Bagus Riyanto, 42, dengan burung hantu koleksinya. Burung pun bisa kecapekan, katanya. (Foto Eddy JS)
Oleh EDDY J. SOETOPO
Kalau tidak ingin dibayang-bayangi hantu peliharalah burung hantu. Konon kabarnya, burung yang acap bergentayangan di malam hari ditakuti hantu, lantaran matanya belok. Itulah sebabnya, tradisi memelihara burung hantu alias Strigiformes, di sejumlah desa lereng Gunung Merapi lebih senang memelihara burung hantu dibanding perkutut (Geopelia striata)
Selain tak membawa sial, seperti yang sering disebarluaskan sebagian masyarakat, memelihara burung hantu juga mendatangkan keuntungan tak sedikit buat bisnis. Bagi pebisnis pemula, ujar Bagus, 32 tahun anggota Komunitas Pengemar Burung Hantu Solo (KPBHS), pendapatan jualan Kukuk Beluk itu bisa mencapai jutaan per tahunnya.
Selama menekuni bisnis burung pembur tikus, ujar Bagus, tak sedikit duit mengalir dalam kantong anggota KPBHS. Bayangkan, burung hantu anakan berumur 3-5 bulan, dijual seharga Rp.135.000 per ekornya. Bisa dibayangkan, bila setiap bulan anakan teman-teman bisa menjual 10 ekor, ujar dia menambahkan, pendapatan Rp.1.350.000 minimal digenggamnya.
“Itu burung hantu anakan. Kalau sudah berumur 5-8 bulan harganya berlipat. Kemarin saya jual umur 7 bulan laku dilego Rp.1.450.000. Selain umur burung, harganya juga ditentukan berdasarkan jenis,” katanya
Lebih lanjut papar Bagus menambahkan, memelihara burung hantu selain menguntungkan secara ekonomis, juga menjadi salah satu klangenan mengasyikkan. Apalagi burung pemburu tikus juga diyakini keluarganya sebagai burung penghalau hantu. Banyak tetangga di desanya, ujar dia menuturkan pengalamannya, memelihara burung hantu.
“Selain diternak, juga dapat disuruh berburu tikus. Termasuk mengusir hantu,” katanya sembari nyengeges, “mungkin matanya belok merah menakutkan. Orang saja takut, apalagi hantu. Kan manusia lebih menakutkan ketimbang hantu.”
Menurut Bagus, sebenarnya komunitas pencinta burung hantu baru terbentuk tahun lalu. Meski demikian keakraban para anggotanya layak seperti keluarga. Lihat saja di CFD (car free day) tahun lalu, sebelum diterjang pandemic virus, di sepanjang jalan Slamet Riyadi mereka menenteng beberapa jenis burung hantu dipamerkan ke pengunjung.
“Tidak setiap minggu kami berada di CFD memamerkan burung-burung ini. Selain biar tidak membosankan, juga biar burungnya tidak kekeselen. Jangan dikira burung tidak capai. Apalagi banyak orang, bisa stress. Makanya setiap foto dengan orang lain, kita pungut bayaran Rp.3000 buat beli makanan,” ujar dia.
Selain burung hantu tidak suka dengan guyuran srengengge –matahari (red), juga bermata rabun. Meski pandangan jarak jauh, apalagi pada waktu malam hari, sangat sempurna. Tapi kalau terus-terusan kepanasan, kata Bagus Riyanto, 42 tahun sembari menambahkan, kemungkinan akan merusak jarak pandang penglihatannya.
“Paling bagus jangan sampai penglihatannya terkena langsung sinar matahari. Matanya bisa lamur. Apa lagi kalau sampai lama kena matahari dan ngeliatin cewek ABG, trus siapa yang bertangungjawab rusak matanya?” tanya dia seraya nyengenges
Suatu saat, ujar Bagus bercerita, ia kedatangan tamu dari Medan yang ingin belajar beternak burung hantu dan ingin membeli anakan dalam jumlah besar. Hanya saja, permintaan orang yang jauh-jauh dari Medan itu tidak bisa dilayani. Pasalnya, jumlah anakan yang dipesan 25 ekor tidak ada dalam penangkaran.
“Alhasil, jumlah pesanan sebanyak itu tidak bisa dipenuhi. Kalau hanya lima anakan burung, mungkin masih bisa saya kirim, lha tapi ini mintanya 25 setiap bulan, susah. Soalnya burung hantu sulit diternakkan dalam waktu cepat,” katanya, “katanya sih buat dijual lagi. Di Medan lagi senang nyari burung hantu buat ngusir tikur di sawah. Siapa tahu juga buat ngusir memedi sawah.” (eddy je soe)