HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Waktu mengasuh rubrik kesehatan di Majalah HAI pimpinan Arswendo Atmowiloto almarhum, dia yang menamakan rubrik yang saya asuh “Dokter Jarak Jauh”, menjawab semua pertanyaan kesehatan, sekitar tahun 75-an di majalah remaja satu-satunya ketika itu.
Selama pensiun dan jauh hari sebelumnya, saya menerima surat konsultasi lewat email, SMS, WA, dan messenger FB untuk berbagai penyakit apa saja. Kalau dari deskripsi keluhan gejala, dan tanda yang dialami cukup lengkap untuk mendiagnosis satu entitas penyakit, saya bisa memberikan anjuran. Tapi tak mungkin mendiganosis kalau deskripsinya minimal. Misal kalau hanya keluhan demam, atau sakit kepala saja.
Kelemahan telemedicine atau berobat jarak jauh, sebagaimana dalam satu dasawarsa belakangan menggejala di dunia, dan sekarang ketika pandemi membatasi orang datang berobat ke dokter, layanan telemedicine menjadi andalan. Selain keluhan, gejala, dan tanda, perlu ada dialog dokter-pasien untuk melengkapi agar yang dipikirkan dokter mengerucut pada satu dugaan diagnosis (differential diagnoses), selain mungkin diperlukan foto andai ada kelainan fisik yang kelihatan di kulit, mata, bibir, wajah, atau struktur sendi.
Dokter belajar secara sistematik untuk menuju sebuah kesimpulan dari apa yang dilihat, didengar, diraba, diperiksa pada pasiennya, sesuai dengan keluhan, gejala, dan tanda penyakitnya. Ibarat detektif, sebelumnya dia menginvestigasi dengan bertanya yang menjurus pada apa yang sedang dokter pikirkan ihwal keluhan, gejala, dan tanda penyakit untuk menuju satu kesimpulan. Kesimpulan itulah entitas penyakitnya sebagai diagnosis.
Apakah semua pasien yang datang berobat ke kamar praktik selalu berhasil didiagnosis, barang tentu tidak selalu. Mungkin perlu pemeriksaan laboratorium, mungkin perlu pemindaian, mungkin perlu pemeriksaan penyokong lainnya. Penyakit herpes, luka, cacar, campak, radang mata, stroke, parkinson, ayan, kencing nanah, congek, jerawatan, darah tinggi, panu dan semua penyakit kulit sudah bisa diagnosis hanya dengan melihat, dan tambahan anamnesis. Tidak demikian dengan diabetik yang mengandalkan pemeriksaan laboratorium gula darah.
Dokter belajar semua gejala, tanda, dan keluhan penyakit yang ratusan jenis. Di kepala dokter sudah ada semua formula penyakit. Misal, sudah hapal di luar kepala kalau tipus itu demam lebih seminggu, demam muncul sore hari, demam disertai nyeri kepala, ada gangguan pencernaan mencret atau sembelit, pada pemeriksaan fisik pasien dokter menemukan hati dan limpa membengkak. Namun masalahnya tidak semua pasien tipus saat datang berobat belum tentu sudah memperlihatkan gambaran seutuh selengkap di buku teks dan ada di kepala dokter. Mungkin baru ada demam saja, atau nyeri kepala saja, mungkin mulas saja. Ibarat pohon, baru memperlihatkan akarnya saja, atau batangnya saja, atau daunnya saja. Mana mungkin dokter menyimpulkan apa jenis pohonnya hanya dari data seminimal itu, dengan catatan di kepala dokter sudah hapal semua jenis pohon seperti apa.
Itulah seninya mendiagnosis. Dari yang dilihat, didengar, diperiksa, dokter sudah harus menyimpulkan apa penyakitnya. Makin baru awal penyakitnya, makin sukar menentukan diagnosisnya. Di balik gejala demam misalnya, ada puluhan penyakit. Begitu juga di balik nyeri kepala, mulas, atau nyeri yang lain. Ibarat pohon itu baru kelihatan akarnya. Bagaimana kita menentukan jenis pohon apa kalau yang terlihat baru akar pohonnya.
Itulah peliknya mendiagnosis. Sepintar secerdas apapun dokter, tak mungkin mendiagnosis ketika penyakit masih awal. Mungkin bisa dibantu dengan pemeriksaan laboratorium. Pada tipus di awal sudah ada kelainan darah tertentu, selain tes menunjukkan adanya gambaran darah tipus. Atau pada DB yang gejalanya baru demam, bisa terdeteksi dengan laboratorium darah. Itupun kalau dokternya saat memeriksa sudah memikirkan, berasosiasi kalau demamnya kemungkinan sebab tipus, atau demam sebab DB. Bila sedang musim tipus, dokter berasosiasi itu demam tipus. Dan berasosiasi demam DB kalau sedang endemik DB.
Hanya oleh karena jam terbang, selain cerdas menguasai ilmunya, dokter sudah dapat mendiagnosis dari keluhan dan gejala yang masih sedikit memperlihatkan diri. Tajam mengamati sosok pasien, cara pasien berjalan, apa yang terlihat pada wajahnya, misal kasus usus buntu yang sudah berat, jalan pasien khas membungkuk karena nyeri, pasien tipus juga khas tampilannya, selain lidah bersalut putih, dan demamnya khas sore hari, selain menemukan hati serta limpanya bengkak.
Kecerdasan dan kejelian dokter, dan ketajaman mengamati, dan menganalisis secara sistematik, berhasil memadukan ilmu di kepalanya dengan fakta yang dilihat, didengar, diperiksanya, serta kejelian mengamati pasien, memungkinkan diagnosis lebih tepat ditegakkan. Mungkin tanpa perlu bantuan pemeriksaan penyokong lainnya.
Diagnosis bisa meleset kalau isi kepala dokter tidak atau kurang lengkap ihwal entitas semua penyakit, atau lengkap isis kepalanya tapi dokter kurang berhasil memeriksa, karena kurang terampil, kurang tajam memeriksa dan menemukan kelainan pada fisik pasien, atau tidak jeli melihat adanya tanda (sign) penyakit.
Bercak Koplik di gusi, misalnya, bisa ditemukan pada pasien difteria. Hanya bila dokter belajar tahu kalau kasus difteria ada bercak Koplik, dan dokternya pernah melihat sewaktu sekolah, lalu menemukannya pada pasien yang sedang diperiksanya, maka dokter bisa mendiagnosis difteria. Begitu juga untuk campak (measles) selain ruam kulit, terlihat mata merah, dan pilek, khas pada campak. Atau kasus kurang vitamin A pada anak, ada bercak Bitot mirip pualam pada putih mata, anak kurus, dan kurang gizi. Dokter berhasil mendiagnosis hanya atas dasar melihat tanda penyakit, selama ilmunya ada di kepalanya.
Setiap penyakit itu memperlihatkan keluhan, gejala, dan tanda. Tanpa mendalami keluhan pasien, dan mengamati gejala, serta tanda, sukar untuk menuju dugaan dan kesimpulan pada suatu penyakit tertentu. Misal, jenis demamnya dianalisis seperti apa, berapa derajat tingginya, kapan saja timbulnya, disertai menggigil tidak, apa demam muncul berkala, apa hanya sore hari. Begitu juga keluhannya, kapan saja muncul, lebih nyaman kalau bagaimana, dan lebih berat kalau bagaimana, sudah berapa lama, apakah hilang timbul, apakah makin hari makin progresif. Kapan tanda mulai muncul, ada bercak ruam di kulit, ada bercak di dekat gusi, atau lebam di kulit, atau tanda lain. Dan bila semua keluhan, semua gejala dan semua tanda terkumpul di kepala dokter, dokter sudah berhasil menangkap berasosiasi ihwal entitas suatu penyakit. Atau mungkin masih diperlukan bantuan pemeriksaan lain kalau kesimpulan belum bisa dipastikan.
Baru dugaan Covid (suspect Covid), maka perlu pemeriksaan darah selain tes positif, perlu tahu status penyakit sudah sampai mana. Tak cukup tahu positif saja, dari hasil pemeriksaan darah dapat terungkap apakah Covidnya ringan, sedang, parah, atau kritis.
Jadi selain seberapa muatan isi kepala dokter, dokter perlu lengkap dan utuh ingatan memorinya tentang semua sifat penyakit, dokter harus cerdas juga menemukannya sesuai formula penyakit pada sosok pasien yang diperiksanya setelah melihat, mendengar, membaui, serta memeriksanya.
Dokter belajar sistematik memeriksa pasien, mulai dari kepala sampai kaki, dan pemeriksaan terfokus setelah yang dipikirkan dokter mengerucut berasosiasi pada entitas suatu penyakit. Bila berpikir ini kasus tipus, dokter fokus memeriksa lidah pasien apa bersalut putih susu, apakah hati dan limpa mebengkak.
Makin cerdas dokter menganalisis kondisi pasiennya, makin bertangan dingin seorang dokter. Jadi selain bernas isi kepalanya dengan formula semua penyakit, perlu juga tangkas memeriksa dan bertanya berinvestigasi terhadap kondisi pasiennya. Lupa formula penyakit tipus, bagaimana fokus bisa bertanya ihwal sifat tabiat penyakit tipus, ihwal perlu memeriksa fisik apa pada kasus tipus. Maka itu sebab gagal mendiagnosis tipus.
Kedokteran itu science and art. Di situ seninya. Antar sejawat dokter bisa saja berbeda diagnosis itulah seni mendekati pasien. Dan profesi dokter itu ibarat montir mobil. Kalau mobil mogok, montir berpikir sistematik, apakah aki lemah, atau dinamo mati, atau busi rusak, atau dinamo starter tak berfungsi, atau kehabisan bahan bakar. Dari semua kemungkinan itu montir terfokus memeriksa yang terkait dengan semua kemungkinan yang dipikirkannya itu. Tanpa mengetahui semua kemungkinan penyakit mobil mogok, montir cap cip cup saja meraba-raba kemungkinan mogok, dan gagal memperbaiki. Demikian pula dokter, bisa saja gagal mendiagnosis, atau meleset mendiagnosis. Bedanya, manusia bukan mesin mobil.
Manusia punya jiwa, emosi, dan mood, serta masalah, selain seberapa terampil mengungkapkan keluhannya. Dokter perlu cerdas menangkap ungkapan keluhan pasien. Keluhan nyeri, misalnya, bisa beraneka ragam jenis dan kaliberasinya. Nyeri tajam, nyeri tumpul, nyeri menjalar, dan seberapa derajat nyeri tidak bisa seragam. Belum tentu dokter pernah mengalami sendiri apa yang dirasakan pasien, maka sukar berempati, hanya sebatas teori, termasuk nyeri melahirkan anak, dokter pria hanya tahu teori.
Dokter bertangan dingin itu dokter yang selain cerdas keilmuannya, lengkap memori semua penyakit, terampil memeriksa medik, elok komunikasinya dengan pasien. Dokter bertangan dingin dokter yang pandai mendengarkan, yang sabar, yang telaten memeriksa, dan tampil meyakinkan karena bisnis profesi dokter itu bisnis trust. Dokter yang tampil kumal dan kuku jemarinya hitam, bikin pasien kurang percaya, walaupun lulus dokternya cumlaude.
Sekolah dokter dibekali kemahiran memeriksa fisik untuk menemukan kelainan fisik seturut penyakit yang dipikirkan dokter sehabis memeriksanya, selain bekal ilmu penyakit, ilmu jiwa, sifat darah, dan tabiat semua penyakit.
Maka sesungguhnya lebih penting temuan dokter pada pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasiennya, sedang pemeriksaan pembantu laboratorium, pemindaian, atau rekam jantung, otak, otot, hanyalah pemeriksaan pembantu untuk mendiagnosis. Keliru apabila dokter mendiagnosis hanya dari pemeriksaan laboratorium saja, atau ronsen saja, atau USG saja, atau MRI saja, atau scaning saja, karena itu semua hanya untuk penyokong, atau konfirmasi atas yang sudah dokter pikirkan dan diagnosis. Kecuali kasus diabetik, dokter tunduk hanya pada hasil laboratorium gula darah.
Sekolah dokter memang tidak ringan. Harus kuat menghapal, selain tajam menganalisis dan menginvestigasi penyakit tak ubahnya detektif. Dan profesi dokter terkait nyawa, maka diluhurkan, orang menaruh respek tinggi. Status sosial profesi dokter dulu di bawah gubernur, begitu juga stuktur penggajian.
Dokter dianggap profesi yang serba tahu, serba bisa. Waktu saya dinas di puskesmas di daerah, dokter diminta pidato untuk acara sunatan, pak lurah mantu, nenek kawin lagi, atau acara tujubelasan. Dokter juga menjadi penasihat keluarga untuk urusan apa saja, termasuk perceraian, atau nasihat sebelum menikah, karena dokter belajar Ilmu Jiwa selain seksuologi juga.
Sekolah dokter meliput semua itu karena sehat berarti sehat badan, jiwa, sosial, dan spiritualitas. Namun kemampuan dokter, betapa cerdas dan bertangan dingin sekalipun, tak mungkin hanya dengan mengungkapkan demam saja, dokter bisa menjawab ini sakit apa?
Hal yang sering terjadi, masyarakat bertanya, sakitnya apa dokter, hanya dengan mengungkapkan nyeri kepala saja, atau nyeri saja. Masyarakat perlu memaklumi kalau dokter perlu tahu selain keluhan umum itu ada apa saja keluhan lainnya atau disertai gejala apa, dan yang apa yang lainnya itu sifatnya bagaimana, dengan demikian baru semakin terlihat terbuka gambaran entitas suatu penyakit.
Misal, pasien 45 tahun sering nyeri kepala, dokter berpikir tentang rabun dekat (presbyopia) yang dialami orang setelah kepala empat, harus memakai kacamat baca. Maka dokter bertanya, seberapa jauh jarak bacanya. Kalau pasien menjawab membaca harus jauh, lebih dari 30 Cm baru terbaca, hampir pasti sakit kepalanya sebab belum berkacamata baca. Obatnya kacamata baca. Atau bisa dari gigi bolong, atau sinusitis, atau bisa tensi darah, atau bisa kurang darah, atau bisa sebab banyak pikiran.
Enaknya jadi dokter, satu-satunya profesi yang masih dipanggil sesuai bidangnya, yakni Dokter. Maka tetap dipanggil Dok, Dok. Tidak ada yang memanggil Nyur-Nyur untuk insinyur, atau Randa-Randa untuk dokteranda, atau Des-Des untuk dokterandes.
Wassalam,
Dr HANDRAWAN NADESUL