Memaafkan. Itu hal sepele. Terucap di mulut, lalu selesai. Semua seperti menjadi baik kembali.
Kenyataannya tidak semudah dan sesederhana itu. Memaafkan itu butuh keberanian dan kebesaran hati.
Banyak di antara kita yang berasa sulit, bahkan gagal untuk memaafkan orang lain.
Kita memberi maaf, tapi sebatas di mulut, basa basi, terpaksa, dan melakukan dengan berat hati. Tanpa disadari, masalah itu menjadi ganjalan di hati dan membebani hidup sendiri.
Akibatnya, kita tahu.
Ganjalan yang tidak segera dibuang membuat dada ini menyesak dan dapat menjadi luka batin.
Lebih parah lagi, gegara masalah itu kita mudah berubah pandangan akan sikap orang lain. Kita menjadi antipati, iri, benci, atau dendam, lalu kita menjadi stres.
Faktor utama untuk berani memaafkan orang lain adalah kita harus berdamai dengan diri sendiri lebih dulu. Dan melepas keegoisan kita.
Jangan pernah bilang, memaafkan dan mengampuni itu sulit. Butuh keberanian untuk menumbuhkan kesadaran agar kita belajar rendah hati dengan mendahulukan kepentingan orang lain.
Selain itu, minta maaf tidak identik kita yang bersalah atau akui kesalahan. Tapi kita belajar untuk berjiwa besar. Sekaligus, kita melepas beban di hati.
Coba direnungkan.
Tak seorangpun terluput dari berbuat salah. Disengaja atau tidak, lewat sikap atau kata-kata, pada teman atau keluarga.
Ketika berbuat salah, tapi tidak dimaafkan itu sakit. Penyesalan tanpa ampunan itu beban derita.
Bagaimana, kalau itu terjadi pada kita?
Sebaliknya, dengan belajar untuk memahami orang lain, kita tidak mudah emosi, ngambegan, terluka atau sakit hati. Kita menjadi semakin sabar.
Dengan mudah memaafkan, kita menjadi murah hati. Dengan mengasihi dan mendoakan seteru atau musuh, hidup kita menjadi damai.
“Ya Allah, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Kasih itu menyembuhkan luka batin, sekaligus membahagiakan jiwa. (MR)