Foto : Jackson David/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
Dalam Perang Dunia (PD) II, sebuah kota kecil di Jerman, remuk total, berantakan. Kota itu bagai kota mati, tidak ada kehidupan.
Seusai perang dunia, sekelompok kecil serdadu Amerika melewati sebuah gedung gereja yang berantakan akibat perang. Hati mereka tersayat dan masgul. Apalagi saat mereka melihat sebuah arca Kristus yang turut hancur.
Mereka memasuki gedung gereja itu lalu berusaha menyelamatkan arca Kristus itu. Mereka mengumpulkan serpihan, potongan patung itu, dan berusaha untuk menyatukannya kembali.
Usaha para serdadu itu sepintas tampak berhasil. Namun sayang, seribu sayang, karena di hadapan mereka berdiri anggung sebuah arca buntung. Ternyata, arca itu tidak memiliki tangan. Kedua tangannya hilang.
Saudara, apa yang terjadi? Sungguh menakjubkan, betapa mulia serta ekspresif hati salah seorang serdadu itu. Mengapa?
Melihat arca buntung itu, spontan serdadu itu, menuliskan sepotong kalimat bermakna di bawah kaki arca itu, “Aku tidak mempunyai tangan lagi, kecuali tangan-tanganmu.”
“Aku tak bertangan lagi, tanganmulah, tanganku!”
Sungguh miris petistiwa ini dan sungguh luhur esensi makna kalimat interisan ini.
Saudara, banyak orang kini, tak bertangan lagi dalam konteks filosofis. Mereka tidak berdaya, tidak bermasa depan. Tangan-tangan harapan, tangan-tangan hak azazi mereka terampas ganas.
Mereka itu, mungkin juga adalah saudaramu, teman sekerjamu, murid dan mahasiswamu, atau pun rekan separtaimu…
Tuhan, membutuhkan jemari tulus kita, kehendak murni kita untuk merawat, menata tata kehidupan ini. Tuhan, Sang Mahamulia membutuhkan tangan-tangan hati kita hari ini, di sini, dan kini…
Jika rela memberikan tangan-tangan kita berarti kita telah mengulurkan tangan berahmat kita sesuai kehendak Tuhan.
“Sesungguhnya, apa yang kamu lakukan untuk saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk Aku.”
Malang, 26 Agustus 2022