Oleh DAMAI K
Ada pemandangan baru di berbagai jalan di ibukota dan beberapa daerah. Yakni munculnya baliho bergambar wajah para politisi “muda” yang digadang-gadang atau menggadangkan diri akan menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Keempat politisi itu adalah Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Partai Golkar dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto; Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Baliho bergambar Ketua DPR Puan Maharani dengan latar belakang merah dan logo PDIP di sebelah kanannya, bertuliskan “Kepak Sayap Kebhinekaan”; baliho Menteri Perdagangan Arilangga Hartato bertuliskan “Kerja Untuk Indonesia”; AHY memakai talgine “Nasional Religius”; sedangkan Muhaimin Iskandar bertagline “Padamu Negeri Kami Berbakti”.
Banyak yang mengkritik kemunculan baliho itu, karena tidak sensitif dengan kondisi masyarakat saat ini, yang sedang susah didera pandemi.
Bagi politisi, politik adalah segala-galanya. Dan politik perlu pencitraan, karena pencitraan diyakini dapat meningkat elektabilitas.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Politisi yang menunggangi politik sebagai tujuan untuk mencapai cita-citanya, kerap merasa tidak ada urusan dengan sensivitas terhadap keadaan sosial sekarang, atau kondisi yang tengah dialami masyarakat. Mereka berdalih, masalah masyarakat adalah urusan pemerintah yang berkuasa. Mereka baru mendadak jadi sinterklas saat kampanye atau menjelang pencoblosan!
Maka ketika banyak yang mengecam kemunculan baliho itu, mereka tidak peduli. Apalagi, seperti kita ketahui, keempat bintang baliho itu bukanlan tipe yang sehari-sehari dekat dengan rakyat.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan menentukan sosok pemimpin Indonesia ke depan baru akan dilaksanakan tahun 2024. Masih dua setengah tahun lagi dari sekarang. Namun mereka sudah mulai “berebut” kursi kekuasaan yang bakal ditinggalkan oleh Presiden saat ini Ir. Joko Widodo.
Kita semua tahu beradasarkan ketentuan perundang-undangan, Presiden Jokowi tidak boleh lagi mencalonkan diri, sehingga peluang calon-calon baru untuk menggantikannya sangat besar.
Meski pun tidak disampaikan secara terbuka keinginan mereka, masyarakat sudah tahu ke mana arah tujuan para politisi itu dengan menyebar baliho.
Pada saat pemimpin sekarang masih berkuasa, dan penyelenggaraan Pilpres mendatang masih cukup lama, rasanya menggelikan melihat para politisi itu sudah mengincar kursi yang akan ditinggalkan oleh Presiden saat ini.
Dalam dunia fauna, di Afrika ada hewan bernama hyena yang sering berebut makanan (daging) baik dengan sesama mereka atau hewan lain. Seperti itulah nafsu para politisi yang muncul dalam baliho.
Apakah keempat politisi itu – Puan Maharani, AHY, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar adalah sosok yang benar-benar diinginkan masyarakat Indonesia? Ini yang perlu kajian lebih jauh.
Bila melihat rekam jejaknya, keempat politisi itu bukanlah sosok idaman rakyat.
Puan Maharani yang memiliki dukungan parpol besar PDIP, sejak menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (2014–2019) hingga duduk sebagai Ketua DPR saat ini, bukan sosok politikus yang matang dan merakyat. Puan sangat elitis, tidak komunikatif dan orang tahu bahwa jabatan-jabatan hebat yang didudukinya bukan karena kapasitasnya sebagai tokoh politik, melainkan ada invicible hand di belakangnya.
AHY setali tiga uang dengan Puan. Dia menonjol hanya karena dia anak dari Ketua Umum Partai Demokrat pertama yang juga Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono.
AHY sebenarnya memiliki karier cemerlang di militer. Lulusan terbaik dari Akademi Militer tahun 2000 dan meraih penghargaan Presiden RI; Bintang Adi Makayasa, sempat meraih pangkat Mayor Infantri di TNI AD.
Karena ambisi politik, AHY keluar dari TNI untuk mencalonkan diri di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam Pilkada itu ia yang berpasangan dengan Sylviana Murni kalah, bahkan tidak lolos ke putaran kedua.
Dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Menko Perindustrian saat ini, Airlangga Hartarto harusnya menjadi tokoh nasional yang menonjol dan melekat di hati rakyat. Sayangnya dua jabatan prestisius itu tidak dapat dimanfaatkan dengan baik olehnya.
Ketika Presiden RI Joko Widodo pada Juli 2020 memberikan penugasan baru kepadanya untuk mengkoordinasikan tim kebijakan dan membentuk satu tim untuk mengendalikan penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi, kinerja Airlangga kurang menggembirakan. Sejak 1 Juli 2021 tugas itu lalu diserahkan kepada Menko Marinvest Luhut B. Panjaitan, yang memang lebih tegas dalam bertindak.
Sama seperti Puan Maharani dan AHY, Airlangga Hartarto juga memiliki trah pejabat dalam darahnya. Ayahnya, Ir. Hartarto Sastrosoenarto adalah Menteri Perindustrian pada Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V dan Menteri Koordinator bidang Produksi dan Distribusi pada Kabinet Pembangunan VI dan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan VII.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebenarnya politikus muda yang moncer kariernya.
Pada pemilu 1999, Muhaimin terpilih sebagai anggota DPR RI dari partai PKB. Di lembaga legislatif tersebut, pada usia 33 tahun, Muhaimin menjadi Wakil Ketua DPR RI 1999-2004. Dia termasuk pimpinan termuda di DPR yang pernah ada saat itu.
Muhaimin juga pernah menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak 26 Maret 2018 hingga 30 September 2019. Ia bersama Ahmad Basarah dan Ahmad Muzani didapuk jadi Wakil Ketua MPR berdasarkan revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Namun dibalik karier yang gemilang itu, Cak Imin memiliki sejumlah catatan terkait kasus korupsi. Setidaknya, terdapat tiga kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
Yang pertama kasus dugaan suap pengucuran Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang kini telah berubah menjadi Kementerian Ketenagakerjaan. Tersangka penyuap, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati, mengaku memberikan uang dalam kardus durian untuk Muhaimin Iskandar melalui utusannya.
Kedua, kasus suap pembahasan anggaran optimalisasi di Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi pada Kemenakertrans 2014. Diketahui, Cak Imin sempat menjabat sebagai Menakertrans saat kasus ini bergulir.
Ketiga, kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan yang digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016. Dalam kasus ini, KPK telah menjerat 12 orang tersangka. Satu diantaranya, bekas anggota DPR fraksi PKB, Musa Zainuddin.
Dalam Pilpres mendatang, katakanlah mereka memiliki dukungan politik yang kuat, karena PDIP memperoleh 19,33 % suara dalam Pemilu 2019, Golkar 12,31 %, PKB 9,69 % dan Demokrat 6,84 %. Tetapi, di samping butuh koalisi dengan partai lain untuk mendukung, dalam pemilihan langsung nanti, tangan rakyatlah yang menentukan dalam bilik suara. Jika rakyat ingat rekam jejak mereka, apa jadi nasib mereka?
Tahun lalu Plt. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonnesia (PSI) Giring Ganesha, eks vokalis grup musik Nidji, juga terpampang di beberapa ruas jalan ibukota dan daerah. Giring lebih jujur, menyebut langsung sebagai Capres 2024.
Tetapi di samping terlalu cepat muncul, meski dinyinyiri, ada yang menilai hanya sebagai lucu-lucuan, dan mimpi di siang bolong.
·