Jokowi itu Ndeso lalu Kenapa?

Jokowi

Foto Instagram @jokowi.iriana

Oleh HARRY TJAHJONO

Memang benar Jokowi itu ndeso (menurut tata bahasa Jawa mestinya ditulis ndesa). Bukan priyayi berdarah biru trah Majapahit atau anak kolong putra jenderal. Bapaknya Jokowi tukang kayu, ibunya hajjah dan ibu rumah tangga biasa. Lalu kenapa?

Jokowi itu ndeso karena penampilannya tidak modis walaupun jaket bomber dan payung biru yang dipakainya sempat ngetren se Indonesia. Jokowi ndeso karena setiap tatap muka dengan rakyat kecil selalu ngasih teka-teki nama ikan dan menghadiahkan sepeda. Lalu kenapa?

Bagi kalangan yang mengharapkan pidato hebat dan gagah, teka-teki nama ikan adalah hal cemen dan remeh temeh. Tapi, bagi saya yang rakyat awam, teka-teki nama ikan menjelaskan bahwa bangsa Indonesia punya sumber daya pangan bergizi yang mahabanyak di negeri bahari ini. Tidak perlu takut kelaparan atau membiasakan rakus menyantap makanan impor di gerai-gerai mal. Bagi saya, hadiah sepeda adalah ajakan untuk hidup sehat dan bersahaja. Tidak melulu mimpi nyicil motor atau mobil lantas hidup mewah yang bisa mendorong orang untuk korupsi.

Jokowi selain ndeso juga tegas, karena ketika diisukan PKI bangkit lagi maka dia bilang, “Kalau PKI bangkit pasti saya gebuk!” Dasar hukumnya sangat jelas: TAP MPRS no 25 tahun 1966 yang melarang komunisme. Demikian juga kalau ada ormas yang antiPancasila dan merongrong NKRI, Jokowi dengan tegas menyatakan harus, “Dibubarkan.” Dasar hukumnya juga jelas: Perppu Ormas yang sudah disahkan jadi UU Ormas. Penegakan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, kata Gus Dur, adalah keniscayaan menegakkan demokrasi yang beradab dan bermartabat. Maka, jika Jokowi tegas dalam penegakan hukum, lalu kenapa?

Jokowi selain ndeso juga mesra.  Ketika Ibu Riana hendak menaiki tangga, misalnya, Jokowi dengan lembut meraih tangannya dan menggandengnya. Begitu pula ketika Jokowi tertawa karena saat mantu ternyata tidak kuat menggendong Kahiyang, kemesraan dan kehangatan daya hidupnya memancar apa adanya.

Bahasa lisan, bahasa tubuh dan bahasa isyarat Jokowi, bagi saya, sederhana dan mudah dimengerti. Mengingatkan saya pada Isaac Newton yang secara sederhana menjelaskan teori gravitasi dengan anekdot kepalanya ketiban apel jatuh–bukan dengan rumus fisika yang rumit, ilmiah dan sulit dipahami awam.

Mengingatkan saya pada Archimides yang meminjam anekdot berendam di bak mandi lantas berteriak “Eurika!” lantaran menemukan rumus Hukum Archimides yang menyatakan bahwa setiap benda yang tercelup baik keseluruhan maupun sebagian dalam fluida, maka benda tersebut akan menerima dorongan gaya ke atas (atau gaya apung). Besarnya gaya apung yang diterima, nilainya sama dengan berat air yang dipindahkan oleh benda tersebut (berat = massa benda x percepatan gravitasi) dan memiliki arah gaya yang bertolak belakang (arah gaya berat kebawah, arah gaya apung ke atas).

Rumus teoritis yang rumit dan njlimet itu oleh sang jenius cukup dikomunikasikan kepada awam secara sederhana dan mudah dipahami, lewat cerita bahwa air bak mandi yang tumpah ternyata berbanding lurus dengan volume dan berat tubuhnya yang terendam. Orang awam pun dengan mudah mengerti apa itu Hukum Archimides.

Maka bandingkanlah dengan cara para lawan politik Jokowi merumitkan masalah sederhana menjadi analisa nggedabrus yang sulit dipahami orang biasa. Barangkali karena bagi yang filsuf, semakin rumit bahasa yang digunakan merumuskan hal sederhana maka bertambah tinggi kadar intelektualitasnya. Mungkin pula semakin njlimet membungkus kebencian dan iri dengki di dalam kemasan kritik, maka akan semakin gagah dan keren penampakannya. Padahal, bahasa yang rumit dan njlimet itu pada akhirnya hanya akan menyembilu nalarnya sendiri—menjadi senjata makan tuan lantaran pada kenyataannya kata-katanya yang rumit dan njlimet itu tidak setara dengan apa yang sudah dilakukan (istilah gagahnya) untuk bangsa dan negara. Betapapun kerumitan dan kenjlimetan itu secara mengagumkan telah sukses diyakinkan sebagai hal yang logis dan masuk akal. Tapi, apa boleh buat, kebenaran (obyektif) tidak cukup hanya karena sekadar logis dan masuk akal.

Teka-teki nama ikan, hadiah sepeda, kata gebuk, genggaman tangan dan tawa yang tulus Jokowi adalah bahasa rakyat biasa. Bukan bahasa yang rumit dan njlimet. Bukan pencitraan yang dibuat-buat. Bukan make-up atawa bahasa langit yang mengawang tinggi sehingga sulit membumi. Dan kalau Jokowi ndeso, lalu kenapa?*

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara