Sama seperti pada masyarakat budaya lainnya, tidak setiap orang Mentawai (bahkan yang sudah berstatus Sikerei, yang berarti usianya sudah di atas 40 tahun) itu punya kemampuan sebagai Sipati’ti. Kemampuan membuat rajah, tattoo atau ti’ti dimiliki seseorang karena dotongan kuat dari dalam dirinya untuk mampu menjadi Sipati’ti. Julukan cuma sampiran.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SILA buka situs wisata internasional berkait Eksotika Mentawai, Sumatera Barat, Indonesia. Pada buku dan brosur serta film-film yang ada, yang ditonjolkan nyaris selalu foto sosok seorang tradisional dengan busana minim, bahkan yang pria cuma mengenakan cawat serta tubuhnya penuh rajah atau tattoo.
Dalam tradisi adat orang Mentawai, penganut Sabulungan atau Sambulungan, faham atau kepercayaan pada ‘roh’ atau kekuatan gaib yang sembunyi di dalam berbagai benda hidup di alam dan boleh dimanfaatkan demi kebaikan hidup, rajah atau tattoo itu bisa diibaratkan sebagai pakaian (sandang) sekaligus sebagai identitas diri orang yang memakainya.
Secara umum, bahasa Mentawai yang terdiri dari berbagai dialek (semisal dialek Sipora-Sikakap di Pulau Sipora dan Sikakap, serta dialek Rereiket yang digunakan masyarakat sepanjang aliran Sungai Rereiket di Pulau Siberut) rajah atau tattoo disebut ti’ti yang berarti titik, mengacu pada pola dasar gambar atau motif tattoo yang dibentuk berdasar titik yang sambung-menyambung.
Para penato atau juru tattoo disebut Sipati’ti. Kapan profesi Sipati’ti hadir? Tentu sejalan dengan hadirnya budaya ti’ti sebagai sandang dan identitas diri orang Mentawai. Yang pasti Drs Ady Rosa, M. Sn yang dikenal sebagai Jenderal Tattoo Indonesia, dalam berkas penelitia nyanyebut bahwa budaya ti’ti di Mentawai merupakan seni tattpo yang tua.
Kapan tradisi seni tattoo dikenal orang Mentawai? Kita tak tahu, sebagaimana sejarah tua di Indonesia yang bahkan para sejarawan pun nggak ngeh. Yang pasti dalam penelitian tahun 1992-1993 di Pulau Siberut (Mencakup Desa Bojakan Lita , Matotonan, Paipajet, Pulikkoman, Sagulubbek, Simalegi, Simatalu, Taileleu, dan Tetekan Hilir) Ady Rosa menemukan 160 buah motif ti’ti.
“Ini cuma motif ti’ti yang ditemukan di Siberut. Masih banyak motif yang belum diriset, semisal.motif-motif ti’ti di tiga pulau besar lsin di Mentawai yakni Pulau Pagai, Sikakap dan Sipora,” ungkap Pitto Gagai Sikatsila yang akrab disapa Joel, seorang Sipati’ti yang saya temukan di kapal-cepat Mantawai Fast II saat melaju 4 jam dari Kota Padang ke Kepulauan Mentawai di utara Samudera Hindia.
“Ini cuma motif ti’ti yang ditemukan di Siberut. Masih banyak motif yang belum diriset, semisal motif-motif ti’ti di tiga pulau besar lsin di Mentawai yakni Pulau Pagai, Sikakap dan Sipora,” ungkap Pitto Gagai Sikatsila yang akrab disapa Joel, seorang Sipati’ti yang saya temukan di lapal-cepat Mantawai Fast II saat melaju 4Jam dari Kota Padang ke Kepulauan Mentawsi di utara Samudera Hindia.
Sama seperti pada masyarakat budaya lainnya, tidak setiap orang Mentawai (bahkan yang sudah berstatus Sikerei, yang berarti usianya sudah di atas 40 tahun itu punya kemampuan sebagai Sipati’ti. Kemampuan membuat ti’ti dimiliki seseorang karena dotongan kuat dari dalam dirinya untuk mampu menjadi Sipati’ti. Julukan cuma sampiran.
Faktanya, tak banyak orang Mentawai berpredikat Sipati’ti. “Orang muda Mentawai yang jadi Sipati’ti kini cuma 5 orang,” kata Joel. Sipati’ti tua, yang berarti sekaligus berstatus Sikerei, Joel tak tahu tinggal berapa orang. Namun Joel yang punya usaha tatto dan sering posting di Instagram ini menyebut, “Yang kemarin nato tamu di acara Liat Pulaggajat itu Sipati’ti sekaligus Sikerei dari Desa Matotonan,” kata Joel.
Seorang Sikerei bisa sekaligus berkemampuan Sipatiti. Tapi Sipati’ti tak harus Sikerei, sama seperti Sikerei yang belum tentu Sipati’ti. Keduanya profesi adat yang berbeda , ada bagian kerjanya masing-masing. Sipati’ti berkemampuan membuat motif ti’ti di kulit tubuh seseorang, sedang Sikerei ahli pengobatan tradisional.
“Menjadi Sikerei bukan hal mudah. Banyak proses adat harus dilalui dan dijaga selamanya. Menjadi Sikerei buksn cuma karena adat meminta tapi juga harus ada kemauan dan kesiapan, ada ‘lawatan’ mimpi yang datang,” kata Joel saat ditanya mengapa dia tak jadi Sikerei sebagaimana jejak leluhurnya. Dia pilih jadi Sipati’ti karena itu yang jadi ‘lawatan’ mimpinya.
Selanjutnya, orang Mentawai yang tak bertato