Berbagai kelompok masyarakat berencana menolak Pemilu. Apakah mereka punya bukti ? ( Foto: AI, Bing, Copilot/ Seide)
Ada berita menggelikan di tengah Panitia Pemungutan Suara sedang menghitung hasil suara Pemilu 2024 versi KPU ( Komisi Pemilihan Umum ). Diberitakan, Din Samsudin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, menjadi pimpinan Gerakan 100 Tokoh Menolak Pemilu.
Yang Penting TSM
Alasan menolak Pemilu 2024 oleh 100 orang karena Pemilu kali ini dianggap dilakukan curang secara TSM ( Terstruktur, Sistematis dan Massif). Beberapa pendemo dan pemrotes lain yang menolak pemilu memang selalu dengan tuduhan dan narasi-narasi TSM. Apakah mereka benar-benar paham apa yanga dimaksud dengan TSM ?
Baca Juga : Gibran Tampil Menonjol
Sebagai orang berpendidikan, berpredikat tokoh, sangat tidak bijak jika hanya melemparkan narasi-narasi kecurangan Pemilu yang TSM namun tidak mampu mengeksekusi melalui hukum. Menuduh Pemilu curang sangat mudah, namun untuk membuktikan, itu perkara lain. .
Orang-orang yang mengerti hukum, tahu tentang kecurangan namun hanya berteriak menolak dengan memberi bumbu kecurangan Pemilu yang TSM jelas tidak mendidik dan merendahkan derajat mereka sendiri.
Sebagai catatan, dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2018 menyatakan, diterimanya laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu TSM harus memenuhi syarat formil dan materil.
50 Persen Daerah Pemilih
Syarat formil lain terdiri dari identitas pelapor. Sedangkan syarat materil harus memuat objek pelanggaran yang dilaporkan dan hal yang diminta untuk diputuskan. Objek pelanggaran yang dilaporkan terdiri dari waktu peristiwa, tempat peristiwa, saksi, bukti lainnya dan riwayat uraian peristiwa.
Dalam syarat materil, laporan dugaan pelanggaran administrasi pemilu TSM paling sedikit disertai dua alat bukti dengan ketentuan pelanggaran terjadi paling sedikit 50 persen dari jumlah daerah yang menjadi lokasi pemilihan. Alat bukti yang dimaksud yaitu, keterangan saksi, surat dan tulisan, petunjuk, dokumen elektronik, keterangan pelapor atau keterangan terlapor dalam sidang pemeriksaan dan keterangan ahli.
Baca juga : Untung Rugi Nomor Urut Pemilu 2024
Itu artinya penuduh atau mereka yang mencap Kemenangan Prabowo-Gibran menang, harus membuktikan bahwa daerah kemenangan mereka terjadi pelanggaran sebanyak 50%. Daerah kemenangan Prabowo-Gibran adalah Bali 51,78%, Banten 55,69%, Bengkulu 69,29%, Jogja 50,59%, DKI Jakarta 41,09%, Gorontalo 65,52%, Jambi 64,45%, Jawa Barat 57,2%, Jawa Tengah 52,7%, Jawa Timur 65,3%, Kalimantan Barat 59,96%, Kalimantan Selatan 56,47%, Kalimantan Tengah 71,09%, Kalimantan Timur 68,34%, Kalimantan Utara 67,64%, Kepulauan Bangka Belitung 59,73%, Kepulauan Riau 55,78%, Lampung 69,34%, Maluku 63,47%, Maluku Utara 60,16%, Nusa Tenggara Barat 67,05%.
Selanjutnya, ada di Nusa Tenggara Timur 60,84%, Papua 60,75%, Papua Barat 63,27%, Papua Barat Data 57,72%, Papua Selatan 70,13%, Papua Tengah 64,97%, Riau 50,71%, Sulawesi Barat 64,58%, Sulawesi Selatan 56,43%, Sulawesi Tengah 68,99%, Sulawesi Tenggara 70,28%, Sulawesi Utara 74,89%, Sumatera Selatan 70,14%, dan Sumatera Utara 59,34%.
Logikanya, apakah di daerah-daerah tersebut di atas terjadi kecurangan lebih dari 50% ? Itu yang harus dibuktikan para pemrotes kemenangan Prabowo-Gibran. Saya paham kesu;itan mencari bukti kecurangan, makanya lebh enak teriak curang-curang.
Sebagai tamabahan,, alat bukti keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang melihat, mendengar secara langsung atau mengalami peristiwa pelanggaran administrasi pemilu TSM. Bukti keterangan saksi dapat ditunjukkan dan dilampirkan dalam bentuk salinan oleh Pengawas Pemilu dalam pemeriksaan atas permintaan majelis pemeriksa.
Hanya 7 Hari
Selain hal di atas yang perlu dilengkapi. semua laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu TSM harus disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran administratif pemilu TSM. Jika melewati batas waktu, maka laporan tersebut tidak dapat diterima.
Baca Juga : Seperti Apakah Sistem Informasi Penghitungan Suara Rakyat yang Baik
Apakah mereka yang berteriak-teriak di jalanan itu paham aturan, apakah mengerti tata cara laporan dan sudah melaporkan sejak mereka memperoleh bukti sebelum 7 hari sejak kejadian terjadinya kecurangan pemilu ?
Rasanya tidak. Mereka berteriak setelah merasa jagonya kalah. Ini terjadi juga saat Prabowo kalah, lalu kemenangan Jokowi dianggap curang. Ini biasa di setiap pemilu. Yang kalah tidak menerima kemenangan lawannya. Mereka, lalu melakukan narasa kecurangan TSM. Apalagi pemilu kali ini, dimana Ganjar yang didukung partai besar PDI-P merasa di atas angin, terlebih didampingi Mahmud MD, orang baik dan jujur yang layak diidolakan. Tapi, dengan pasangan capres No. 1 Baswedan- Cak imin saja mereka kalah telak.
Namun dalam Pemilu, partai besar, nama besar, bukan jaminan. Dulu orang tak mengenal Jokowi, namun orang kemudian kaget ada “ wong deso” bisa jadi presiden. Para pemilih lebih pintar sekarang. Mereka memilih calon presiden yang bisa mewakili diri mereka.
Jika para penolak pemilu 2024 sekarang ini memiliki bukti kejadian kecurangan, mungkin sejarah akan berkata lain. Hal begini mestinya tinggal diproses saja, tak perlu berteriak-teriak di jalanan yang membuat orang yang tidak paham, akan “ termakan” hasutan dan narasi-narasi negatif yang tidak dibuthkan bangsa ini. Ini juga bukan pertamakali Din Syamsudain melakukan manuver yang intinya anti pemerintahan Jokowi dan konco-konconya.
Tak butuh aksi jalanan untuk menjadi pahlawan. Cukup membawsa persoalan kecurangan ke ranah hukum. Ini menunjukkan negara kita adalah negara hukum. Orang yang kritis paham hukum. Bukan negara narasi.
TPN Ganjar-Mahfud Akan Bentuk Timsus Untuk Usut Dugaan Kecurangan Pemilu