OLEH : AYU SULISTYOWATI
Rasanya kita sudah terlalu sering disuguhi kisah nyata rasial yang terjadi di Amerika. Kadang menyakitkan, kadang menakutkan, kadang mengenaskan, kadang menyedihkan, atau malah gabungan semuanya. JUST MERCY (2020) melengkapi deretan kisah sedih mengenaskan itu.
Menjelang kelulusannya dari fakultas hukum Harvard, Bryan Stevenson tanpa sengaja mengunjungi seorang tahanan yang akan dihukum mati. Sejak itu ia bertekad bila lulus nanti akan membela mereka yang tersisihkan dan barangkali juga tak mendapat keadilan. Maka, di akhir tahun 80-an dengan restu setengah hati ibunya, begitu lulus Stevenson pun hijrah ke Alabama. Di kota dengan salah satu penjara terbesar di Amerika itu, Stevenson memulai praktek hukumnya dibantu Eva Ansley, ibu muda yang sama-sama idealisnya.
Kantor kecil mereka berlokasi di ruang tamu rumah Ansley, lantaran tak ada orang yang mau menyewakan kantor untuk praktek hukum pria berkulit hitam. Stevenson pun langsung ‘mendata’ tahanan hukuman mati di penjara Alabama. Sebagian besar dari mereka menyambut gembira kedatangan pengacara muda itu. Kecualli Walter ‘Johnny D’ McMillan yang didakwa membunuh seorang gadis kulit putih. Johnny D merasa sudah putus asa lantaran uang tabungan keluarganya sudah habis untuk menyewa pengacara yang malah menipu mereka. Padahal ia bahkan tak tahu menahu tentang pembunuhan yang dituduhkan.
Namun Stevenson yang kasihan sekaligus penasaran tetap mencari tahu lebih banyak tentang kasus penebang kayu tersebut. Ia bahkan memberanikan diri menemui keluarga Johnny D di kawasan kumuh di pinggiran Alabama. Di sana, Stevenson disambut oleh keluarga, kerabat dan tetangga Johnny D yang semuanya mengatakan kalau ia tak bersalah. Bahkan belasan orang yang menemuinya itu mengatakan mereka bersama Johnny D saat gadis bule itu terbunuh.
“Suamiku pernah selingkuh dengan wanita kulit putih,” aku Minnie sang istri. “Sejak itu, semua orang di kota menggunjingkannya. Dan ketika ada perempuan kulit putih mati dibunuh, dengan gampang semua orang menuduhnya. Aku sudah memaafkan dia. Dia barangkali brengsek, tapi tak berarti dia sanggup membunuh.” Meski begitu mereka pun sudah nyaris menyerah, terutama ketika pengacara terakhir yang datang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Stevenson, dan lebih parah ketika mereka percaya, uang yang diberikan ke pengacara tersebut ikut melayang begitu saja. Melihat Stevenson yang mengatakan tidak akan meminta bayaran, putra Johnny D lantas menjanjikan seorang saksi bernama Darnell yang mereka anggap solid lantaran pria ini ada bersama Johnny D saat pembunuhan berlangsung.
Sementara itu Herbert ‘Herb’ Richardson, tetangga sel Johnny D yang juga klien Stevenson, mulai galau lantaran ia sudah dikirimi jadwal untuk dieksekusi di atas kursi listrik. Padahal sebelumnya mantan veteran perang Vietnam itu sempat optimis dan mengajak teman-temannya, termasuk Walter untuk mendaftarkan diri mereka sebagai klien Stevenson, Herb adalah kisah yang tak kalah menyedihkan. Laki-laki tua veteran perang Vietnam tersebut sebenarnya sudah goyah sejak kembali dari medan perang. Lalu di saat stress ia melakukan hal-hal di luar dugaan. Suatu kali ia memasang bom di dekat sebuah pot dan saat meledak melukai seorang perempuan. Kejadian itu sebenarnya menghantuinya tiap malam.
Stevenson mencoba menyelamatkan Herb dari hukumannya dengan mengirim mosi ke pengadilan tinggi, tapi mereka menolaknya. Dan ketika kursi listrik menantinya, Herb cuma berharap ia tak ‘sendirian’ di sana. Permintaannya saat dieksekusi pun sederhana: “Tolong putarkan laguku.” Kematian Herb membuat Stevenson makin gigih untuk menyelamatkan Johnny D. Kegagalan kesaksian Darnell yang mendapat intimidasi dari sherif setempat dan tak mendapat bantuan bahkan setengah dihalangi oleh konselor setempat, Thomas Chapman.
Ia pun kembali mendatangi Ralph Myers, napi yang pernah dipaksa jadi saksi palsu untuk kasus Johnny D. Sekali lagi Stevenson yang sudah mendengar rekaman pengakuan asli Myers, menemui pria tersebut dan mendesaknya untuk kembali bersaksi. Apalagi ternyata Myers sebenarnya juga korban, gara-gara ogah bersaksi melawan Johnny D, pria itu statusnya dirubah jadi hukuman mati oleh sherif Tate. Tak disangka, Myers akhirnya berani bersaksi untuk Johnny D dalam pengadilan selanjutnya. Tapi tak semudah itu, meski semua saksi meringankan Johnny D, tetap saja pengadilan tidak memutuskan ia bisa bebas.
Stevenson tetap tak menyerah. Kepalang tanggung, ia pun menyurati pengadilan tinggi Montgomery yang bisa membuka kembali kasus Johnny D, yang belakangan makin ramai setelah program TV “60 Minutes” mewawancarai Stevenson, Johnny D, Ralph Myers dan Tommy Chapman. Namun baru tiga bulan kemudian, kasus Johnny D kembali ke pengadilan. Di sinilah nasibnya kembali ditentukan.
Sutradara Destin Daniel Cretton yang juga co-writer naskah tak membuat filmnya ‘ruwet’. Semuanya dikisahkan dengan ‘lurus-lurus’ saja. Kelebihan film ini justru pada para aktornya. MIchael B Jordan jelas bintang masa depan yang menjanjikan. Jamie Foxx juga bermain bagus. Tapi menurut saya yang paling mencuri perhatian adalah Tim Blake Nelson, pemeran Ralph Myers. Ia membuktikan kalau aktor underdog yang selalu tampil brilian sebagai siapa pun. Ingat “O Brother Where Art Thou?” atau “The Ballad of Buster Scruggs”, di mana Nelson melebur dengan karakter yang ia perankan?
JUST MERCY bukan “Mississippi Burning”, bukan “Detroit”, bukan “Ghosts of Mississippi” atau “Hurricane” yang menghujam dan powerful itu. Meski begitu, film ini cukup mengharukan dan asyik dinikmati, meski minus unsur ketegangan yang biasa hadir di film-film sejenis.
JUST MERCY juga bukan ” To Kill A Mockingbird” — meski ironisnya, kisah nyata ini terjadi di kota di mana buku “To Kill a Mockingbird” yang ikonik itu lahir. Namun berbeda dengan kisah pengacara berkulit putih Atticus Finch dalam “To Kill a Mockingbird”, Stevenson yang kebetulan berkulit hitam di sini harus membela banyak manusia dari berbagai ras. Selama 30 tahun Stevenson dan Equal Justice Initiative telah menyelamatkan 140 napi dari hukuman mati. Barangkali justru itulah yang paling menarik dari film ini: justice dan humanity.