Oleh AHMAD ERANI YUSTIKA
Lione Messi akhirnya bisa mengangkat piala untuk negaranya: Argentina. Messi punya segalanya sebagai pemain sepak bola. Dia pemain yang memperoleh gelar terbaik dunia (ballon d’or) paling banyak. Klub yang dibelanya dengan setia, Barcelona, dianugerahi limpahan juara: dari piala liga sampai Champions. Semua gelar dilumatnya, nyaris tanpa sisa.
Namun, Messi seperti dikutuk bila bermain untuk timnas negaranya. Ia tak pernah membawa Argentina menjadi jawara, termasuk di Piala Dunia. Tapi, tiap kutukan akan selalu ada ujungnya.
Pada 11 Juli 2021 lalu Argentina meraih Piala “Copa America” dan Messi menjadi pencetak gol terbanyak di turnamen itu. Kepalanya tegak bersama Argentina. Ketika menerima piala, dia mengucapkan terima kasih, salah satunya, kepada kepada: Diego Armando Maradona.
Messi masih punya “nyawa” melanjutkan prestasi. Hidupnya akan terus dibandingkan dengan satu nama yang ia sebut itu: Maradona. Hayat Maradona sendiri diisi oleh empat sisi: prestasi, kontroversi, imajinasi, dan empati.
Capaian puncak pesepakbola secara individu memang menjadi pemain terbaik dunia, namun kurang punya makna bila belum mampu mengantarkan negaranya merengkuh Piala Dunia. Banyak pemain raksasa yang memperoleh deretan gelar sebagai pemain hebat dunia, tapi gagal memimpin negaranya mengangkat trofi Piala Dunia (termasuk Messi).
Maradona cuma segelintir pemain yang bisa mengakumulasi diri sebagai pemain sempurna: membawa klub menjadi jawara dan mewujudkan negaranya menjunjung tinggi patung Piala Dunia. Ia simbol prestasi.
Perjalanan karir dan hidupnya tidak pernah sepi dari berita. Di ruang publik ia menjadi sasaran empuk pemburu warta. Ucapannya ditunggu layaknya fatwa, bahkan ketika sudah pensiun dari arena bola. Ia masih diperebutkan klub dan beberapa negara sebagai pelatih, tapi ia sangat pemilih dalam soal ini.
Maradona kerap mengambil sikap berdasarkan suara hati ketimbang rayuan cek di laci. Gol “Tangan Tuhan” ke gawang Inggris menjadi kisah abadi yang selalu dibicarakan dan ditayangkan hingga kini. Dia juga tak ragu masuk ke ranah politik atau diskursus publik. Salah satu yang dengan tegas ia katakan: “I hate everything that comes from the US. I hate it with all my strength.” Ia bunyi kontroversi.
Ia lahir dari negara bola dan tumbuh di klub-klub raksasa. Sekujur waktunya dihabiskan untuk sepak bola: tidak pernah jauh dari tempik sorak dan tragedi bola. Selalu saja yang ia produksi adalah hal terbaik. Negara dan klub dibawa ke langit.
Kisah hidupnya juga elan perlawanan. Dia tak ingin menjadi bagian dari kemapanan. Hidup yang dipertaruhkan adalah hayat yang dimenangkan. Ia putuskan bergabung dan berjuang di klub yang tak ada dalam peta bola masa itu: Napoli. Klub Italia yang berasal dari selatan itu selalu terpuruk peringkatnya karena dilindas klub-klub kaya dari wilayah utara. Maradona mengubahnya, Napoli meraih mahkota: melumpuhkan kepongahan klub utara. Ia sumber imajinasi.
Dua kisah di Napoli menunjukkan sisi hidup Maradona yang melegenda. Pertama, saat ia hijrah dari Barcelona, rakyat Napoli rela iuran membayar biaya transfer paling mahal saat itu. Sampai sekarang belum pernah terulang pengalaman tersebut: rakyat suatu wilayah ikhlas melakukan segala hal untuk memilikinya. Ia adalah simbol gerakan atas nama kecintaan.
Kedua, Maradona ringan saja melakukan pertandingan amal dengan klub amatir di lapangan becek demi biaya operasi 6 anak miskin di kampung kumuh Italia. Manajemen Napoli melarangnya bertanding (khawatir dirinya cedera), namun api kemanusiaan tetap menggerakkan Maradona bertanding. Keteguhan hati melampaui kecemasan luka kaki. Ia kisah empati.
Maradona ditabalkan sebagai nama stadion Napoli tak lama setelah wafatnya (25 November 2020). Ia sudah menjelma menjadi seperti “nabi” bagi warga Napoli. Hanya beberapa nama pesepakbola di jagad ini yang dipakai sebagai identitas stadion sepak bola sebagai tanda penghormatan, salah satunya adalah Johan Cruyff (Amsterdam Arena).
Cruyff adalah legenda Belanda, meskipun juga tidak pernah membawa negaranya mencium trofi Piala Dunia. Jadi, dalam soal ini lawan Messi tinggal Maradona dan Pele (Brazil). Tahun depan mungkin kesempatan terakhir bagi Messi menyamai Maradona. Barangkali pula, Maradona mendoakan Messi dari dalam kubur.
Kembali ke Maradona, pada ujungnya ia menikmati kemasyhuran. Status itu memang layak dia sandang. Satu hal yang paling ia benci ialah apabila dibandingkan dengan Pele. Baginya, ia tetap yang terbaik (seperti yang dikatakan Ibunya).
Instagramnya yang saya ikuti menggambarkan hidup Maradona yang bersih dan bahagia di tepi hayat. Tiap hari adalah paras cinta dan ceria. Publik terpukau dengan keseluruhan piala Maradona. Namun, banyak yang tak mengira, uang dan segala gelar bukanlah yang utama baginya.
Ia (dan sepertinya juga Messi) lebih memilih keluarga sebagai sumber hidup sejati dan gembira. “My legitimate kids are Dalma and Giannia. The rest are a product of my money and mistakes,” tukasnya.
Jenius tak pernah mati, ia abadi. Bahagia dan mulia, El Pibe de Oro.
*Ahmad Erani Yustika, penikmat sinema, arabica, dan bola.