Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 02/05/2023 – Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) di Jalan Pasar Baru No.1 Jakarta Pusat, konsisten menyajikan pertunjukan-pertukan seni panggung bermutu, mencerahkan dan meninggalkan ‘diskusi’ berkelanjutan di benak para penonton saat pulang ke rumah masing-masing. Bahkan walau sebenarnya pertunjukan itu sekadar peringatan 100 Hari (wafatnya) N Riantiarno.
Nobertus Riantiarno, jurnalis dan seniman serbabisa (aktor, sutradara teater/film, penulis lakon / novel/ skenario film / novel / cerpen / esai) wafat pada Jumat pagi, 20 Januari 2023. Mas Nano, begitu saya biasa memanggilnya, dimakamkan di Taman Giritama di Kemang, Bogor.
Keluarga besar Teater Koma, 30 April 2023, mengundang kerabat dan sahabat almarhum, hadir di GKJ, menikmati Empal Gentong dan Nasi Jamblang khas Cirebon, sebelum kemudian digelar ‘pentas’ 100 Hari N Riantiarno.
Teater Koma merupakan lesenian non-profit yang didirikan almarhum pada 1 April 1977, bareng 11 orang rekannya sesama aktivis seni peran, yakni Ratna Madjid (kemudian menjadi istrinya), Rima Melatu, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Saeful Anwar, Cini Gunawsn, Jim B Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu, dan Agung Dauhanadalah.
Sejak drama Rumah Kertas yang dipanggungkan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta – yang sekaligus jadi pertanda kelahiran kelompok ini, sudah lebih dari 111 repertoar (naskah drama) dipanggungkan Teater Koma di panggung-panggung konvensional di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, di TVRI, di hotek-hotel, cafe ataupun mal, bahkan pertunjukan dalam format video yang tayang di kanal YouTube.
Selain di TIM (dibangun Ali Sadikin, dan kini dirombak habis-habisan hingga banyak yang bilang: “TIM kehilangan roh dan marwah sebagai ruang seni,”), Teater Koma juga banyak manggung di HKJ yang dulu dikenal orang Jakarta sebagai Gedung Komedi Schouwburg Weltevreden.
Digagas Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808 -1811) Herman Willem Daendels, gedung ini direalisasikan Gubernur Jenderal Inggris di Jaws, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.
Jepang menaklukkan Hindia Hindia Belanda, tapi USA menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Indonesia merdeka. GKJ matisuri, sebelum dipugar tahun 1984/1987 dan hidup lagi di tahun 1993. Banyak grup kesenian dalam dan luar negeri pentas di GKJ, mempertunjukan produk seni panggung pilihan, klasik ataupun modern. Tapi percaya nggak percaya, Teater Koma dengan drama-draman komedinya yang ‘gerr…!” dan penuh kritik sosial (selalu dipadati penonton) punya andil besar dalam mempopulerkan kembali GKJ sebagai gedung.pertunjukan kelas dunia.
Dengan kilas balik sejarah seperti itu, maka bukan suatu hal yang kebetulan bila peringatan 100 Hari (wafatnya) N Riantiarno digelar di GKJ, dan bukan suatu kebetulan.pula bila pihak GKJ menerima dengan tangan terbuka program silaturahim seni yang ditawarkan Teater Koma ini. Dan walau digagas sebagai titimangsa 100 hari wafatnya satu dari 12 orang pendiri, sekaligus peluncuran buku Nano & Ratna: Berdua Melintas Batas, tapi Teater Koma tetap menfolahnya jadi sebuah pertemuan budaya sekaligus pertunjukan repertoar seni yang mencerahkan dan menggetarkan rasa
Suasana budaya sudah tetasa saat menjelang hajatan dimulai. Hadirin, yang umumnya menerima undangan.langsung dari pihak panitia, disuguhi Nasi Jamblang dan Empal Gentong, dua jenis kuliner khas Cirebon – kawasan budaya asal almarhum, yang siap disantap di ruang sayap kiri dan kanan Gedung GKJ, sementara irama musik pengiring Tari Topeng Cirebon mengalun.memenuhi ruang.
Irama musik Topeng Cirebon nyatanya juga terus menggema di ruang pertunjukan saat gong pertama terdengar, tanda penonton dipersilakan masuk ruang. Layar panggung nyaris dipenuhi poster sorot bertuliskan 100 Hari N Riantiarno. Papar pangyung sendiri hanya dihiasi sebuag stager yang dipenuhi sesuatu (seperti tumpukan kostum pamggung) di sayap kanan, dan sepasang kursi rotan (berbentuk rangka, tinggi) di sayap kiri panggung, yang menurut Rangga Bhuana (putra sulung almarhum Nano & Ratna) merupakan kursi properti pertunjukan Tanda Cinta (berdurasi 3 jam) produksi Teater Koma, yang diperankan berdua oleh almarhum Papa dan Mamanya di GKJ sekian tahun lalu.
Pertunjukan sudah dimulai sebelum terdengar bunyi gong ketiga. Paling tidak di layar, di antara musik pengiring Tari Topeng yang mengisi ruang, tampil siluet gerak-gerik sosok penari Topeng Losari – Cirebon, dibawakan Nani Sawitri – generasi penerus legenda Topeng Losari – Cirebon: Mimi Sawitri. Tak cuma tampil dalam siluet di.layar, di tengah pertunjukan Nani Sawitri jiga tampil.nyata di panggung, mempesona penonton lewat herak tari berbagai karakter (Panji, Rumyang, Kelana, dll) dalam sajian Topeng Losari – Cirebon.
Pertunjukan 100 Hari N.Riantiarno memang dikemas secara mix-media. Ada tayangan video ihwal perjalanan almarhum dalam berkesenian, diselingi penampilan para aktor serta testimoni para sahabat, wabil.khusus ihwal apa dan siapa almarhum N. Riantiarno. Antara lain penampilan Penyair Taufik Ismail yang.membacakan sebuah sajak panjang diiringi gesekan musik biola akustik yang dimainlan oleh seorang (?) murid Idris Sardi.
Ada juga kesaksian dramaean/novelis/jurnalis Putu Wijaya yang dari atas kursi roda antara lain membakar semangat para anggota Teater Koma yang harus tetap spartan meneruskan dan menghidupkan Teater Koma.
Tak kalah menarik adalah penampilan duet Slamet Rahardjo (sahabat almarhum sejak sama kuliah di ATNI) dan aktor Butet Kartarajasa yang berkali-kali.mengaku sebagai satu dari sekian banyak murid almarhum N Riantiarno. Seperti program Republik Sentilan Sentilun yang pernah rutin mereka bawakan di sebuah stasiun TV Swasta Nasional, Slamet dan Butet tampil dalam gaya komedi satir, mengupas habis hal-hal eksklusif seputar almarhum di sepanjang pergaulan mereka sebagai sahabat dan saudara.
Di awal.pertunjukan, Rangga Bhuana menginfokan bahwa di bulan-bulan terakhir sebelum wafat, papanya ada menulis sebuah naskah monolog bertajuk Pulang. Berkisah ihwal seorang laki-lagi dengan seorang istri dan 4 anak.mereka, yang menjalani hidup, growing old (tumbuh menjadi tua) dengan bahagia. Sampai kemudiqn dia merasa sudah waktunya buat “Pulang”.
“Ini naskah terakhir yang ditulis Papa saya,” ungkap Rangga. Diperankan sendiri oleh almarhum saat sekali waktu naskah tersrbut dicoba dihidupkan sebagai karya panggung di taman kecil di markas Teater Koma di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, dan kru Teater Koma merekamnya sebagai karya video, dan sudah tayang di kanal YouTube.
Penggalan karya video Pulang itu sepertinya mwrupakan klimaks pertunjukan 100 Hari N Riantiarno. Kita disuguhkan kembali karakter,bolah tubuh, akting panggung sebelum pulang ke haribaan-Nya.
Pulang meninggalkan Gedung GKJ nyaris tengah malam, saya jadi ingat puisi almarhum Pak Teguh Karya tahun 1994, yang dibacakan di Gedung Seni Rupa TIM (kini nggak jelas lagi dimana lokasinya) yang saat sedang digunakan Teater Koma untuk pentas drama RSJ (Rumah Sakit Jiwa) dalam rangka HUT ke-17 Teater Koma.
Kemarin aku menanam pisang
Kini tumbuh berbuah di mana-mana
Demikian puisi singkat Teguh Karya, guru almarhum Riantiarno (dan Slamet Rahardjo) di Teater Populer, ihwal regenerasi yang idealnya memang tak mesti berhenti, saat pimpinannya telah tiada.
Al-Fatihah…