Teruslah berkembang sebagai pribadi, tidak lelah untuk berproses menerima diri sendiri sebagai pribadi yang terbaik
“Jangan lupa makan ya …”
“Sana tidur, udah malem. Besok lanjut chatnya.”
“Ada kwetiaw goreng buatmu di meja.”
“Nti, aku yg cuci piring. Tinggalin aja di sink!”
“Paket, untuk Ibu Xai.” “Eh saya nggak order apa-apa…” Ketika paket dibuka, muncullah tas yang sudah diincar, masukkan keranjang, tapi takpernah di-check out.
Pernah dengar hal-hal seperti di atas. Katanya sih itu termasuk bahasa cinta atau love language juga.
Umumnya muncul dalam situasi pasangan yang sudah lama menjalin relasi. ‘Udah nggak bucin’, kalau kata anak sekarang.
Setujukah Anda bila saya mengatakan hal itu menunjukkan kemesraan juga, atau malah sudah makin deep, dalam arti bukan kehadiran secara fisik yang penting, bukan hadiah-hadiah di setiap momen berharga.
Atau,
“Ya, love language orang ‘kan beda-beda. Nggak bisa disepakati juga.”
Ya, saya pun sepakat.
Tentang Kemesraan yang (Bukan Lagu) Bisa Saja Berlalu
Tulisan ini terpantik dari sebuah momen, ketika saya sedang dalam situasi pelatihan online, sambil menunggui si bungsu yang sedang berlatih dalam klub renang.
Di sebelah kanan saya, sepasang muda mudi sedang mengekspose kemesraan.
Ketika handuk yang digunakan hanya selembar saja, mereja pakai bergantian untuk mengeringkan tubuh. Lalu, usai membilas, bergantian lagi mereka mengoleskan hand body agar tak kering. Kemudian, si perempuan meminta dikeringkan dan disisiri rambutnya, yang dilakukan dengan senang hati. Termasuk ketika si perempuan giliran ke kamar bilas, si lelaki mengecek ponselnya sendiri dan si perempuan.
Jujur saya jengah. Meski nyaris lebih dari duapuluh tahun tinggal di Bali, walau beberapa rekan saya orang asing yang tak ragu menunjukkan kemesraan di hadapan mata, akan tetapi yang ditunjukkan oleh pasangan sebelah saya membuat saya tak nyaman melihatnya, apalagi soal memeriksa ponsel.
Terserah bila Anda bilang saya jealous melihat mereka, karena saya yang beda generasi dengan pasangan itu, atau jangan-jangan saya sok jadi polisi moral yang biasa men-capture adegan, lalu menghakiminya ramai-ramai di media sosial. Walau hal terakhir tak akan mau saya lakukan.
Saya membayangkan, bila ada kenalan mereka yang tahu-tahu cie…cie… , apa kira-kira jawabannya? Bahasa cintakah? Atau umpatan sok kepo kepada yang berkomentar?
Sebuah riset tentang bahasa cinta menunjukkan bahwa kesukaan kita akan love language tertentu menunjukkan kurangnya kita akan sesuatu hal, atau dengan bahasa anak sekarang inner child kita yang terluka di masa lalu. Cukup terkejut juga saya akan temuan ini. Berarti demikianlah perasaan kita yang terluka atau ditekan, dan kita menjadi mode craving ketika telah dewasa.
Hubungan Love Language dan Inner Child
Anak-anak yang tak pernah dipuji, selalu menerima kritikan apapun yang diperbuatnya, bahkan yang tindakan positif sekalipun, selalu menerima prasangka buruk, tak pernah dianggap punya kemampuan; diasumsikan ketika dewasa ‘haus’ akan pujian. Atau dalam love language : word of affirmation.
Anak-anak yang tak pernah diperhatikan, jarang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya, sering ditinggal orang tua, termasuk jarang ada kegiatan bersama orang tua, diabaikan karena satu dan lain hal serta seperti tak punya peran sama sekali dalam keluarga; diasumsikan ketika dewasa ‘haus’ akan keharusan bersama pasangannya. Atau dalam love language : quality of time.
Anak-anak yang mau tak mau mandiri sejak kecil, ‘dipaksa’ bertanggung jawab menjaga adik yang masih kecil atau anggota keluarga yang sakit; diasumsikan ketika dewasa ‘haus’ akan diperhatikan, dimanjakan, dilayani pasangannya. Atau dalam love language : act of service.
Anak-anak yang kurang dipeluk, dirangkul, dicium, dengan orang tua yang merasa malu menunjukkan kemesraan satu sama lain sebagai ayah dan ibu, sebagai orang tua kepada anaknya, merasa kemesraan fisik adalah hal yang berlebihan; diasumsikan ketika dewasa ‘haus’ akan dipeluk, dicium, dirangkul, digenggam tangannya, dan segala perlakuan fisik lainnya. Atau dalam love language : physical touch.
Anak-anak yang merasa tidak dipedulikan, sering dinomorduakan daripada kesibukan orang tuanya, tak pernah diapresiasi ketika berulang tahun, tak pernah diberi hadiah akan prestasi yang diraih, jarang dihadiri ketika momen penting, seperti kenaikan kelas, kelulusan, atau acara penting lainnya di sekolah, (dalam kondisi orang tua status ekonominya tidak berkekurangan); diasumsikan ketika dewasa ‘haus’ akan hadiah atau apresiasi dalam bentuk apapun, termasuk mungkin dasar relasi dengan orang lain adalah dengan prinsip memberi dan menerima . Atau dalam love language : gift giving/receiving.
Rumitkah? Atau sudah mulai merasa ada keterkaitannya.
Love Language, Identifikasi, Role Model Orang Tua
Seorang perempuan muda yang sudah lulus dari perguruan tinggi ternama dan juga telah bekerja, akhir-akhir ini konflik dengan kedua orang tuanya. Kepada Ayah, respeknya makin menipis, karena dia merasa Ayah yang tak banyak berperan termasuk ekonomi; malah banyak mengatur dirinya.
Kepada Ibu, dia kesal karena merasa tak dihargai. Perempuan muda ini merasa seumur hidupnya telah banyak mendukung Ibunya, di saat susah dan senang, di saat Ibu konflik dengan Ayah, ketika perekonomian mereka sulit, sewaktu Ibunya mengalami krisis paruh baya termasuk merasa tertekan menjadi sandwich generation.
Namun, ketika dia dianggap membuat masalah, Ibu tak siap sedia juga mendampingi atau membelanya.
Ketika kasus ini dibawa ke ruang psikolog, beberapa analisa ini mungkin bisa menjadi gambaran.
Adalah naif bila berharap anak tak akan menjadi sosok Ibunya nanti. Bagaimanapun awal belajar role modelling dengan identifikasi. Saat proses identifikasi, perempuan itu mengalami konflik dalam dirinya, dan merasa kesulitan “menjadi dirinya” sendiri.
Perempuan muda ini makin kebingungan, terutama melihat Ibunya diam saja saat dirinya dan Ayah berdebat. Dia merasa untuk apa Ibunya pintar, bila tak bisa atau tak mungkin berpendapat dan punya kewajiban menjaga perasaan.
Perempuan muda ini merasa Ibu total berkorban dalam pernikahan. Cerdas, tetapi sangat mengalah kepada Ayah. Hal itu menyebabkannya meragu. Untuk nanti menikah dan memulai hidup baru.
Kenyataannya, kekasihnya sekarang dalam posisi yang mirip dengan Ayah. Mengontrol porsi makan, mengatur ini dan itu. Perempuan muda ini pun tak disadari serupa Ibu, cerdas tapi sangat pengalah demi tak terjadi konflik. Senantiasa terbiasa mendamaikan, membuat suasana harmonis lagi, dan hal itu sepihak atau berjuang sendirian.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan love language?
Di rumah, perempuan muda selalu menerima kritikan apapun yang diperbuatnya, bahkan tindakan positif sekalipun. Sering menerima prasangka buruk, sudah kuliah dan bekerja pun tak pernah dianggap punya kemampuan. Terutama dari Ayah, tanpa pembelaan Ibu.
Tak heran, dia ‘haus’ akan pujian. atau word of affirmation. Hal ini didapatnya dari sang kekasih, yang sering menyemangati, memberi puja puji.. Dia menutup mata, ketika diatur porsi makannya agar tak gemuk, bahkan ketika diminta pulang sendiri karena lokasi rumah berbeda arah.
Hal yang lain;
Perempuan muda ini merasa jarang diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya, (merasa) diabaikan Ibu karena satu dan lain hal, serta seperti tak punya peran sama sekali dalam keluarga. Tak heran dia memilih lebih banyak (quality of time) bersama pasangannya; daripada bersama Ayah dan Ibu.
Wah … jadi terlihat titik temunya ya. Terus, bagaimana agar inner child kita yang terluka tidak menjadikan kita sangat craving terhadap love language tertentu?
Di laman mindfulness diungkapkan. Sadari dulu apa atau bagian mana dari inner child yang terluka. Lalu, terimalah bahwa demikianlah yang terjadi, serapat apapun hal itu ditutup-tutupi. Bila masih memungkinkan dari sisi kehadiran orang tua dan masih banyak waktu untuk belum memutuskan berpasangan; perbaikilah terlebih dulu hubungan dengan orang tua atau pihak terkait. Sampaikanlah bagaimana kondisi dulu yang sesungguhnya dikehendaki. Potensi berhasil tidaknya hal ini tak selalu 100% ya. Bisa saja relasi membaik atau malah memburuk. Namun, mencoba dan berusaha adalah langkah awal dari sesuatu yang akan berubah.
Di penghujung tulisan ini, berikut yang perlu kita belajar terus. Bahwa relasi dan interaksi, kemesraan, hubungan banyak atau minim konflik, dll terus berdinamika dan tak pernah abadi.
Teruslah berkembang sebagai pribadi, jangan lelah untuk berproses, dan bersikap dewasalah untuk menerima diri sendiri.