Seide.id – Persis setahun lalu, kami (aku, istri dan 2 anak gadisku) keluyuran ke Taiwan. Aku membawa kursi roda. Untuk jarak dekat, sebetulnya aku bisa jalan kaki meski terseok-seok, karena pernah ‘ditegur’ stroke.
Jika jalan tak rata, berundak-undak dan -terutama- agak jauh, aku pasrah, duduk manis (eh duduk ganteng,..eh ..) di kursi roda. Ke-3 orang perempuan cantik ini bergantian mendorongku (ah, alangkah beruntungnya!). Tapi yg paling sering -tentu saja- adalah istriku.
Kami kerap naik kendaraan umum. Bus, keretaapi atau jalan kaki. Yang terbanyak adalah naik keretaapi. Naah, yang aku mau blanyongkan ini adalah kereta api. Sehubungan dengan seorang Gubernur dan wakilnya membawa sepeda naik MRT.
Di setiap gerbong, di setiap sudutnya dekat pintu, pasti ada area dan tempat duduk untuk kursi roda. Setiap naik kereta, kami selalu memilih gerbong paling ujung. Karena mudah masuk-keluar dan tidak menghambat dan terhambat oleh penumpang lain. Karena harus gerak cepat. Itulah memang tujuan MRT bukan?.
Dengan kursi roda, ‘agak sedikit menguntungkan‘. Karena hampir setiap orang yang kami jumpai atau saat berdesakan di kendaraan umum, aku sepertinya selalu mendapat prioritas. Tentu karena kursi rodaku. Bagaimana dengan orang-orang lain yang fisiknya tak bermasalah? Ya tentu saja berdesakan seperti pada umumnya penumpang MRT.
Selama aku keluyuran dengan MRT itu, aku kerap menjumpai orang duduk di kursi roda bermesin “menyupir” sendiri kendaraan eh, kursinya. Tampaknya penumpang lain pun memberi ruang kepada ‘kendaraan’ eh kursi itu. Tapi tak sekali pun aku menjumpai penumpang membawa sepeda. Baik sepeda lipat atau sepeda ‘tidak dilipat‘.
Aku tak tahu apakah di Taiwan ada peraturan tentang boleh atau tidaknya membawa sepeda ke dalam MRT.
Di beberapa negara, konon ada peraturan yang membolehkan penumpang membawa sepeda ke dalam MRT. Baik sepeda lipat (tentu karena tak ‘eating the place‘ alias ‘memakan tempat‘ ) atau sepeda ‘tak bisa dilipat’. Dengan catatan, regulasinya diterapkan dengann ketat. Misalnya tak boleh pada jam-jam sibuk. Karena sepeda ‘tak bisa dilipat’ agak merepotkan dan ‘eating the place‘, maka sepeda-sepeda itu boleh masuk pada jam-jam tertentu yang tak sibuk. Atau pada hari libur.

Foto keluyuran dokumentasi : Aries Tanjung
Waktu itu viral, video dan foto seorang mantan gubernur dan wakilnya menaiki sepeda ke dalam MRT.
Banyak komentar simpang-siur. Mulai dari yang memuji tentang ‘jiwa olahraga’ sang gubernur, sepedanya yang ‘eating the place‘ tadi, sampai memberi teladan buruk kepada warga. Aku tak tertarik untuk ikut pada polemik komentar-komentar itu.
Konon, pejabat berwenang yang mengurusi manajemen MRT sedang menjajagi kemungkinan membuat peraturan: “Sepeda boleh dibawa masuk ke dalam MRT”. Atau sudah?. Apakah sepeda itu tak mengganggu mobilitas, dinamika, gerak cepat para warga pengguna moda transportasi itu, terutama pada jam-jam sibuk? Atau peraturan itu dibuat, hanya karena kebetulan sang gubernur ingin menjajal jalur sepeda saja. Peraturan tak permanen alias sementara. Suatu saat bisa dicabut lagi?
Lepas daripada ada atau tidak aturan yang membolehkan sepeda itu dibawa ke dalam MRT, toh jarak yang ditempuh oleh MRT itu, bahkan dari pangkal sampai ujung rel, toh baru beberapa km saja.
Jarak itu justru bisa ditempuh dengan sepeda (jika memang niatnya ingin berolahraga). Tapi ternyata konon sang gubernur ingin menjajal jalur sepeda yang baru dibuka. Hla, kenapa gak langsung saja nggowes dari rumah ke jalur sepeda yang hendak dijajal? Kejauhan, dan keringetan booo,…capek tauuuk?!
(Aries Tanjung)