Oleh PANDUPAKSI
Sebelum ajal menjemput, menjelang kehadiran Sang Hyang Yamadipati, Prabu Pandu Dewanata sempat menitipkan Tahta Kerajaan Hastinapura dan Lisah Tala kepada kakaknya, Adipati Desatrarastra. Tahta yang semestinya diduduki Puntadewa, dan Lisah Tala untuk keselamatan Pandawa dalam perang, pelindung raga dari segala jenis senjata.
“Berikan nanti jika Pandawa sudah dewasa, Kakang Adipati,” pesan Prabu Pandu Dewanata.
“Tentu, Pandu. Mudah-mudahan aku bisa mengemban amanahmu. Lho, ini botol apa?” Adipati Desatrarastra meraba-raba botol Lisah Tala.
“Lisah Tala hadiah dari Sang Hyang Guru, Kakang Adipati.”
“Untuk apa sampai minyak saja kauwariskan Pandawa?”
“Lisah Tala, jika dioleskan ke kulit bisa jadi kebal senjata. Begitu pesan Sang Hyang Guru, Kakang Adipati.”
“Jagad dewa bathara.”
Adipati Desatrarastra memang berjanji dalam hati menjaga amanah dari adiknya. Akan tetapi, dia suami Dewi Gendari dan kakak ipar Patih Sengkuni.
“Kebo mulih marang kandhange. Dulu memang Kakang Adipati Desatrarastra yang harusnya duduk di Tahta Kerajaan Hastinapura. Trep jika sekarang kembali. Jangan sampai tahta kembali ke tangan anak-anak Pandu.” Dewi Gendari mulai merencana sesuatu, berduet dengan Patih Sengkuni.
“Lisah Tala? Hmmmm,” ucap Patih Sengkuni dalam dada. “Aku harus bisa memiliki Lisah Tala itu, bagaimanapun caranya!”
Dan, rencana busuk itu terlaksana sewaktu Adipati Desatrarastra benar-benar ingin mengembalikan tahta pinjamannya.
“Setidaknya sekarang ini Puntadewa sudah ngancik dewasa, kiranya sudah bisa mangreh praja.”
“Apa tidak buru-buru, Kakang Prabu?” sela Patih Sengkuni.
“Yang namanya amanah itu harus buru-buru disampaikan.”
Dewi Gendari pun ikut mengingatkan suaminya. Ingat bahwa Korawa yang jumlahnya tidak sedikit butuh tempat tinggal. Mau tinggal di mana seratus orang kalau tidak di Kerajaan Hastinapura. Korawa juga butuh kesejahteraan, yang hanya mungkin didapat jika tahta kerajaan diduduki ayah mereka. Syukur-syukur Duryudana yang menduduki Tahta Kerajaan Hastinapura. Dan sebagainya dan seterusnya. Akan tetapi, Adipati Desatrarastra tetap pada pendiriannya, pada rencananya. Maka, Dewi Gendari dan Patih Sengkuni pun tetap pada rencana busuk mereka juga.
“Pandawa dan Dewi Kunthi harus mati!” Demikian ikrar kakak-beradik dari Kerajaan Plasajenar itu.
Waktu dan tempat sudah ditentukan. Bukan dipersilakan. Dewi Kunthi dan Pandawa akan menerima tahta secara simbolik di Bale Gala-Gala.
Patih Sengkuni mengundang tenaga ahli di bidang perbalean.
“Tapi, buatlah bale dengan bahan yang mudah terbakar.”
“Kok begitu, Gusti Patih?”
“Sudahlah. Yang penting kamu dapat bayaran gede, kan? Jangan crigis!”
Bale berdiri megah. Inilah bale Gala-Gala yang siap dibakar. Tinggal tunggu Dewi Kunthi dan Pandawa masuk dan menikmati hidangan pembuka.
“Silakan Kang mbok Kunthi dan Pandawa menunggu di bale yang sudah tersedia,” ucap Patih Sengkuni ramah seramah-ramahnya.
“Iya, Yayi Kunthi, silakan
lho. Hidangan juga sudah tersedia,” timpal Dewi Gendari.
“Mengko dhisik! Kenapa harus di bale?” usut Bratasena.
“Biar suasana netral untuk acara serah-terima, Bratasena…” jawab Patih Sengkuni.
“Bratasena, jangan bikin malu Kanjeng Ibu,” tegur Puntadewa.
Dewi Kunthi dan Pandawa masuk bale. Tetapi, tak seorang pun Korawa menyertai mereka. Bratasena menoleh ke belakang. Yakin, hanya mereka yang masuk bale. Bratasena curiga. Pasti ada sesuatu di dalam bale. Diperiksanya hingga sudut-sudut bale.
“Permadi, siap-siap. Aku mencium gelagat yang tidak wajar.”
“Bratasena, jangan berburuk sangka sama saudara tua. Mereka bermaksud baik…” Belum selesai Dewi Kunthi menegur Bratasena, api berkobar dari segala penjuru. Bratasena menyambar Dewi Kunthi dan Pinten-Tangsen. Kini mereka bertiga dalam gendongannya. Pinten dan Tangsen mulai menangis kepanasan. Anak-anak usia belasan tahun itu belum memiliki kesaktian untuk menahan panasnya api. Bratasena siap melompat. Tetapi, api terlalu besar dan asap membuat pandangan gelap. Bratasena bahkan lupa di mana pintu bale berada.
Bale Gala-Gala berbalut warna merah dan gulungan asap berwarna hitam. Patih Sengkuni tertawa-tawa dalam hati. Lahiriahnya ia berteriak-teriak, menyuruh Korawa untuk memadamkan api. Bukan dengan air, melainkan dengan minyak tanah. Dewi Gendari bersiap-siap menjawab pertanyaan Adipati Desatrarastra yang sedang dituntunnya menuju Bale Gala-Gala.
“Gendari, suara apa itu. Kenapa Korawa berteriak-teriak?”
“Kebakaran, Kakang Adipati.” Dewi Gendari menjawab sembari menyungging senyum.
(Bersambung)