Baliho tokoh pilitik yang makin menyesaki ruang publik.
Catatan ILHAM BINTANG
ADA dua golongan yang tidak boleh dipilih jadi pemimpin. Golongan pertama, orang “yang tidak mau”. Golongan kedua : “orang yang terlalu mau”. Kepemimpinan berdasar kearifan lokal masyarakat tradisional Bugis Makassar itu mewanti – wanti supaya berhati- hati mengenai dua golongan calon pemimpin tersebut.
Sederhana alasannya. Golongan yang tidak mau akan sulit dimintai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya. Kalau gagal atau hadapi masalah, mudah dia bela diri dengan mengatakan, “siapa yang suruh memilih saya. Sejak awal saya kan memang tidak mau”.
Yang terlalu mau ? Lebih sulit lagi. Dampaknya bisa fatal. Karena golongan ini niscaya hanya akan menjalankan agendanya sendiri dan agenda kelompoknya. Tidak konek dengan aspirasi seluruh masyarakat yang memilihnya.
Dalam sistem politik kita pasca reformasi, tampaknya kearifan lokal model itu sudah usang alias jadul, sudah dibuang ke tempat sampah. Digantikan oleh sistem demokrasi modern, “impor ” dari sistem demokrasi negara – negara maju di Barat. Pemilihan pemimpin langsung dari tingkat kepala desa sampai kepala negara, salah satu produknya.
Sistem ini juga sebenarnya meninggalkan sila keempat Pancasila, falsafah hidup kita, warisan Bung Karno. Sila keempat jelas mengamanatkan azas ” kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan permusyawaratan/ perwakilan”. Azas ini hanya berlaku setengah abad dalam priode kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Sistem demokrasi kita kini didomimasi golongan “orang yang terlalu mau”.
Tak pelak kita pun menyaksikan kontestasi para calon golongan “orang yang terlalu mau” dalam pemllu bagai sebuah festival yang marak dengan berbagai wujud narasi di media massa, juga spanduk, baliho, dan billboard. Yang sarat janji dan bualan. Pameran pelbagai siyasah mutakhir gaya melow, victimisasi, sampai masuk gorong- gorong, mereka sajikan demi menggaet pendukung. Siyasah yang populer disebut sebagai pencitraan. Secara umum itulah sebenarnya siyasah narsisme.
Beberapa hari lalu dalam tulisan Lakon “Si Halu dan Si Narsis ” (5 Agustus), saya mengulas sedikit narsisme itu dalam skandal sumbangan 2 T.
Narsisme adalah budaya yang berkembang pesat di era digital. Budaya itu menonjolkan pola hidup individualisme dan rasa cinta terhadap diri sendiri secara berlebihan yang berkembang terus-menerus tanpa henti.
Narsisme ini mendapatkan wadah dalam Pemilu yang menjadi industri raksasa beromzet ratusan triliun rupiah. Yang melahirkan lembaga survey, tim sukses, relawan, buzzer, termasuk juga media pers yang ikut mendulang pundi-pundi di situ.
Drama pencitraan adalah produk kolaborasi para pencari rente itu untuk menciptakan tontonan dengan “dramaturgi” mengharu biru, seperti yang biasa kita saksikan dalam lakon teater maupun film.
Dramaturgi dicetuskan pertama kali oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul Presentation of Self in Everyday Life. Sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.
Dramaturgi, menurut literatur itu, dalam konsep Erving merupakan pendalaman dari konsep interaksi sosial, yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial masyarakat menuju era kontemporer.
Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi sosial dan fenomenologi.
Nilai apa yang bisa dipetik masyarakat dari para pemimpin bermodal pencitraan, yang mereka saja pun tahu itu cuma siyasah.
Sepekan ini itulah yang ramai digugat masyarakat di berbagai media. Rakyat seperti baru tersadar sehingga menyoal “festival” spanduk, baliho, dan billboard di banyak kota besar di Tanah Air. Baliho itu memasang wajah elit bangsa seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhono.
Publik menyoal karena momen “festival” itu berlangsung di tengah kondisi bangsa yang terpuruk pandemi Covid19.
Hampir 20 bulan sejak awal Maret 2020, pandemi telah meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan bangsa.
Sampai Senin (9 Agustus), pandemi telah menelan 108. 571 jiwa meregang nyawa — dari total yang terpapar 3.686.704 jiwa. Senin (9/8) malam, pemerintah mengumumkan kembali melanjutkan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM).
Tidak terhitung kerugian ekonomi yang dialami masyarakat. Rakyat di sejumlah daerah pun telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Menunggu uluran tangan pemerintah dan saudara sebangsa membantu keluar dari kesulitan hidup.
Di tengah setting penderitaan itu, wajar jika mereka menggugat elit-elit politik yang seperti kehilangan rasa empati
Topik itu diangkat oleh presenter Tysa Novenny Sariosa dalam program Kabar Petang TVOne, Senin (9/8) malam.
Menampilkan tiga pembicara. Yaitu : Kader PDI-Perjuangan, Arya Bima, dan kader Partai Golkar, Maman Abdurahman dan DR Burhanuddin Muchtadi.
Saya mengikuti acara itu sampai habis. Menyedihkan pembelaan kedua elit politik itu terhadap boss mereka masing- masing. Memang tidak ada pelanggaran hukum pada pemasangan spanduk itu. Namun, dalam kehidupan berbangsa, hukum bukan satu-satunya pedoman bermasyarakat. Ada sistem nilai seperti etik dan moral yang juga penting dipatuhi. Arya Bima membeberkan, setiap hari partainya, katanya, sudah menyalurkan bantuan untuk rakyat yang terpapar. Namun, rasanya bantuan sebesar apapun tidak semestinya dijadikan paspor untuk melukai perasaan warga yang berduka. Sistem nilai masyarakat kita menganut paham “ketika tangan memberi tangan kiri pun tidak perlu tahu”.
Maman dari Partai Golkar lebih parah lagi. Dia bilang, pemasangan baliho Airlangga Hartarto ” junjungannya” di Partai Golkar, adalah program lama. Sebuah pengakuan, partainya kurang memiliki sensitifitas. Mungkin Maman tidak tahu, jutaan rakyat sudah lebih setahun tidak sholat berjamaah di masjid — padahal itu menjadi kewajibannya dalam beragama.
Sedangkan, Burhan Muchtadi, seperti biasa, mengambil jalan tengah. “Justru rakyat diuntungkan, pada saat kampaye pemilu nanti tinggal tagih janji- janji politik para elit itu. Burhan lupa, berapa banyak sudah janji kampanye para pemimpin itu tidak direalisasi, dan rakyat tidak tahu bagaimana ” menghukum” pemimpin yang ingkar janji itu.
Begitulah narsisme bekerja. Apa itu narsisme? Sebenarnya hanya ada dalam mitologi Yunani 800-900 SM. Tentang pemuda bernama Narcissus yang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Setiap harinya hanyw berkaca menatap wajahnya di air kolam atau danau yang menjadi medianya. Seharian hanya memuji dan mengagungkan dirinya sendiri. Sampai akhirnya mati tercebur di kolamnya sendiri. ***