Edvard

Edvard Munch, adalah salah-satu dari sekian banyak pelukis dunia, juga -tentu saja – pelukis Indonesia yang aku kagumi. Kesenian (seni apa saja) menurut mendiang Mochtar Lubis adalah ‘satu-satunya’ karakter positif dari beberapa kesimpulannya tentang karakter orang Indonesia..

1.Percaya tahyul, 2.Enggan bertanggung jawab, 3.Suka Jalan pintas, 4.Feodal, 5. Berkepribadian lemah dan 6,…yaitu tadi (satu-satunya yang positif dan bisa disejajarkan dengan dunia) adalah: Kesenian. Orang Indonesia itu secara alamiah…NYENI.

Wah ma’af blanyongan,…padahal mau cerita Edvard Munch, ya.

Seperti beberap pelukis dunia lainnya, EdVard dikenal di sini dalam karyanya dengan teknik melukis yang ‘pletat-pletot’ yaitu “The scream“. Padahal lukisan-lukisan Edvard lainnya bergaya realis atau semi surealis dengan goresan-goresan yang tegas dan kuat.

Karya Edvard yang aku plesetkan itulah mungkin satu-satunya karyanya yang dikenal di sini dan mungkin juga di seluruh dunia.

“The scream”. Menggambarkan sesosok manusia yang sedang melolong putus asa dengan ekspresi kosong atau kebingungan dengan apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Sementara di belakangnya, seperti di sebuah jalan atau jembatan, di kejauhan orang sedang berbincang, seperti tak peduli dengan apa yang sedang terjadi di sekitar. Juga seperti tak peduli dgn seseorang yang sedang melolong di latar depan.

Melihat tahun pembuatannya, konon lukisan itu menggambarkan semacam pageblug atau suatu peristiwa dahsyat yang sedang terjadi di Indonesia. Konon juga peristiwa dahsyat itu sampai mempengaruhi iklim di seluruh dunia.

Peristiwa itu adalah: Gunung Tambora meletus dgn dahsyat. Jauh lebih dahsyat ketimbang letusan gunung Krakatau.

Pasir yang disemburkan dari dalam perut bumi dari gunung Tambora itu konon begitu dahsyat dan masiv volumenya. Pasir itu terbawa angin keseluruh dunia, menempel di awan, sehingga langit berwarna marah, kuning dan kelabu yang aneh dan menyeramkan.

Karya Edvard Munch itu, aku contek menjadi ilustrasi untuk sebuah cerpen atau ilustrasi psikologi (aku lupa persisnya). Saat itu, 10 tahun lalu, ketika aku bekerja di sebuah tabloid sebagai ilustrator. Sa’at itu aku baru di perkenalkan menggambar dengan teknologi digital. Yak, karya plesetan dari “The Scream” itu aku buat dengan teknik digital.

Terimakasih Edvard

Aries Tanjung

Ikuti tentang seni : Mural