KASUS tewasnya Zidan, 21, taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, Jawa Tengah, merupakan gunung es dari tradisi kekerasan di sekolah kedinasan – notabene sekolah yang dibiayai negara. Hampir seluruh sekolah kedinasan di bawah kementerian atau lembaga pemerintah masih menerapkan gaya disiplin militer untuk membentuk calon pelayan publik yang disiplin dan patuh. Gaya disiplin militer itu mulai dari kekerasan verbal hingga fisik, kata pakar pendidikan pendidikan karakter, Doni Koesoema.
Semua tindakan itu, kata Doni, dibiarkan oleh para pembina maupun pendidik karena dianggap “wajar” dibalut “budaya senioritas” – kata DOni.
Lima orang pelaku yang melakukan penganiayaan terhadap Zidan Muhammad Faza. Mereka telah diamankan polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Identitas mereka masing-masing bernama Caecar Richardo Bintang samudra Tampubolon, Aris Riyanto, Andre Arsprilia, Albert Jonathan Ompu Sungu, dan Budi Dharmawan.
Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi pada 2019 di Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar. Seorang taruna bernama Aldama meninggal karena kekerasan fisik oleh seorang taruna senior. Sebelum meninggal, korban mengaku kekerasan yang ia alami itu, setiap hari terjadi dan dilakukan oleh senior-seniornya.
“Dia bilang beruntung kalau dalam sehari dia tidak dipukuli. Apalagi dia kan ketua angkatan. Jadi kalau ada temannya yang salah, dia yang dipanggil untuk dikasi hukuman,” kata salah seorang sahabatnya, Arman.
Muh Rusdi (21) yang merupakan senior, satu tingkat di atas korban, menjadi tersangkanya.
Pada Mei 2017 lalu, Taruna Brigdatar Muhammad Adam atau yang biasa disapa Nando, tewas setelah mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari seniornya di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang.
Pemukulan dilakukan karena korban dianggap melakukan kesalahan yang diduga terkait kedisiplinan. Setelah, tidak sadarkan diri, Adam sempat dilarikan ke RS Akpol. Namun, nyawa tidak tertolong.
Pada tanggal 11 Januari 2017, publik juga dikejutkan dengan kematian Amirulloh Adityas Putra, 18, taruna tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara. Amir, sapaan Amirullah, meregang nyawa setelah dihujani pukulan di dadanya oleh 5 seniornya di sekolah pelayaran.
Pada tanggal 25 April 2014, Dimas Dikita Handoko (19), taruna tingkat 1 tewas juga karena dianiaya para seniornya. Motif penganiayaan diduga karena Dimas dianggap tidak respek terhadap para seniornya.
Kematian taruna di STIP Marunda tidak hanya terjadi sekali. Pada Mei 2008, Agung Bastian Gultom, taruna tingkat tewas dianiaya seniornya.
Kekerasan yang berujung kematian di sekolah kedinasan mulai terekspose secara luas ke masyarakat pada tahun 2007, saat Praja IPDN, Cliff Muntu Madya, 19, meninggal dunia karena mengalami tindak kekerasan dari para seniornya. Praja IPDN kontingen asal Sulawesi Utara ini tewas akibat tindak kekerasan yang dilakukan tujuh Nindya Praja terhadap dirinya dalam sebuah aksi perpeloncoan.
Daftar panjang kekerasan yang berujung kematian di IPDN sendiri, pernah diungkap oleh Inu Kencana Syafiie, mantan dosen IPDN.
Dalam sebuah buku berjudul, IPDN Undercover, Inu Kencana menuliskan adanya sekitar 17 kematian tidak wajar yang dialami praja IPDN dalam kurun waktu 1990-2007. Sementara, pemberian sanksi pagi pelaku baru diberlakukan pada tahun 2007, ketika kasus kematian Cliff mendapat perhatian luas masyarakat. ***