Denny JA
Penulis Buku, Cerpen dan Esai
Founder LSI Denni JA, Konsultan Politik, Pengusaha
Review Buku Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama, dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, 2021
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropolog UI)
Tesis utama buku Denny JA adalah negara sejahtera semakin terlepas dari persoalan agama.
Semula, negara sejahtera diukur dari pertumbuhan ekonomi saja. Kini indikatornya lebih kaya. Disamping kesejahteraan ekonomi, pemerintahan bersih dari korupsi dan warganya berbahagia.
Bagi warga dalam Top 10 Negara Paling Sejahtera, diukur dari Human Development Index, Agama dianut secara lebih rasional. Ajaran agama diaktualisasi dengan jaman kekinian.
Peristiwa dalam kitab-kitab suci agama besar mengalami ujian dari berbagai kajian ilmu pengetahuan seperti arkeologi teologis dan kesejarahan.
Dengan demikian peristiwa dalam kitab-kitab suci tidak lagi dihayati sebagai peristiwa yang harus benar terjadi secara fisik sejarah.
kisah dalam kitab suci dihayati sebagai refleksi iman. Kisah banyak nabi dipahami sebagai perumpamaan, metafor, untuk pengajaran moral.
Bahkan di negara sejahtera, orang lebih membaca novel berkualitas yang ditulis para budayawan berkelas dunia.
Karya sastra menjadi bahan diskusi di perkuliahan untuk menjelaskan berbagai isu relasi manusia dengan alam dan Tuhan.
Berbagai kajian antropologis menunjukkan manusia selalu membutuhkan makna.
Hanya saja pada masa kini, acuannya tidak lagi hanya Kitab Suci. Yang dijadikan referensi juga literatur sain dan teknologi, di samping karya-karya sastra yang memperkaya jiwa dan perasaan.
Dari sisi metodologis buku ini cukup menarik. Tesis dan analisis dibangun dari sejumlah survei. Data dikumpulkan dalam berbagai indeks pembangunan ekonomi dan manusia yang dilakukan oleh badan-badan survei dunia yang kredibel.
Di antaranya adalah Human Development Index (2020), World Happines Report (2019), Corruption Perception Index (2020), dan Gallup Poll (Religion Perception).
Ini tidak mengherankan karena penulis adalah pengamat politik yang akrab dengan soal survei. Ia dikenal mendirikan berbagai lembaga survei.
-000-
Bagaimanakah tesis dalam buku ini dapat dijelaskan melalui gambaran keseharian hidup warga masyarakat?
Ilustrasi di bawah ini merupakan petikan kisah pengalaman bergaul dengan aneka warga negara.
Mereka warga yang dalam ranking berbagai indeks itu ditempatkan sebagai negara sejahtera. Pemerintahannya bersih. Warganya bahagia. Mereka tidak menganggap agama sebagai acuan penting dalam hidup.
Ilustrasi ini tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi. Studi antropologis memang tidak berambisi menggeneralisasi.
Ini dimaksudkan hanya sebagai ilustrasi, generalisasi empirik skala kecil. Tapi pola-pola realitas keseharian warga masyarakat cukup tergambarkan.
Kristina (bukan nama sebenarnya). Ia bekerja sebagai sekretaris suatu lembaga di bawah Universitas Leiden.
Bertahun-tahun saya selalu bertemu dia, bergaul dan berteman baik dalam kesempatan hilir mudik pekerjaan akademik saya di lembaga ini.
Dia selalu memilih hari Jumat untuk tidak masuk kantor. Di sana sangat dibolehkan bekerja tidak sepenuh minggu.
Rupanya hari Jumat adalah hari di mana ia harus latihan koor (choir) persiapan untuk misa hari Minggu di gereja.
Saya perhatikan umumnya sejak hari Rabu dia mulai humming, bersenandung lagu-lagu Gregorian.
Dalam suatu percakapan yang penuh canda, saya sampai pada pertanyaan:
“Do you believe in God ?”.
“No, Sulis”.
“Really ? What is the reason to join the church choir, then ?”
“It is because seeing the beautiful songs, and I feel the beauty of the songs deep in my heart. I love it ”
Berikut ini adalah kisah yang lain.
Salah seorang sahabat perempuan saya menikah dengan laki-laki berayah Indonesia, beribu Belanda, dan tinggal di Belanda sehingga berbudaya Belanda.
Sang ibu Belanda, mertua sahabat saya itu sangat peduli pada isu-isu kemanusiaan di seluruh dunia.
Dia rajin memberi donasi setiap kali ada bencana alam atau bencana kemanusiaan di manapun.
Suatu hari ia bertanya kepada mertuanya, apakah agamanya. Sang Ibu menjawab: “Tidak ada. Agamaku adalah kemanusiaan”
Ilustrasi ketiga ini adalah tentang bagaimana “agama” kemanusiaan dihayati di kalangan mahasiswa, orang muda, sekitar 30 tahun yang lalu.
Saya tinggal di suatu student flat, Pelikaanhof di Leiden tahun 1987-1990.
Suatu hari saya kecopetan dompet di suatu pasar yang ramai–mereka memiliki tradisi menyelenggarakan pasar tradisional dua kali seminggu.
Celakanya, karena saya pelupa maka di dalam dompet itu juga ada catatan kecil PIN dari kartu bank saya.
Ketika sampai di student flat, saya ceritakan kejadian ini kepada kawan-kawan satu afdeling, yang berkapasitas lima orang.
Saya panik. Kemudian salah seorang di antara mereka menelpon Bank.
Hari itu adalah hari Sabtu, kantor bank tutup, tetapi bisa ditelpon.
Kemudian seorang teman mengatakan, “Rekeningmu sudah diblokir. Jika uangmu ada yang mengambil setelah jam saya menelpon, kita bisa perkarakan. Saya bersaksi”.
Kemudian semua kawan yang berkerumun mengelilingi saya, masing-masing mengatakan: “Saya akan bersaksi” .
Dalam amatan saya selama beberapa tahun bersama, tak seorangpun dari kawan-kawan saya di lorong itu yang menyatakan berafiliasi pada agama tertentu.
Mereka tidak pernah pergi ke gereja atau melakukan kegiatan keagamaan apapun.
Ketiga petikan kisah di atas menunjukkan potret individual dan keseharian dari warga masyarakat negara maju.
Yaitu warga dari negara yang pemerintahannya bersih, tapi tak menganggap agama penting, seperti yang dirumuskan dalam tesis buku Denny JA ini.
-000-
Ketiga kisah di atas terjadi di negara Belanda.
Mari kita periksa bagaimana buku ini menganalisis berbagai survei dan menempatkan Negeri Belanda.
Belanda nomor enam dari 10 sepuluh negara yang warganya bahagia. Mayoritas warganya tak menganggap agama tidak penting (World Happines Report, 2020).
Sebaliknya, negara dengan penduduk “religius” adalah India, Arab Saudi, Mesir, Filipina dan Indonesia. Tapi mayoritas warganya tidak berada dalam indeks kebahagiaan yang tinggi.
Lihatlah list indeks kebahagiaan itu. India misalnya menempati nomor 144. Indonesia di nomor 84 dari 153 negara yang disurvei (Important of Religion by Countries, Gallup Poll, 2009)
Dari perspektif pemerintahan bersih, terdapat 10 negara paling bersih dari korupsi (Corruption Perception Index 2020). Mayoritas warganya juga tidak menganggap agama penting (Gallup Poll, 2009).
Sebaliknya negara dengan warga yang “religius”, negaranya sangat korup.
Negeri Belanda ada di mana? Data terbaru dari Tranparancy Internasional 2020 menempatkan Belanda sebagai negara nomor delapan dari 10 negara paling bersih dari korupsi.
Sementara itu negara yang sangat korup adalah yang warganya menganggap agama penting. Yaitu India, Filipina, Arab Saudi, Thailand, dan Indonesia di antara 179 negara yang disurvei.
Belanda juga termasuk sembilan dari 10 negara sejahtera di antara 189 negara.
Sementara negara yang warganya religius ada di urutan negara dengan tingkat kesejahteraan rendah. India di no 131. Indonesia no 107 dari 189 negara yang disurvei (Human Development Index 2020)
Data di atas itu menunjukkan bagaimana Negeri Belanda sebagai negara nomor sembilan dalam hal kesejahteraan. Nomor enam negara dengan warga bahagia. Dan nomor delapan sebagai negara bersih dari korupsi di dunia. Tetapi warganya termasuk yang tidak menganggap agama penting.
Data survei tersebut nampaknya terkonfirmasi dengan narasi keseharian hidup warganya.
Ruang publik mereka tidak diwarnai perbincangan isu agama. Mereka lebih diwarnai isu kemanusiaan.
-000-
Di negeri kita, Indonesia, ruang publiknya amat gaduh dengan perbincangan isu agama.
Politik identitas masuk ke ruang pendidikan, bahkan ruang privat ranah keluarga. Setiap orang yang ada di sekitar didefinisikan secara jelas, agamanya apa.
Identitas ini akan menjadi dasar bagaimana seseorang itu (harus) diperlakukan bahkan termasuk secara diskriminatif.
Agama yang seharusnya merupakan persoalan paling privat, telah menjadi pembeda utama dalam hubungan antar umat manusia.
Ada banyak penjelasan, tetapi hal paling signifikan sebagai penyebab terletak pada sistem pendidikan.
Sejak dari PAUD sampai perguruan tinggi anak-anak Indonesia mendapat pelajaran agama sebagai pelajaran wajib. Masalahnya adalah pelajaran agama diajarkan sebagai sistem keyakinan.
Agama diajarkan lebih sebagai cara atau prosedural formal beribadat. Ajaran yang boleh dan tidak boleh menurut prosedur itu. Bahkan ajaran itu juga tafsir, berisi klaim-klaim kebenaran. Semuanya itu bahkan harus dihafal.
Padahal agama seharusnya diajarkan sebagai sistem ilmu pengetahuan sosial, budaya, kesejarahan. Dengan demikian siswa dan mahasiswa bisa memetik pembelajaran dan moral dari peristiwa dalam agama.
Jika tidak ada reformasi berpikir, maka situasi seperti ini tidak akan berubah. Indonesia akan tetap menjadi negara dengan ranking rendah dalam hal kesejahteraan, pemerintahan bersih dari korupsi, dan kebahagiaan warganya.
Semoga buku ini menjadi bahan renungan kita. ***
-000-
Buku Denny JA yang direview dapat dibaca, diunduh, dicetak dan disebar melalui link
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/1596857733835656/