Story of Baduy: Kukuk, Wadah Air dari Kanekes

Heryus Saputro - Kukuk Cibeo dan Kukuk Labu

Kiri : Kukuk labu botol dari Cibeo 1975 . Kanan: Kukuk labu air dari Ciboleger 2019 Foto : Koleksi Heryus Saputro Samhudi

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

TAHUN 1975 di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan atau Gelanggang Bulungan, berdiri wadah pencinta lingkungan Youth Scien Club (YSC) Bulungan, beranggotakan klub pencinta alam berbagai sekolah lanjutan atas dan universitas di Jakarta dan Bogor. YSC Bulungan lantas dikenal sebagai cikal-bakal Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) di lingkungan Sekolah Menengah Atas di Indonesia.

Satu program awal yang digelar YSC Bulungan adalah field-trip ke Desa Kanekes yang populer sebagai Baduy di Kecamatan Leuwiedamar, Kabupaten Lebak – Banten (yang saat itu masih menjadi bagian dari) Provinsi Jawa Barat. Apa dan bagaimana kehidupan masyarakat Kanekes? Itu titik perhatian kami nyaba Baduy, yang warganya bila hendak bepergian keluar imah (rumah) masih membawa kukuk.

Kukuk adalah wadah tempat air minum yang terbuat dari buah labu botol (Legenaria siceraria)atau labu air (Cucurbita leucantha) yang buah mudanya biasa dijadikan bahan Sayur Bening. Kukuk dibuat dari buah yang sudah sangat tua dan dibiarkan mengering di pohonnya. Buah-buah tua dipetik, lantas diasap (dibiarkan menggantung beberapa lama di dinding dapur) di atas perapian.

Udara panas dari dapur yang terus-menerus mengasapi labu, menjadikan dinding buah keras dan kering, sekaligus liat dan tak mudah pecah. Berapa lama waktu dibutuhkan untuk mengasapi buah labu? Relatif. Yang pasti hingga dinding buah berobah menjadi warna cokelat kehitaman, labu menjadi kering dan ringan. Bila dikocok-kocok, terdengar bunyi biji labu berkeresekan seperti suara marakas.

Dengan cermat dan hati-hati. menggunakan ujung pisau lancip, bagian pangkal buah yang sudah mengering dan liat itu dikerat membentuk bundaran lubang. Bukan cuma untuk mengeluarkan biji-biji dan sisa serat isi labu yang sudah mengering, melainkan nantinya, lubang juga akan difungsikan sebagai saluran untuk mengisi atau menuang air minum yang tersimpan di dalamnya.

Sejujurnya, tradisi membuat kukuk bukan cuma dilakukan urang Kanekes. Warga lain di kampung ataupun desa di luar Kanekes “Ti baheula ge ngadamel sorangan kukuk jeung rupi barang hari-hari lainna,” (Sejak dulu juga membuat sendiri kukuk, dan ragam rupa barang sehari-hari lainnya) ungkap Jaro Kharis, Kedes Cisimeut (desa di sebelah Kanekes, yang antara lain membawahi Ciboleger) tahun 1980an

Tapi karena adat Kanekes yang masyarakatnya sengaja memilih hidup dengan cara lama, sedapat mungkin menggunakan perangkat alat dan pengetahuan turun-temurun, maka orang Kanekes ’lah yang dalam keseharian masih menggunakan benda-benda etnobotani semisal kukuk, sementara warga lain di luar Kanekes sudah menggunakan tempayan, botol, tahang kayu ataupun ember.

Karena kami dapat di Kanekes atau Baduy, maka saat membawanya pulang ke rumah sebagai oleh-oleh kami pun menyebutnya sebagai Kukuk Baduy. Demikian pula cenderamata lainnya — semisal tas jarok atau koja, alat musik karinding, lampu pelita dari batok biji buah pucung/keluak, termasuk kain batik biru (yang sebenarnya tak diproduksi di Baduy) yang biasa jadi pakaian warga Kanekes, lantas kami sebut sebagai cenderamata khas Baduy.

Zaman bergerak maju, dan Kanekes Baduy berobah menjadi destinasi wisata yang ramai. Yang datang tak cuma para penjelajah alam yang berminat pada dunia penelitian yang harus berjalan kaki sekitar 6 jam dari rumah orang tua Mi’ing (Dedi Gumelar) dan Didin Bagito di Leuwiedamar, tapi siapa saja yang hanya dalam tempo 2 jam berkendaraan dari Rangkasbitung sudah tiba di Kadu Ketug.

Keterbukaan dan pariwisata punya konsekuensi tersendiri. Percaya nggak percaya, urang Kanekes kini nyaris tak lagi punya kesempatan membuat sendiri ragam barang keperluan hidup hari-harinya, Karena apa yang dipakai, apa yang ada di rumah, langsung diminta dan dibeli oleh tamu yang datang. Bahkan kukuk yang masih baru diasapi di dapur, sudah dibeli orang.

Lantas berpuluh-puluh kukuk dan cenderamata khas Baduy lainnya yang melimpah ruah, bergelantungan di warung-warung di Ciboleger, dan toko souvenir di beberapa kota? “Duka, saha nu ngadamel. Kami teu terang…” (Entah siapa yang membuat. Kami tidak tahu) ungkap seorang warga Kampung Cisaban, Panamping. Yang pasti, bila Anda nginep di Kanekes, dan perlu cenderamata, bilang saja ke pemilik rumah. Esok, kukuk dan ragam pesanan pasti sudah siap dicangking pulang. ***

13/09/2021 Pk.  WIB

– Koleksi Heryus Saputro Samhudi

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.