Berita Menunjukkan Kasta (Bagian 1)

press-man

Oleh WILLY PRAMUDYA*

Bahasa Menunjukkan Bangsa (Peribahasa);
Bahasamu Kastamu (Eko Endarmoko);
Beritamu Kastamu (Willy Pramudya)”

ALKISAH, sepenggal hari pada sekitar 2500 tahun lalu, di sebuah kelas seorang cendekiawan juga seorang guru yang dikenal sebagai orang bijak dan filsuf dari Timur, Konfusius, memberikan jawaban yang mencengangkan para muridnya setelah seorang rekan mereka bertanya: “Guru, apa langkah pertama yang akan Guru lakukan jika diangkat menjadi penguasa.” Konfusius menjawab pertanyaan itu dengan tegas: “Membereskan masalah bahasa!”.

Mendengar jawaban itu, murid lainnya bertanya: “Mengapa harus bahasa, Guru?“. Dengan gamblang Konfusius menjelaskan: “Jika bahasa tidak beres, maka apa pun yang diucapkan tidak akan sesuai dengan hal yang dimaksudkan. Jika hal yang diucapkan tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, hal-hal yang seharusnya dilakukan tidak akan dilakukan. Jika terus-menerus begitu, moral dan seni akan memburuk.”.

Murid lainnya lagi tersengat: “Apa yang terjadi jika moral dan seni akan memburuk?” Dengan tegas sang guru menjawab: “Jika moral dan seni memburuk, keadilan akan sesat. Jika keadilan sesat, rakyat akan terlihat plonga-plongo tak berdaya. Oleh sebab itu, tak boleh ada kesewenang-wenangan dalam berbahasa. Ini berlaku dalam semua urusan.”.

Kurang lebih 2500 tahun kemudian, agaknya hal yang dikemukakan Konfusius itu terjadi di negeri ini. Masyarakat di negeri ini kerap merasa kecewa dan geram terhadap cara berbahasa para penguasa di berbagai bidang (dan kaum elitenya). Cara berbahasa yang seperti itu bukan hanya dilakukan pejabat publik di pusat hingga pinggiran; melainkan juga para tokoh masyarakat; kalangan profesional; dosen dan guru, bahkan kalangan jurnalis dan mereka yang hidupnya tergantung pada kata (Terima kasih, Pak Teew).

Namun lebih dari rasa kecewa dan geram, cara berbahasa (berkomunikasi!) para penguasa kerap membuat masayarakat berada dalam posisi sosial yang sial, yakni tidak berdaya sekaligus harus mendaur ulang model berbahasa kaum penguasa. Padahal masyarakat yang tidak berdaya, termasuk dalam berbahasa, sangat membahayakan kelangsungan hidup bersama sebagai sebuah bangsa.


Rendahnya Empati

DUNIA media massa adalah dunia kekuasaan, yakni kekuasaan di bidang informasi. Hari ini kian terlihat kebenaran adagium yang dikemukakan oleh penulis sekaligus futurolog asal Amerika Serikat, Alvin Toffler : siapa yang menguasai informasi mereka menguasai dunia.

Namun patut diingat bahwa pada adagium tersebut sebenarnya serentak terkandung syarat bahwa penguasaan informasi hanya bermanfaat bagi publik ketika ia berada di tangan manusia berakhlak atau beretika. Jika informasi berada di tangan mereka yang tidak beretika, maka yang akan muncul adalah bencana. Selama dua dekade ini hal itu sangat terasa. Masyarakat dunia dikepung oleh bencana informasi berupa hoaks, berita palsu, dan berbagai bentuk penyelewengan informasi.

Pun demikian halnya dengan penguasaan informasi di kalangan pelaku media, terutama media pers arus utama. Penting diingat bahwa kekuasaan sekaligus kebebasan pers yang dimiliki pelaku media pers hanyalah sebuah pemberian bahkan sekadar pinjaman dari masyarakat. Pinjaman itu sewaktu-waktu sangat mungkin diminta kembali manakala pelakunya lalai apalagi abai terhadap obligasi atau kewajiban utamanya, yakni melayani kepentingan public, terutama berkaitan dengan hak memperoleh informasi yang benar.

Informasi yang benar digunakan manusia untuk membangun pengetahuan. Selanjutnya pengetahuan akan diolah untuk digunakan manusia dalam membuat keputusan, menentukan sikap, dan mengambil tindakan (Bandingkan Nursyawal; 2022); untuk meningkatkan kualitas hidup dan martabatnya sebagai makhluk manusia. Pelaku media yang tidak menjalankan kewajiban ini sama dengan melakukan khianat terhadap publik.

Namun sejak media baru berbasis internet lahir, muncul praktik jurnalisme yang mencerminkan rendahnya empati terhadap subjek pemberitaan pada banyak (pelaku) media. Bahkan tidak jarang muncul produk jurnalisme yang merendahkan (akal sehat) publik sebagai pemberi kekuasaan dan kebebasan pers. Hal itu kerap terlihat, antara lain, dalam produk berita tentang musibah yang memakan korban jiwa atau hilangnya nyawa. Bahkan sikap-sikap itu sudah muncul sejak awak media melakukan tugas peliputan.

Contoh terbaru rendahnya bahkan nihilnya empati sekaligus sikap merendahkan publik terlihat pada pemberitaan atas peristiwa musibah hilangnya Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril, putra Ridwan Kamil, gubernur Jawa Barat. Sebagaimana banyak diberitakan, sebelum ditemukan dalam keadaan meninggal pada 8 Juni 2022, Eril dinyatakan hilang di Sungai Aare, Swiss pada 26 Mei 2022. Silakan menyimak beberapa (judul) berita berikut.

(1) Kelakuan dan Kata-kata Ridwan Kamil dan Atalia Saat Jasad Eril Tiba di Indonesia Jadi Sorotan; (2) Jasad Eril Ditemukan, Ini Ramalan Rara yang Bikin Heboh; (3) Rara Pawang Hujan Klaim Ramalan Anak Ridwan Kamil Meninggal Jitu: Eril Baik tapi Ceroboh; (4) Ramalan Tarot Rara Sebut Eril Ditemukan Meninggal Dunia, Kondisi Jantung Eril Tertusuk Ditemukan Jam 8; (5)”Anak Ridwan Kamil Masih Dalam Pencarian, Begini Penerawangan Laskar Macan Ali”.

KOMPAS dalam berita berjudul Kejamnya Berita Ramalan tentang Eril, Putra Ridwan Kamil, dan Pudarnya Empati Manusia –yang memuat hasil wawancara dengan penulis sebagai salah satu narasumber, melaporkan bahwa tidak sedikit warganet yang mengecam konten tersebut.

Belakangan sejumlah media yang sempat mewartakan itu membuat berita klarifikasi. Bahkan sebuah media daring nasional menghapus berita berjudul ”Ramalan Mbak Rara Soal Anak Ridwan Kamil, Jasadnya Ditemukan Jam 8”. https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/06/01/kejamnya-berita-ramalan-tentang-eril-putra-ridwan-kamil-dan-pudarnya-empati-manusia

Dewan Pers yang tampak gerah oleh pola pemberitaan seperti di atas menurunkan imbauan tertulis pada Minggu (29/5/2022). Lembaga yang bertugas menjalankan pengawasan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan memastikan pers menjalankan tugas, peran, dan fungsinya dalam membuat berita yang bertanggung jawab serta berintegritas, memandang perlu keluarnya imbauan tersebut.

Dewan Pers juga mengimbau media dari berbagai platform agar tidak membuat berita yang berkaitan dengan prediksi atau ramalan terkait peristiwa tragedi kemanusiaan. Pers diimbau untuk lebih banyak menampilkan karya jurnalistik yang berdampak positif bagi kemanusiaan, sesuai dengan kode etik dan tidak melakukan glorifikasi yang akan membuat setiap keluarga korban tragedi kemanusiaan tertekan dan merasa bersalah.

Dewan Pers juga mengajak seluruh jajaran redaksi di seluruh platform media untuk bersama-sama mengedepankan jurnalisme empati dan tentu, tetap berpegang teguh terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ—pen.),” demikian imbauan Dewan Pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra.

BERSAMBUNG ke Bagian 2

*Penulis adalah jurnalis senior/editor, guru jurnalistik/penulisan popular, dan penyuka bahasa (Indonesia).

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.