Setiap kompetisi adalah ajang pengukuran kemampian seseorang. Termasuk anak-anak.
Sebaris daftar peserta lomba renang antar klub anak-anak muncul di layar percakapan ponsel saya. Segera si bungsu mencari namanya dan prakiraan siapa yang berlomba di nomor pertandingan yang sama.
“Wah, lawanku nanti A, B, C nih. Berat-berat!”
Saya segera merespons, “Kamu ingat nggak bahwa pemenang itu adalah ….”
“Yang bisa melawan diri sendiri.”
“Betul, melawan rasa takut dan nggak percaya akan kemampuanmu.”
“Nggak harus menang, kan?”
Saya menggeleng kencang. Si bungsu terdiam, lalu kembali ke kesibukannya lagi.
Memang, ini pertama kali dia ikut lomba kategori olahraga dengan ekstra persiapan yang (untungnya) disukainya walau melelahkan “Aku boring kalau nggak renang!”
Syukurlah, pikir saya. Ada yang diminati, dan karenanya dia bersungguh-sungguh bahkan belajar mencermati ala Gen Alpha. Belum bisa melompat di awal start renang, dia belajar lewat YouTube, dan memudahkannya untuk paham ketika memraktikkannya.
Tentang keikutsertaannya dalam lomba ini, hati saya sempat meragu. Apakah saya seolah memaksanya untuk berkompetisi? Apakah dia mau mencoba, mau memberanikan diri?
Namun, pelatihnya menampik. “Bu, biarkan dia mengalami sendiri. Bagaimana rasanya ketika berdiri di antara orang bersorak sorai menyemangatinya. Ini pun jadi bukti dia sudah berlatih keras sejauh mana.”
Sejujurnya memori ketika saya dulu menjadi konselor sekolah seketika muncul.
“Kalau mau lomba, Ibu aja yang ikut!”
“Ya, tapi peluangmu untuk menang besar sekali!”
“Saya membuat sesuatu karena senang melakukannya, bukan sekadar diperlombakan.”
Percakapan saya dengan seorang siswa belasan tahun lalu sungguh menohok. Ketika saya merasa talentanya sayang dilewatkan begitu saja, siswa itu lebih melihatnya sebagai bentuk senang-senang.
Setelah pembicaraan itu, saya seperti tertampar kenyataan. Ketika itu di sela-sela pekerjaan, saya seringkali mencari informasi tentang kompetisi. Selain untuk siswa, tentu saya sendiri. Bila diingat-ingat lagi, sepertinya masa itu saya pun sedang bimbang, dan hendak membuktikan sesuatu. Ingin dilihat bukan hanya sebagai konselor sekolah saja, tapi seseorang yang berprestasi.
Kelirukah sebenarnya punya perasaan ingin berlomba? Salahkah hendak diakui?
Mengapa Kita Ingin Menang?
Sebagai orang dewasa kita sudah ‘terlatih’ dan sangat terbiasa dengan kompetisi. Ketika bangun tidur, berangkat ke warung sayur pun, ibu-ibu bersaing untuk mendapat sayur atau lauk dan daging yang diincar. Tentu sudah lewat seleksi kualitas yang baik, karena dipilih lebih cepat atau mendahului yang lain.
Belum lagi ketika berangkat kuliah atau bekerja dengan alat transportasi publik. Bisa melompat ke dalam bus atau kereta pada waktu yang diinginkan, dan mendapat tempat duduk lebih dahulu dari penumpang lain adalah prestasi dan sering dikejar tanpa sadar. Bukankah menjadi yang pertama melintas saat lampu merah berwarna hijau, ada pula yang menganggapnya sebagai prestasi?
Melangkah lebih jauh lagi ke dunia anak sekolah. Cobalah singgah ke dunia pra sekolah di kota-kota besar. Betapa sejak awal bocah-bocah empat atau lima tahun ini seperti ‘didorong’ orang tua untuk jadi yang terbaik, untuk lebih cepat, untuk jadi juara. Pada fase usia itu, beberapa anak malah menikmati didorong berkompetisi, sebaliknya ada saja yang sangat santai, belum bermasalah ketika kalah.
Bisa mencapai sebuah posisi: siapa yang tunjuk tangan paling cepat, datang paling pagi ke sekolah, maupun selesai menyantap penganan, tanpa disadari menjadi lahan awal persaingan.
Beberapa keluarga yang mementingkan sikap kompetitif, malah mengikutkan bocah-bocah ini pada lomba bakat dan minat, maupun kemampuan berbahasa.
Sampai di sini, apa saya seolah terkesan membenci kompetisi, ya? Padahal saya juga produk keluarga besar yang demikian.
Kebetulan saya dan kedua sepupu perempuan seusia. Jadi, bisa dibayangkan setiap tahun saat pengambilan rapor (saat itu rangking masih jadi kebanggaan), kami bertiga dibandingkan sengaja maupun tidak. Tingginya nilai ujian pun jadi pegangan. Sungguh bukan memori yang menyenangkan.
Meski saya dua besar bertahan sepanjang SD dan ‘bebas’ uang masuk SMP, nilai-nilai tinggi yang diperoleh tetap menjadi bahan pembicaraan di keluarga besar kami.
Hal yang masih teringat dan menjadi kesadaran ketika dewasa, saya hanya ditanya mengapa bisa ‘kalah’, tetapi tidak pernah diselidiki bagaimana atau kesulitan apa ketika belajar. Semangat yang ditanamkan selalu untuk ‘menang’, bukan untuk ‘survive’ ketika ada masalah.
Satu hal yang bisa saya banggakan ketika itu, sebuah kesempatan sepele. Saya satu-satunya dari kami bertiga yang pernah menyanyi dan tampil di televisi. Bagi saya itulah prestasi, meski akhirnya pun saya tak diarahkan keluarga menjadi penyanyi.
Saat sekarang, ketika sudah menjadi orang tua, saya pun berpikir, mengapa berprestasi seperti menang dalam kompetisi menjadi penting. Walau kehadiran si sulung yang autis banyak menyadarkan saya tentang sempurna dari ketidaksempurnaan, serta berprestasi dengan cara berbeda.
Dalam laman Medcom.id, psikolog klinis dewasa, Yulius Steven, M.Psi.,Psikolog pernah mengemukakan, “… dari zaman primitif, kita membentuk naluri bertahan hidup. Kita harus melawan orang lain untuk bisa bertahan hidup. Walaupun kita berevolusi, tapi insting itu masih tetap ada.” Meski zaman sudah berubah, pergeseran cara bertahan hidup justru tak melulu melawan manusia lain. Kadang justru melawan diri sendiri.
Seorang coach atau trainer leadership Neel Raman pernah mengulas. Ketika seseorang mulai memahami proses pengembangan diri yang baik, konsep persaingan menjadi bagaimana saya harus bertumbuh, apa yang harus dan bisa dilakukan untuk melawan diri sendiri. Bukan lagi bagaimana untuk menang berkompetisi.
Mengenali Karakter Kompetitif
Neel Raman menambahkan ada beberapa ciri yang menunjukkan diri seseorang sangat kompetitif terhadap orang lain. Menurut saya, hal ini pun bisa kita cek pada diri anak-anak.
1. Merasa perlu selalu menjadi yang terbaik
2. Permainan tanpa ada menang kalah sangat tidak menarik
3. Selalu memeriksa bagaimana hasil karya orang lain untuk dibanding-bandingkan
4. Memilih untuk bersaing dengan orang lain dibanding memperbaiki diri sendiri
5. Merasa sulit menerima hasil orang lain lebih baik, ketika diri sendiri bisa mengerjakannya juga
Memiliki karakter kompetitif seperti di atas, bila tidak terkontrol dengan hati nurani dan kemanusiaan, akan bertendensi negatif, menimbulkan gangguan kecemasan dan menjadikan seseorang menjadi pribadi yang tidak menyenangkan.
Pada fase itu seseorang menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian dan tidak fleksibel menerima perubahan.
Padahal, menurut Raman lagi setiap kompetisi adalah ajang pengukuran kemampuan.
Sudah sejauh mana dan seserius apa kita belajar atau berlatih? Bagaimana kemajuan atau malah kemunduran dari waktu ke waktu? Apa penyebabnya? Apa yang harus dilakukan untuk mengubahnya menjadi lebih baik atau mempertahankannya?
Ketika usia masih anak-anak, mungkin orang dewasa atau orang tua yang bisa membantu mengevaluasi seperti itu. Namun, semakin dewasa, proses bertanya kepada diri sendiri seperti di atas merupakan bentuk evaluasi dan refleksi diri yang sangat baik untuk meraih hasil terbaik dari pencapaian-pencapaian hidup yang kita inginkan.
Membaca kalimat di atas tampak mudah, tetapi sungguh sulit melakukannya.
Saya pun masih mudah kecewa dan terpuruk ketika kalah dalam lomba kepenulisan, apalagi bila ada faktor X yang tak bisa dikendalikan. Seperti kalah dari pemenang perolehan likes di media sosial karena pemenangnya sudah memiliki fans base. Mungkin bila kalah karena pesaingnya banyak yang lebih mumpuni, saya lebih bisa menerima. Namun, nyatanya seringkali benak saya seketika berprasangka buruk, seperti pemenang adalah yang disukai juri, pemenang sudah di-setting, pemenangnya di circle penulis kondang saja.
Wajar? Ya, sebagai manusia.
Bukankah dalam kehidupan, lebih mudah bagi kita untuk menilai dan mengkritik pencapaian orang lain, maupun melempar kesalahan kepada pihak yang dianggap merugikan?
Kutipan bagus dari Tim Tebow, seorang analis football Amerika, dua kali juara nasional, peraihHeismann Trophy dan phillantropist terkenal kelahiran Filipina, menutup tulisan ini.
“We play a sport. It’s a game. At the end of the day, that’s all it is, is a game. It doesn’t make you any better or any worse than anybody else. So by winning a game, you’re no better. By losing a game, you’re no worse. I think by keeping that mentality, it really keeps things in perspective for me to treat everybody the same.
Slow Living, Slow Down, dan Slow Parenting dalam Kehidupan yang Cepat