktrin bahwa mereka hanya bisa belajar dengan cara diajar oleh guru. Dengan begitu, tidak ada dorongan lebih bagi para siswa untuk berkembang secara independen.
Sekolah secara diam-diam menanamkan pandangan pada siswanya bahwa mereka tak bisa menyiapkan diri untuk masa depan tanpa melalui sekolah. Masyarakat dengan inferioritasnya, dipaksa selalu tunduk pada diskrimasi yang didasarkan atas ijazah mengenai keterampilan yang dimiliki seseorang.
Mereka dipaksa tunduk pada penyelenggaraan pendidikan yang serba mekanis dan administratif.
Ironisnya, kata Illich lagi, sekolah lantas menjelma seperti institusi ‘pemungut pajak’ bagi para siswa. “Pay for learning,” katanya.
Orangtua tidak peduli dengan apa yang dipelajari anaknya selain nilai bagus dan ijazah.
Karena itu Ivan Illich memberikan solusi, agar dilakukan “self awareness”, kesadaran diri pada diri siswa. Para orangtua harus memberikan kebebasan pada anak-anak; yang penting mereka sehat di musim sakit ini.
Belajar Tidak Harus di Sekolah
Gara-gara buku Ivan Illich itulah dulu saya malas kuliah. Bukan salah Illich sih, memang saya yang terlalu banyak maunya. Kuliah formal di Fakultas Kedokteran Hewan namun malah sibuk ikut Teater Gadjah Mada dan berbagai aktivitas kesenian, ikut syuting film, ikut proyek penelitian mahasiswa Sosiologi, bahkan ikut kuliah sebagai mahasiswa pendengar di Fakultas Filsafat dan Sastra.
Belum lagi aktivitas mendaki gunung, ikut demonstrasi anti Soeharto tahun 1978 (baca: empat puluh tiga tahun yang lalu), ikut LSM (ketika namanya masih belum seburuk sekarang), aktif dalam kegiatan diskusi di Gelanggang Mahasiswa, serta menjadi anggota presidium Dewan Mahasiswa Careteker.
Tentu saja kuliah saya berantakan. Itu memang “salah” saya sendiri. Namun saya tidak menyesal sama sekali.
Dan sekarang, tiba-tiba berbagai semboyan menyeruak selama satu tahun belakangan ini. “Belajar tidak harus di sekolah, tidak harus bertemu guru, tidak harus berkumpul.
Kita manfaatkan teknologi informasi. Belajar dalam jaringan (online). Belajar lewat siaran pendidikan di televisi.” Dan sebagainya. Kemudahan teknologi informasi seolah-olah sudah mampu menjawabnya. Benarkah? Jujur saja, saya menyangsikannya.
Dulu hape menjadi benda terlarang di sekolah. Guru tidak segan-segan melakukan razia. Mengumpulkan hape siswa dan secara demonstratif dihancurkan di atas meja di halaman sekolah.
Tapi sekarang hape malah menjadi kewajiban. Dulu sekolah dilarang bawa hape, sekarang malah bersekolah melalui hape. Pemerintah pun memberikan sumbangan pulsa gratis. Tapi, bagaimana dengan sinyalnya?
Bahkan tidak semua siswa mampu memiliki hape sendiri. Itulah sebabnya ada kritik bahwa pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi ini hanya cocok untuk anak-anak orang kaya. Duuh.
Semua Meniru Universitas Terbuka
Saya jadi ingat pengalaman pertengahan tahun 70-an, ketika pernah ada siaran belajar bahasa Inggris melalui Radio Australia (ABC). Pembelajaran jarak jauh juga menjadi komoditas yang banyak ditawarkan berbagai pihak. Ada kursus jurnalistik melalui surat, belajar bahasa mandarin, bahkan kuliah jarak jauh menjadi hal yang lazim.
Hal inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya Universitas Terbuka (UT). Sayang sekali belakangan UT malah terjebak dalam pembelajaran konvensional, dimana mahasiswa harus datang ke kampus, kuliah dari dosen, dan rata-rata mahasiswanya malah anak-anak muda yang tidak diterima di perguruan tinggi konvensional.
Padahal semula UT didirikan untuk orang-orang tua yang sibuk bekerja atau mereka yang jauh dari kota.
Pada masa pandemi inilah menjadi momen yang tepat agar UT kembali lagi pada fitrahnya. Menjadi lembaga pendidikan jarak jauh karena semua proses pembelajaran dilakukan secara daring.
Justru lembaga pendidikan yang lain malah sekarang ini berubah meniru pola belajar seperti Universitas Terbuka.
Masa pandemi ini setidaknya membuat kita introspeksi. Ini adalah peringatan keras bahwa langkah kita sudah (nyaris) kebablasan. Selama ini kita terlalu sibuk terlibat dan menggelar berbagai keramaian, tanpa kendali.
Kita selama ini sudah mendewakan yang namanya sekolah. Juga pendidikan formal lantas menjadi berhala. Esensi dari sekolah itu sendiri menjadi sangat sempit maknanya. Apalagi?