Banyak orang tidak percaya saya tidak bisa mengarang dalam bahasa Batak. Benaran mah. Saya pernah mencoba menulis novel. Sudah 80-an halaman. Tapi saya merasa sendiri, kok kayaknya nggak bagus? Bahasanya kok nggak enak. Akhirnya cerita itu saya bikin skenario FTV.
Kemudian saya menemukan jawab persoalan itu. Saya memulai mengarang cerita dalam bahasa Indonesia. Pola ungkap pikiran, pola bahasa saya berstrukrur bahasa Indonesia. Padahal setiap bahasa punya struktur, pola ungkap yang khas. Jadi novel yang saya tulis sebenarnya, kalimat-kalimat Indonesia yang dibahasa-batakkan. Makanya banyak yang terasa janggal.
Saya meyakini kesadaran saya itu setelah membaca cerita-cerita, cerpen atau novel bahasa Batak yang ditulis oleh teman-teman yang tadinya bukan pengarang dalam bahasa Indonesia seperti bere Rose Lumbantoruan amangboru M Tansiswo Siagian. Bahasa cerita mereka terasa natural. Teman-teman yang tadinya biasa menulis cerita dalam bahasa Indonesia perlu juga memikirkan dan menyadari ini. Jangan asal membahasa-batakkan pikiran dalam bahasa Indonesia. Nuansa, rohnya berbeda. Sering terasa janggal, seperti bapak-bapak pakai daster.
Karena itu saya agak salut juga kepada lae Ranto Napitupulu yang belum lama meluncurkan novel bahasa Batak “Ulos Tali-tali”. Waktu muda lae Ranto ini suka menulis cerpen dan artikel di koran Medan. Kemudian ia berhenti menulis karena tinggal dan bekerja di Riau. Tahun 2014 ia kembali menulis, tapi dalam bahasa Batak. Dan bagus menurut saya. Bahasa Bataknya bernuansa Silindung.
Selain bahasa, ada hal menarik dari novel “Ulos Tali-tali” ini. Setting-nya perang PRRI akhir 1950-an – awal 1960-an. Perang ini mengakibatkan krisis dan perubahan sosial, terutama di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Tapi jarang novel, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah yang bersetting perang ini. Saya pernah membaca naskah novel karya sahabat saya JPM Tambunan, dia bukan pengarang. Bagus. Tapi ia meninggal sebelum novel itu diterbitkan. Sayang sekali.
Isi cerita “Ulos Tali-tali” adalah percintaan seorang gadis muda yang berprofesi sebagai guru dengan seorang tokoh pemberontak. Gadis itu menderita, bolak-balik ditahan militer, untuk memancing kekasihnya menyerahkan diri. Cinta mereka meninggalkan misteri.
Lae Ranto, yang bermukim di Perawan, Riau, menerbitkan novel ini secara indie dengan bantuan Teras Budaya, Jakarta. Mestinya pemerintah, terutama pemerintah daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa Batak (Toba) memberi perhatian pada literasi sastra bahasa daerah seperti ini. Dibeli untuk bahan pelajaran bahasa lokal anak-anak sekolah.
Dewasa ini banyak bahasa (dan budaya) di dunia, termasuk di Indonesia, dicemaskan terancam (atau sudah) punah, karena sudah tidak digunakan atau ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Literasi sastra daerah seperti “Ulos Talitali” salah satu jalan agar bahasa tidak punah. Karena ada literasi untuk bahan pelajaran generasi yang lebih muda. Bahasa itu tulang punggung budaya. Bahasa punah, budaya juga akan melenyap…