Sejarah mencatat, saat pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran pindah dari Panjalu di Ciamis/Garut/Tasikmalaya ke Pakuan di Kahuripan/Bogor, untuk merayakan hadirnya raja baru dalam trah Silih Wangi (Siliwangi) itu digelar keramaian Pasar Malem di Kawadan yang kini dikenal sebagai Baranangsiang yang berarti “malam bercahaya, terang-benderang bagaikan siang”. Foto Don Worosukarto.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 23/02/2023 – “Eyang Yus…! Asyik lho, kemarin …aku(h) diajak Ibu sama Bapak naik dream-mollen di Pasar Malem. Itu lho, Yang… kemidi-Puter. Aku(h) naik kursi-bebek, sama Ibu. Asyik, muter-muter. Ada juga yang kincir-angin. Tapi serem, tinggi, aku(h) takut naiknya. Ada banyak tukang mainan, baju dan makanan. Eyang mau aku(h) ajak ke Pasar Malem?” celoteh Naira (cucu kami, 3th) yang kian fasih bicara.
Saya mengangguk-angguk, sambil membayangkan suasana Pasar Malem atau Pasar Malam yang sedang berlangsung di bubulak (lahan luas dan kosong yang belum digunakan pemiliknya) di pinggiran kampung tepi jalan, tak jauh dari komplek perumahan Ibu dan Bapaknya Naira di perbatasan Depok Jawa Barat dan Tangerang Selatan Banten.
Pasar Malem, untuk menyebut pasar dadakan yang buka pada sore hingga malam hari dan digelar semalam atau beberapa malam di lapangan atau ruang/tanah kosong terbuka, bukan hal baru di Indonesia. Sejarah mencatat, saat pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran pindah dari Panjalu di Ciamis/Garut/Tasikmalaya ke Pakuan di Kahuripan/Bogor, untuk merayakan hadirnya raja baru dalam trah Silih Wangi (Siliwangi) itu digelar keramaian Pasar Malem di kawadan yang kini dikenal sebagai Baranangsiang yang berarti “malam bercahaya, terang-benderang bagaikan siang”.
Demikian juga di masa kejayaan Majapahit di abad ke-14. Saat rombongan Raja Sunda mengantar putrinya, Dyah Pitaloka, yang telah dilamar Hayam Wuruk untuk jadi permaisurinya, di Lapangan Bubat digelar Pasar Malem untuk menghibur masyarakat.
Sayangnya peristiwa penting itu berakhir sebagai catatan hitam dalam sejarah. Kehadiran konspirasi jahat di tubuh elit politik Majapahit menciptakan keonaran, mengakibatkan tewasnya segenap tamu dan Raja Sunda serta calon mempelai wanita (Dyah Pitaloka) memilih bunuh diri.
Geger di Pasar Malem di Bubat sengaja disukut oleh para konspirator untuk melengserkan Gajah Mada dari jabatannya sebagai Mahapatih. Dan kita tahu, itulah titik awal runtuhnya Majapahit.
Tapi “Geger Bubat” hanya sepenggal kisah buram dimana kita harus sama belajar agar aib sejarah yang memalukan itu tidak terulang lagi. Lepas dari itu, dari masa ke masa di bumi Indonesia, kehadiran Pasar Malem sebagai ajang jual beli dan keramaian yang menghibur rakyat, selalu ditunggu masyarakat banyak di berbagai lokasi.
Kita ingat misalnya, Jakarta saat masih bernama Batavia (kalangan awam kerap menyebutnya Kota Betawi) pernah memiliki keramaian tahunan yang populer sebagai Pasar Gambir, digelar tiap sore hingga tengah malam dalam beberapa minggu di Koningsplein, lapangan luas di sebelah barat Stasiun Gambir (karenanya disebut Pasar Gambir) yang kini dikenal sebagai Taman Monumen Nasional (Monas).
Sejujurnya, Pasar Gambir itu produk Kolonial Belanda. Digelar pertama kali di tahun 1898 dalam rangka ‘syukuran’ atas naik-tahta Wilhelmina sebagai Ratu Belanda.
Pasar Gambir (beberapa foto arsip tua memampangkan gerbang bertulisjan “Passer Gambir”) menjadi acara tahunan di zaman Ratu Juliana. Dimulai tahun 1921 dan berakhir di tahun 1942 saat tentara fasis Jepang dengan mudah bikin Belanda ‘keok’ dan lalu menduduki Nusantara dengan semena-mena.
Bom Atom dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Tentara fasisme Jepang tekuk lutut pada Sekutu. Soekarno-Hatta dkk merebut peluang emas itu, memproklamirkan Negara Republik Indonesia. Tapi membonceng Sekutu, Belanda mengirim para teroris bersenjata dan berseragam NICA untuk kembali menduduki Indonsia. Perang Rakyat Semesta mempertahankan Kemerdekaan RI meledak di sekujur Nusantara, sampai tahun 1949/1950 Belanda pulang kampung dan mengakui kedaulatan RI.
Selepas masa itu, pegiat bisnis Pasar Malem kembali muncul. Tidak dalam model ‘Pasar Gambir’ yang tinggal sebagai kenangan, melainkan dalam bentuk Pasar Malem kecil-kecilan di lapangan kota ataupun pinggiran kampung dilakukan kelompok-kelompok orang atau pengusaha yang (rasanya) pernah ambil bagian dari keramaian Pasar Gambir.
Pasca kemerdekaan, Jakarta tumbuh sebagai The Big Village, sebuah dusun besar padat penghuni, sekaligus pasar besar dan luas bagi berbagai bentuk aktivitas perekonomian. Memilili banyak tanah lapang, selain Koningsplein atau Lapangan Gambir yang berobah nama jadi Lapangan IKADA (karena di situ terdapat stadion Ikatan Atletik Djakarta), Jakarta bisa disebut sebagai kota cikal-bakal tumbuhnya tradisi Pasar Malem Keliling di Indonesia.
Kini Indonesia punya pusat hiburan sekaligus taman konservasi satwa ek-situ bernama Taman Safari Indonesia (TSI) yang berawal dari Cisarua Bogor Jawa Barat, kini TSI juga punya cabang di Prigen Pasuruan Jawa Timur, serta di Bali. Tahu kah Anda bahwa bisnis TSI diawali keluarga pelopornya dengan menggelar pertunjukan trapeze (olahraga ketangkasan bermain di antara gantungan tali-temali) dan atraksi sirkus keliling dalam Pasar Malem yang digelarnya?
Di masa kecil saya di Jakarta dekade awal 1960-an, di bulan-bulan tertentu (semisal bulan Agustus, selepas hari raya lebaran ataupun menjelang pergantian tahun masehi) kerap digelar pasar malam. Tak cuma di Lapangan IKADA ataupun Lapangan Banteng, tapi juga di Lapangan Jenderal Oreip di Kebun Pala Jatinegara, di Taman Persari Polonia Jakarta Timur, dan lapangan lain yang bertebatan di Jakarta. – Bersambung