Anakku bukan tergolong anak yang rewel. Karena sejak umur sehari, kebiasaan nangis-ngamuknya (nangisnya ngotot banget, kayak bayi digebukin preman) sudah kuatasi. Ini akan kuceritakan di postingan yang lain.
Nah, meskipun bukan anak yang rewel, tapi dia pernah tantrum sekali. Waktu umuran 2 tahun
Ceritanya begini
Suatu sore, dia melihat anak tetangga nangis-nangis sampai ndlosoran di carport ortunya. Suaranya kenceng banget… Lalu ayah anak itu, mengabulkan permintaan anak itu, dan anak itu langsung berhenti nangisnya.
Pas aku menengok keluar, aku melihat Nesa sedang menonton adegan itu dengan wajah ‘mikir’
Aku langsung ‘tahu’ bahwa pemandangan anak tetangga tantrum itu, sudah masuk ke benaknya.
Nah bener. Weekendnya, kami jalan ke Cibubur Mall ceritanya mau jajan bakso. Tahu-tahu dia minta mainan. Aku tolak, aku bilang,
“Tadi kan kita ke sini buat beli bakso saja. Bukan beli mainan. Kamu boleh liat-lihat mainannya, nanti dipilih yang kamu suka. Tapi belinya besok-besok kalau mama sudah ada uang lagi ya sayang…”
Eeeeh dia nangis. Nangisnya gero-gero persiiiiis anak tetangga…!
Aku tahu dia mau memakai strategi manipulasi ini karena tetangga selalu mengalah kalau anaknya sudah gero-gero tantrum begitu.
Aku lalu bilang ke Nesa cilik :
“Kamu nangis saja dulu. Nggak papa, nangis dulu sampai lega. Sampai sore juga nggak apa-apa. Mama tungguin.”
Lalu aku ikut duduk di lantai mall, di sebelah dia yang sedang nangis guling-gulingan.
Ada security mall, datang mengecek.
Ada beberapa ibu-ibu yang lewat, pada ngeliatin kami.
Aku bilang lagi sama Nesa,
“Tuh kamu diliatin sama orang. Mama sih nggak malu. Kan bukan mama yang geger…”
Nesa masih menangis kencang.
Aku biarkan.
Aku duduk santai saja di lantai.
Setelah dia melihatku nggak terpengaruh oleh intimidasinya, tangisnya mulai mereda intensitasnya.
Nah di situlah aku ‘masuk’ melakukan sihir terakhir… berupa sugesti positif :
Kubilang dengan nada penuh sayang,
“Kamu ini anak pinter. Bisa ngomong jelas, kalau minta apa-apa. Biasanya kan kalau kamu minta apa-apa juga selalu dikasih, kalau uangnya mama pas ada. Tapi kalau uangnya mama memang nggak ada, gimana? Memangnya duit jadi tiba-tiba ada, kalau kamu nangis..?”
Dia menggeleng.
Terus aku lanjutkan,
“Nah sekarang mama ngajak kamu milih mainan dulu. Kita cek harganya ya. Nanti kita nabung seharga itu ya…”
Dia lalu berusaha menenangkan diri dan menyudahi tangisnya.
Dan aku memeluknya, dengan demikian aku menjaga harga dirinya. Dia tidak kupermalukan atau kumarahi… Aku paham bahwa dia sedang belajar untuk menggunakan ‘kekuasaan’ (powernya). Dan aku mengajarinya cara bernegosiasi secara sehat. Secara diplomatis. Secara rasional. Secara terhormat.
Bukan dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak.
Sejak itu… dia SELALU bertanya dulu ‘mama punya uang nggak?’ kalau hendak minta apa-apa. Nggak pakai acara nangis lagi, apalagi ngamuk-ngamuk tantrum.
Catatan :
- aku bukan tipe ibu yang memakai strategi : anak harus SELALU dibuat menunggu. Tidak. Melainkan, kalau permintaan anak berupa hal yang berguna seperti : buku, mainan edukatif, kegiatan positif seperti belajar sepatu roda, les ice skating… k.a.l.a.u…u.a.n.g.n.y.a…a.d.a… maka akan langsung kubelikan. Nah kebetulan, di kisah ini, uangnya pas nggak ada.
- aku tipe ibu yang mengajari anak untuk mikir dulu, kalau beli sesuatu (misalnya beli cup cakes, atau kue tart kecil bersalut gula atau donat) :
penting nggak..?
Atau ini cuma untuk senang-senang…?
Kalau betul untuk senang-senang, coba kita ingat-ingat dulu… apakah kemarin kita barusan senang-senang..?
Karena, kalau kita menuruti kesenangan saja, tanpa melihat prioritas, nanti uang kita nggak cukup untuk membeli/membayar hal yang lebih penting….
Nana Padmosaputro