Uang yang dikumpulkan oleh mafia minyak digunakan untuk membeli politisi di partai dan gedung dewan, para pengacara kondang, wartawan, NGO, serta mengguncang pasar saham, yang semua bersatu padu untuk merusak sebuah negeri. Indonesia adalah target berikutnya setelah Timur Tengah.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
JIKA Anda menerima pesan pesan pesimisme, skeptis pada pemerintahan baru, dan suara kenegatifan akan masa depan negara, di media sosial Anda. Atau ajakan demo dan turun ke jalan, setelah melihat postingan caci maki kepada kepala negara atau mantan kepala negara – melalui hape Anda – waspadailah! Itu tanda tanda uang mafia minyak mulai mengalir deras di sana.
Setelah para pelaku oplosan BBM Pertamina yang merugikan rakyat dan negara ditangkap, mereka melakukan serangan balik. Mereka memanfaatkan kelompok kecewa, kaum pecatan, dan pendukung partai kalah untuk melawan pemerintah dan negara.
Mereka menumpang keresahan masyarakat akibat gelombang PHK di berbagai perusahaan, menurunnya daya beli klas menengah karena hilangnya “cash back” para pengelola anggaran, setelah ada kebijakan efisiensi dan pemotongan program pemborosan APBN selama ini.
Ini memang ujian pemerintahan Prabowo Subianto yang baru menginjak bulan ke lima. Penangkapan sejumlah koruptor kakap – yang merugikan rakyat dan negara hingga triliunan rupiah – tidak dinggap pencapaian penegakkan hukum dan langkah gebrakan pembersihan pemerintah baru. Melainkan bukti pemerintahan yang bobrok. Padahal mereka yang berteriak, yang selama ini menikmatinya.
PESIMISME, skeptisisme, suara kenagatifan awalnya hanya diteriakkan oleh kelompok yang kalah pilpres 2024, bersama sama mantan pecatan pejabat, aktifis nganggur dan mereka yang tak terakomodasi dalam pemerintahan baru. Kini mereka mendapat kawan baru dan “investor” duit mafia minyak yang triliunan untuk mengacaukan negara.
Dengan modal ratusan triliun, bahkan ribuan triliun yang sudah terkumpulkan beberapa tahun terakhir, mereka siap membiayai demo mahasiswa, buruh, jurnalis partisan, dan mengongkosi warga pendukung partai kalah serta para preman, pengangguran, SJW, NGO dan media untuk terus melakuan perlawanan.
Upaya menghancurkan ekonomi dengan membeli dollar, mengguncang pasar saham, membeli ‘slot’ di televisi, untuk ‘talkshow’, ‘podcast’, juga halaman majalah, dengan konten terus menerus menyampaikan provokasi dan anti pemerintah. Selain memanfaatkan keresahan korban PHK besar besaran – yang sudah mulai nampak.
Segala cara dilakukan untuk mendelegitimasi pemerintah. Agar masyarakat meyakini pemerintah gagal, bahkan – dalam jangka panjang – mendorong agar Indonesia menjadi negara gagal.
Hukum kapitalis berlaku, “barang siapa menguasai bisnis minyak, dia menguasai suatu negara”. Maka, ketika kenyamanan mafia minyak terganggu, perlawanan balik dilakukan dengan target merusak suatu negara. Bukan rahasia lagi, hancurnya negeri Irak, Suriah, Yaman, isolasi Iran merupakan hasil persengkongkolan korporasi minyak.
Uang yang dikumpulkan oleh mafia minyak digunakan untuk membeli politisi di partai dan gedung dewan, para pengacara kondang, wartawan, NGO, serta mengguncang pasar saham, yang semua bersatu padu untuk merusak sebuah negeri. Indonesia adalah target berikutnya setelah Timur Tengah.
PERTEMUAN Presiden Prabowo Subianto dengan sejumlah konglomerat dalam negeri antara lain membahas hal itu. Pertemuan di istana berlangsung dalam dua sesi. Pertama dengan delapan pengusaha di Istana Kepresidenan, Kamis, 6 Maret 2025. Delapan pengusaha yang hadir berasal dari berbagai sektor industri, antara lain Anthony (Salim Grup), Sugianto ‘Aguan’ Kusuma (Agung Sedayu), Prajogo Pangestu (Barito Pasific), Boy Thohir (Adaro), Franky Widjaja (Sinar Mas), Dato Sri Tahir (Mayapada), James Riady (Lippo) dan Tomy Winata (Artha Graha). Mereka memiliki latar belakang bisnis yang mencakup sektor pangan, properti, energi, keuangan, hingga manufaktur.
Sedangkan pertemuan ke dua berlangsung Jumat, 7 Maret 2025 ini di Istana Merdeka, dimana Presiden Prabowo Subianto ditemani Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kedua kanan), Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan (kanan), Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi (ketiga kiri) dan Investor asal Amerika Serikat (AS) Ray Dalio.
Dari kalngan pengusaha, selain para konglomerat di atas juga ada pengusaha Hilmi Panigoro (Medco Energy), Chairul Tanjung (Trans Corp) dan H. Andi Syamsuddin Arsyad ( Haji Isam, Jhonlin Group).
Jurnalis senior mengingatkan pada pertemuan Jimbaran 1990 dan pertekuan Tapos – Bogor 1995, antara Suharto dan Konglomerat masa itu.
Pertemuan antara pemerintah, pengusaha dan investor kali ini menghadirkan Ray Dalio dari Amerika Serikat, khusus membahas pengelolaan aset BUMN melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia.
Kedua pertemuan itu berlangsung di tengah langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023 .
Pertemuan ini merespon spekulasi politik, terutama terkait dugaan bahwa hasil korupsi tersebut akan digunakan untuk menciptakan kekacauan ekonomi dan politik. Termasuk upaya menggulingkan pemerintah Prabowo-Gibran.
Resminya, Presiden Prabowo meminta para pengusaha untuk turut membantu pemerintah untuk mencapai kemandirian ekonomi, dengan tidak melarikan keuntungan bisnis ke luar negeri dan terus menciptakan lapangan kerja baru.
Prabowo menjanjikan perlindungan usaha kepada para konglomerat, dengan syarat tetap komitmen berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Namun dalam pertemuan dengan konglomerat itu juga Prabowo mengungkap temuan intelejen adanya potensi perlawanan dari para pihak yang merasa terancam oleh pemberantasan korupsi.
Sebagai jenderal bintang empat, Prabowo telah memperhitungkan segala risiko dalam setiap kebijakan yang diambil. Termasuk pada perlawanan balik yang akan dilakukan oleh para koruptor dan mafia minyak. ***