Oleh RAHAYU SANTOSA
Stroke tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tidak hanya mematikan, stroke juga banyak menyebabkan kecacatan. Selain itu lain juga berdampak ekonomi rumah tangga. Misalnya tak bisa bekerja lagi. Bahkan ada yang harta bendanya habis karena emosional ingin segera sembuh. Buntutnya jadi mangsa tukang obat yang menjanjikan bahwa obatnya bisa segera menyembuhkan stroke yang diderita.
Saya mengalami stroke selama 2 tahun, tepatnya 11 September mendatang. Depresi, itu yang saya rasakan. Pertama, karena sebelumnya saya melihat teman yang selama 5 tahun tak bisa apa-apa. Kedua, saya takut tak bisa menulis dan berkegiatan lagi.
Motivasi Segera Pulih
Sebagai seorang jurnalis, saya mencari jawaban lewat kaidah jurnalistik 5 W + 1 H. Khususnya Why (mengapa) dan how (bagaimana). Mengapa kaki dan tangan lumpuh dan bagaimana mengatasinya. Maka saya cari literatur di internet. Komputer pun saya sandingkan di mana saya tidur.
Dari browsing di Google saya paham, bahwa stroke bagai berpacu dengan waktu. Golden Hour-nya hanya 1 – 4 jam saja sejak detik pertama serangan. Setelah itu harus berpacu lagi menggerakkan otot, agar tidak keburu massa otot mati.
Dari pengetahuan tersebut, saya padukan dengan pengalaman kerja sebagai wartawan yang harus berpacu dengan tenggat waktu (deadline). Juga berani mencoba dan berani ambil risiko. Karena bawaan stroke adalah malas, enaknya tidur, meski susah terpejam.
Tak kalah pentingnya harus punya motivasi kuat. Saya pun mencari motivasi kuat , untuk apa saya harus segera pulih. Saya pun melihat istri, yang setiap hari jam 01.00 harus bangun dan memasak untuk jualan nasi kuning di pagi hari. Setelah itu harus menyuci alat masak, membersihkan rumah, dan ada tambahan pekerjaan–yakni membantu saya mandi, BAB, ganti pampers dan sebagainya. Saya merasa kasihan, bagaimana kalau sampai berlangsung bertahun-tahun.
Gemregah, saya langsung bangkit. Dengan berbagai cara saya memaksakan diri untuk bisa bangun dari tiduran, kemudian belajar berdiri trantanan dengan kursi kayu yang diikat kuat,….yah kayak bayi. Dalam waktu sebulan, saya nekat menjalani jobs yang sudah lama direncanakan, yakni ceramah literasi mandiri di SMPN 12 Madiun.
Saya tahu, saat datang ke rumah, guru-guru tim literasi agak ragu. Namun saya yakinkan, bahwa saya bisa. Meski saat itu saya baru bisa duduk di kursi roda. Dan dengan duduk di kursi roda, saya berbicara selama tiga jam di depan 700-an siswa.
Meski pulang kepala kliyeng-kliyeng, namun hasilnya sangatlah berarti dalam menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri untuk bangkit. Yakni ada satu pengertian yang tumbuh, bahwa saya bisa, bahwa saya masih dibutuhkan. Dan sejak itu saya pun bisa kembali mengajar jurnalistik. Mengajar literasi mandiri kepada siswa, dari menulis, editing, layout/grafis, mencetak sampai menjilid menjadi buku.
Semangat itu pula yang membuat saya latihan jalan, setiap malam saat tidak bisa tidur. Hasilnya hanya dua bulan saya bisa berjalan tanpa alat, juga tanpa kawalan. Karena nekat, saya mencuri-curi peluang istri tidak ada di rumah, saya pun keluar jalan keliling perumahan hingga membuat ibu-ibu yang menunggu bakul sayur kaget melihat saya jalan.
Menyentuh Payudara
Setelah bisa jalan, saya fokus untuk melatih jari-jari dan tangan yang sulit terkontrol gerakannya. Untuk mengambil sesuatu, mesti meleset, tidak tepat pada sasaran yang dituju. Juga saat mencoba mengetik, mau nutul A, bisa melenceng ke huruf lain. Saya berpikir keras, bagaimana agar saya bisa bisa memfungsikan tangan dan jari-jari lagi. Karena pekerjaan saya menulis, maka jari tangan adalah bagian yang teramat vital.
Konsentrasi dan fokus, itu kata kuncinya. Tapi konsentrasi yang bagaimana? Fokus yang bagaimana? Itu pertanyaanya.
Apa yang saya lakukan memang ekstrem. Saya cari gambar payudara wanita di google, kemudian saya print. Setiap malam, ketika semua sudah tidur, saya keluarkan gambar itu dari persembunyiannya di bawah kasur, kemudian saya tempel dengan selotip di tembok.
Dengan media itu saya konsentrasi, seolah-olah sedang menyentuh (maaf) puting seorang gadis. Pertama meleset. Sambil bergurau sendiri saya berguman, ‘’Lumayan dapat yang empuk,’’ kataku dalam hati. Dua minggu saya lakukan itu, akhirnya bisa tepat sasaran. Saya ulang-ulang terus sampai lima jari semuanya mampu menyentuh tanpa harus konsentrasi lagi. Setelah itu saya coba mengetik di papan keyboard. Grotal-gratul akhirnya lanyah juga. Hingga bulan ketiga, saya sudah bisa mulai menulis buku MELAWAN STROKE.
Buku itu selesai Agustus 2020. Saya pasarkan lewat internet, bisa laku lumayan banyak. Setidak-tidaknya saya bisa bayar rumah kontrakan.
Sejak itu pula saya sudah bisa mengajar ekskul jurnalistik lagi di sekolah-sekolah, meski harus diantar oleh anak saya. Dan atas bantuan Dompet Dhuafa, yang dikomandani Pak Parni Hadi, pendiri Harian Republika, saya bisa merehab motor butut jadi beroda 3 (tiga).
Dengan motor itulah saya sempat berjualan nasi keliling ke kampung-kampung. Setidaknya dengan cara ini saya bisa melatih keberanian untuk beraudiensi kembali dengan masyarakat.
Dan awal tahun 2021 ini saya sudah bisa memberi ceramah di depan kru Korane Arek Malang, New Malang Pos (NMP)di Hotel Selecta, Batu.
Memori pun telah kembali nomal. Padahal sempat hilang, hingga tak megenali orang,meski ada di depan mata. Misalnya ketika dibezuk Ibu Inda Raya Saputri, Wakil Walota Madiun, saya tidak mengenalinya. Baru tahu ketika diberitahu istri saya. Itu pun beberapa hari setelah otak mulai membaik.
Jangan ditanya obat, (dan ini jangan ditiru) karena sejak keluar rumah sakit saya tak pernah minum obat. Saya hanya makan 4 siung bawang putih setiap hari, yang saya bagi makan pagi sesiung, siang sesiung dan malam 2 siung.
Karena saya tahu. Stroke itu tak ada obatnya. Obatnya ya keyakinan diri, semangat pantang menyerah dan motivasi. Fungsi obat sebenarnya hanya untuk pencegahan, agar tak terjadi serangan berulang. Misalnya untuk mengatasi pemicu stroke, apakah hipertensi, kolesterol, diabets atau lainnya.
Kini, masih ada sisa kecacatan. Yakni berjalan masih sedikit pincang. Sekarang mulai hidup berdampingan dengan stroke.*