Oleh HARRY TJAHJONO
Mungkin sudah menjadi nasib Doni untuk selalu dijadikan semacam gudang penyimpan keluhan teman-teman yang rumah tangganya sedang dibelit problem. Padahal saya jelas-jelas bukan psikolog, bukan pula psikiater. Mungkin teman-teman senang menumpahkan keluhannya yang bersifat sangat pribadi, hanya karena Doni dianggap teguh memegang rahasia. Tapi lebih mungkin lagi karena hal itu dapat mereka lakukan secara gratis. Kalau, misalnya mengeluh pada psikolog atau psikiater, ongkosnya berapa, coba?
Doni sendiri sebetulnya sudah ingin mengeluh karena terlalu sering menerima keluhan. Tapi, belum sempat Doni mengeluh, Tom, karibnya, sudah keburu datang untuk (apalagi kalau bukan) mengeluh.
“Sejak seminggu sebelum piala Euro 2021 dibuka, hubungan saya dengan Sonya sudah mulai tegang. Lima hari belakangan ini, saya dan Sonya selalu cekcok,” kata Tom, mengawali keluhannya.
Seperti biasa, Doni selalu menanggapi awal keluhan teman dengan diam, mencoba tekun mendengarkan.
“Saya sudah mencoba menjelaskan kepadanya, bahwa kesempatan menonton pertandingan sepakbola dunia hanya terjadi setahun sekali. Juga saya jelaskan bahwa sejak kecil saya mencintai sepakbola. Karena itu pertandingan tingkat dunia itu sangat penting artinya bagi saya. Tapi, Sonya tak mau mengerti,” ucap Tom melanjutkan keluhannya.
“Tidak mengerti bagaimana?” tanya Doni merespon.
“Tidak mengerti. Tidak memperbolehkan saya menontonnya ramai-ramai bersama teman-teman,” sahut Tom, dalam nada menderita.
“Ah, barangkali istrimu hanya memintamu berhemat. Ongkos tiket pesawat terbang pulang balik Eropa-Indonesia kan besar. Belum lagi biaya hotel dan lain sebagainya. Bisa jutaan…..”
“Jutaan apanya? Wong saya cuma ingin nonton di televisi!” sergah Tom selekasnya.
“Nonton di televisi saja ndak boleh?” tanya Doni menegaskan, sekaligus heran dan mulai apriori terhadap Sonya.
“Maksud saya, Sonya tidak mengijinkan saya mengundang beberapa teman untuk bersama-sama nonton di rumah. Berisik katanya. Rumah jadi kotor, penuh asap rokok, katanya. Padahal, indahnya sepakbola itu kan kalau ditonton ramai-ramai. Iya kan?”
“Iya….., iya…..”
“Mestinya Sonya toleran, dong! Kalau pun rumah jadi berisik, kotor, penuh asap rokok, kan cuma empat tahun sekali. Iya nggak?” lanjut Tom berapi-api.
“Iya….., iya…..”
“Setelah tahu sifatnya egois begitu, saya menjadi menyesal menikah dengannya…..”
“Lho…., jangan begitu, dong. Kalau memang Sonya ndak mengijinkan kamu mengundang teman, kan bisa ramai-ramai nonton bola di rumah saya. Kebetulan ada beberapa teman dan saudara yang juga berniat begadang di sini,” kata Doni memberi jalan keluar.
Mendengar tawaran saya, bola mata Tom langsung bersinar. Wajahnya yang semula murung berubah cerah. “Betul? Saya boleh nonton ramai-ramai di rumahmu?” tegasnya tak yakin.
Doni mengangguk.
“Terima kasih!” lanjut Tom bersemangat.
Doni tersenyum, ikut senang.
“Tapi…., kamu bisa menjelaskan ini pada Sonya, kan?” ucap Tom kemudian.
“Menjelaskan apa?” tanya Doni tak paham.
“Ya…., menjelaskan bahwa selama pertandingan sepakbola berlangsung, saya nonton di sini. Maklum jam pertandingannya kan pukul tiga pagi,” kata Tom.
“Oke, akan saya jelaskan.”
“Terima kasih,” ucap Tom menjura.
SORE harinya, secara khusus Doni bertandang ke rumah Tom. Kepada Sonya, Doni menjelaskan bahwa selama berlangsungnya pertandingan sepak bola Euro 2021, yang ditayangkan telivisi setelah lewat malam, Tom akan nonton di rumah Doni. Jauh dari yang onia duga, ternyata Sonya langsung mengijinkan. Tak banyak cing-cong. Langsung setuju begitu saja.
Demikianlah, pukul 24.00 wib, Tom hadir di tengah beberapa teman dan Keluarga Dona-Doni yang duduk tekun di depan teve. Tapi, entah kenapa Tom tampak gelisah. Ketika kedua kesebelasan memasuki lapangan, Tom mengajak saya keluar di teras.
“Saya pergi dulu ya….,” kata Tom berbisik.
“Pergi ke mana?” tanya Doni keheranan.
“Begini, sebetulnya saya sudah janji mau nonton di rumah Inge. Kamu tahu Inge, kan? Itu lho…, janda muda yang tempo hari datang melamar kerja ke kantor kita…..”
“Jadi?”
“Ya. Saya sudah terlanjur janji. Lagi pula tadi dia menelepon, bahwa dia sudah menyediakan cemilan, kopi dan banyak lagi. Saya nonton di sana saja ya? Nggak apa-apa, kan?”
“Tapi kalau Sonya tanya soal itu gimana?”
“Ah, bilang saja saya nonton di sini. Oke? Saya jalan dulu ya,” berkata begitu Tom langsung berlalu pergi.
Doni termangu. Perlahan saya sadari, bahwa saya sudah dimanfaatkan Tom. Gila! Ibarat kapten kesebelasan, dengan cerdik Tom mengatur serangan, lalu menyuruh Doni membuat umpan terobosan, kemudian Tom menendang masuk bola ke dalam gawang…., dan terjadilah gol yang indah—dalam arti malam ini Tom dapat menyaksikan tontonan sepakbola bersama Inge yang seingat Doni berwajah jelita.
Ah, membayangkan Tom sedang nonton sepakbola berdua Inge, Doni tiba-tiba timbul penyesalan mengapa Dona tak seperti Sonya. Yang melarang Doni membawa teman datang ke rumah. Kalau saja istri Doni seperti Sonya, bukan tidak mungkin Doni juga akan minta tolong teman untuk membuat umpan terobosan…. *