Gaya kampanye Robredo mengingatkan orang kepada gerakan rakyat menyukseskan pencalonan bekas Presiden Corazon Aquino pada 1986, yang mengarah pada kejatuhan diktatur Ferdinand Marcos.
Serupa Aquino yang kehilangan suaminya setelah dieksekusi mati oleh pemerintah pada 1983, Robredo juga mendasarkan karir politiknya pada tragedi pribadi. Jesse Robredo, bekas anggota kabinet bekas Presiden Beigno Aquino, meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat pada 2012.
Setelah Robredo dipilih sebagai wakil presiden 2016 silam, Marcos Jr. menghabiskan lima tahun di pengadilan untuk membatalkan kemenangan rivalnya itu.
Dia sendiri banyak mendulang simpati setelah menggunakan anggarannya yang kecil sebagai wapres untuk memberi bantuan sosial bagi warga miskin, membiayai program pemberdayaan perempuan atau membantu korban bencana alam.
Hubungannya dengan Presiden Duterte meregang sejak Robredo mengritik perang melawan narkoba yang dilancarkan pemerintah. Sementara itu, permusuhannya dengan Marcos Jr. juga semakin menguat ketika dia menolak usulannya memindahkan jenazah bekas diktatur Marcos ke taman makan pahlawan.
Sejumlah analis menilai Robredo tidak memiliki karakter sengit, seperti yang dituntut pemilih Filipina terhadap kandidat perempuan. Dia juga dikritik karena dinilai telat mendaftarkan pencalonan diri.
Marcos Jr. sebaliknya memperkuat pencalonannya dengan menjalin aliansi politik dengan klan Duterte, yakni dengan meminang putri tertua, Sara Duterte-Carpio, sebagai calon wakil presiden.
Satu-satunya peluang bagi Robredo sebabnya bergantung pada tingkat partisipasi yang tinggi di kalangan pemilih progresif di Filipina. Dia mengajak pendukungya untuk “menyambut semua orang” dalam menjaring pemilih baru. “Masa depan negeri ini berada di tangan kita,” kata dia. (bbc/dw/dms)