Oleh KAJITOW ELKAYENI
Saya tidak mengerti dengan alur berpikir Dahlan Iskan yang menyiratkan pujian untuk Taliban. Dahlan menyebut Taliban di bawah kendali Mullah Muhammad Rasul berbeda. Ada indikasi ia seolah ingin mengatakan, Taliban versi terbaru ini tidak berbahaya.
Yang kacau dari penalaran itu adalah ketika Taliban, kata Dahlan, menolak ISIS dan Alqaeda dan menganggap itu sebagai prestasi. Padahal itu kan karena sentimen kelompok saja. Bukan karena nasionalisme.
Dalam tulisannya itu Dahlan mengusulkan istilah Nasionalisme Islam Afghanistan. Saya tidak paham dengan istilah nasionalisme Islam itu. Memang ada anggapan nasionalisme secara umum itu versi Barat, maka ada istilah nasionalisme Islam sebagai lawannya.
Padahal kalau mau dibikin pendek ya negara Islam saja sudah cukup. Mau Syiah, Sunni, Wahabi, Deobandi atau apapun itu, dasar agamanya sama, Islam.
Dahlan juga membahasakan demokrasi di Afghanistan itu sebagai versi Amerika. Padahal demokrasi ya demokrasi saja. Penyebutan Amerika itu hanya akan menambah beban Amerika sebagai musuh Taliban.
Memang sebagian faksi Taliban menampakkan bahwa mereka anti-Amerika. Padahal sebenarnya itu kan hanya sandiwara murahan.
Kepergian Amerika dari Afghanistan itu sudah direncanakan. Bahkan Inggris menuduhnya sebagai “kesepakatan busuk antara Amerika dan Taliban”. Keuntungan Amerika dari peristiwa ini tentu tidak dapat terbaca dengan mudah dalam waktu dekat. Karena kita tidak pernah tahu bentuk kesepakatannya.
Islam Tekstual yang Mencemarkan Nama Islam
Namun terlepas dari kepentingan Amerika, Tiongkok atau negara manapun di sana, Taliban itu teroris. Dan teroris itu biadab, bengis, berbahaya.
Atau jangan-jangan Dahlan ingin mebuat kategori keagamaan baru. Bahwa Islam yang dibawa Mullah Muhammad Rasul itu adalah Islam versi lain. Mirip Wahabi, tapi beda. Namanya Deobandi. Kelompok yang membaca Islam secara tekstual.
Terus terang saya heran dengan Dahlan, yang seolah-olah beranggapan Islam tekstual tidak berbahaya. Padahal semua teroris yang beragama Islam itu memahami Islam secara tekstual.
Ia adalah awal bencana di muka bumi ini. Di mana pun itu. Islam tekstual itu musuh dari keislaman global yang napasnya rahmatan lil ‘alamin. Islam tekstual itu mencemarkan nama Islam, merongrong dari dalam.
Menganggap remeh sekte Islam tekstual ini adalah tindakan berbahaya. Apalagi Dahlan telah menggambarkan teroris Taliban dengan begitu humanis seolah tanpa dosa.
Dahlan menulis, “Mereka pun mencoba seluruh sofa yang ada di Istana. Duduk-duduk di situ. Dengan gaya duduk pejuang –sejenak mereka, tanpa aturan protokol Istana.”
Padahal tampak jelas dalam video itu, orang-orang Taliban itu terlihat barbar. Sikap, gestur, mimik dan aktivitas mereka memang terbelakang. Mereka tidak layak disebut “pejuang” sebagaimana kata Dahlan, tapi lebih pas disebut teroris sebagaimana umumnya. Norak, kampungan dan bengis.
Taliban yang Menindas Perempuan
Tidak ada nasionalisme yang sedang diperjuangkan di sana. Nasionalisme versi Dahlan itu hanya kedok. Yang ada adalah kepentingan teroris Taliban. Yang ada adalah kehendak untuk memaksakan syariat ala Deobandi.
Dahlan juga menulis, “Sebagian lagi pergi ke gym milik Istana. Para pejuang itu terlihat mencoba alat-alat olahraga di gym itu. Sambil tetap mencangklong senjata.”
Indah sekali penggambaran Dahlan terhadap orang-orang biadab itu, yang telah dan akan terus menindas perempuan Afghanistan. Banyak dari mereka yang dirampas dari keluarganya dan dijadikan budak. Gampang sekali ia lupa.
Dahlan agaknya ingin membelokkan peristiwa perebutan kekuasaan di Afghanistan itu sebagai peristiwa nasionalisme. Bahwa orang-orang bertampang sangar-brewokan itu sedang melakukan perjuangan mulia, mengusir rezim boneka bentukan Amerika. Mereka sedang memperjuangkan tanah air mereka dari para penjajah.
Saya memang sedikit berharap, apa yang diangankan Dahlan itu akan jadi kenyataan di Afghanistan. Tapi faktanya mereka itu teroris. Kekejaman sudah mengalir dalam darah mereka. Kalaupun mereka terlihat manis, itu hanya sementara. Sifat asli mereka akan segera terlihat dalam waktu yang tak lama.
Membaca Islam Secara Tekstual
Kekacauan yang ada di Afghanistan tetap tidak dibenarkan jika digedor dengan senjata. Kalaupun pemerintahannya korup, bergantung pada belas kasihan Amerika, bukan berarti harus dihancurkan. Cara-cara kekerasan hanya akan merenggut banyak korban.
Dahlan juga memuji perebutan kekuasaan Taliban itu terjadi tanpa pertumpahan darah. Memang terjadi beberapa kasus penjarahan, kata Dahlan, tapi hanya minor.
Yang dilupakan Dahlan adalah sesuatu yang esensial. Mereka itu teroris. Kerjanya ya bikin teror. Kalau mereka duduk norak di atas sofa, menggunakan alat gym, main bombom car, itu bukan tanda mereka tidak bengis.
Sumber kekacauan kelompok seperti Taliban itu bermula dari membaca Islam secara tekstual tadi. Sesuatu yang dianggap remeh oleh Dahlan. “Agak mirip Wahabi,” katanya dengan tanpa dosa.
Tidak mungkin Dahlan tidak tahu semua itu.
Tapi anggap saja Dahlan tidak tahu semua itu.