Oh Kesepian…..

Oleh EFFI S HIDAYAT

Apa yang paling menyeramkan di dunia ini? Iseng-iseng, dari sampel acak ragam usia, terlintas jawab yang tak terduga. Apalagi kalau bukan sebaris kata dari judul di atas.  Ya, KESEPIAN. 

Seorang teman bercerita harus meladeni ‘krang-kriiing  krang-kriing’ telepon dari tantenya yang mengaku kesepian butuh teman bicara. Padahal dia bukannya tidak punya keluarga. Ada enam anak dan seorang suami. Belum keluarga besar yang lumayan banyak jumlah anggotanya. 

Ada pula seorang lelaki yang lumayan jujur mengungkapkan perasaannya. “Saya paling takut kesepian,” katanya, ” rasanya mengerikan. Membayangkan saja, tak berani. “

Tak cuma usia senja dan dewasa, anak remaja pun bilang; nggak tahu mau ngapain. Nggak tau mau bikin apa. Nggak tau mau ke mana setelah lulus studi. Buntutnya dia mengaku, “Saya kesepian. I’m lonely. Saya berharap bisa bertemu dengan orang yang bisa mengusir kesepian saya. “

Seseorang yang bisa mengusir kesepian? Ini pula yang dikatakan perempuan jomblo berusia matang. “Saya kepingin banget menemukan seseorang yang bisa mengerti siapa saya sesungguhnya. Bersama-sama mengarungi hari-hari sehingga tidak lagi sepi…. “

Cukup. Sampai di sini saya tertegun. Lalu sedikit malu dan ragu melongok ke dalam diri sendiri. Apakah saya pun kesepian? Hmm, tentu saja. Saya pernah merasakan kesepian. 

Lha, kok, pernah sih? Berarti sekarang tidak lagi? Ho’oh. Karena kesepian tidaklah permanen, hanya dirasakan sementara dalam kondisi dan situasi tertentu. Seperti di masa pandemi ini misalnya, di mana orang tidak bisa ke mana-mana harus di rumah saja. Bisa jadi, semakin banyak orang yang merasakan kesepian. 

Tetapi sebaliknya, saya bisa saja berkata, “Saya pernah merasakan kesepian itu, tentu saja ada hari-hari hujan selain hari hangat sarat matahari. Tetapi di saat sekarang ini, tatkala saya mengetukkan jemari untuk mengetik, menulis, saya tidak merasa kesepian. “

Nah. Bagi sementara orang kesepian mungkin saja menetap, statis sifatnya. Terjadi begitu saja, keseharian demikian yang ia rasakan. Seperti tantenya teman saya, walau punya suami -anak enam, ndilalah kok, bisa kesepian? 

“Ya, karena tidak ada yang menyapa. Tak ada yang peduli terhadap saya. Suami biar duduk di samping, asyik nonton tivi sendiri. Apalagi anak punya kesibukan rumah-tangga masing-masing. Para cucu yang main ke rumah pun lebih doyan main gadget ketimbang ngobrol sama Omanya! “

Lalu, lelaki jujur itu pun berucap, “Saya memang memilih tidak menikah. Tetapi di usia lewat paruh baya ini, rasanya tidak enak juga hidup sendirian. Tak ada siapa pun di rumah, cuma ketemu… tembok! “

Sementara perempuan lajang yang kepingin mengakhiri kesendiriannya, saya sandingkan saja ya, dengan si remaja yang juga mengaku sunyi sepi sendiri. Toh, keduanya sama-sama ingin mendapatkan seseorang yang bisa mengusir kesepian mereka. Jujur, tiba-tiba kok, saya teringat lalat!  Bukankah sama-sama ingin diusir pergi? 

Ya, rupanya penyakit mental zaman sekarang  yang tak boleh dianggap remeh adalah kesepian. Jangan dikira dalam suasana ramai gemerlap di kota-kota besar  tak malang-melintang manusia-manusia kesepian yang bersembunyi di dalam cangkang dan topeng keseharian mereka. 

Justru di tengah hiruk-pikuk, rutinitas kesibukan orang-orang lalu-lalang menyeret beban kesepian. Padahal, paradoksnya fasilitas teknologi begitu canggih. Ada beragam medsos, dan lain sebagainya. Bukankah kita juga bukannya tidak punya keluarga: suami, istri, anak, cucu, cicit. Bagaimana bisa mengaku diterjang badai emosi jiwa yang bernama kesepian? 

Lagi-lagi saya meneropong diri sendiri. “Saya mencintai kesendirian! .” Akhirnya kalimat ini saya dapatkan. Walau aneh kedengarannya tapi memang itulah jawaban yang saya comot dari lubuk hati. 

Ya, ya, saya mencintai kesendirian sedemikian rupanya apa adanya. Paling tidak, dengan gagah berani lalu saya menandaskan, bahwa, “Saya emoh kesepian karena itu saya senantiasa mencari berbagai cara agar tidak menjadi kesepian. ” 

Paham maksud saya? Ih, kok, geleng kepala? Sederhananya begini, “Setiap orang pasti pernah merasakan kesepian entah dalam situasi dan kondisi apa pun. Banyak faktor dari luar memengaruhi seperti yang sedang dialami umat manusia saat ini. Pandemi membuat kita semua harus menjaga jarak. Bahkan, tersenyum harus dari balik masker. Boro-boro bergandengan tangan, cipika-cipiki memeluk. Demikianlah yang terjadi, mau tak mau harus kita alami. 

Namun tetap saja, satu hal yang tak boleh kita lupa; faktor dari dalam diri kita sendiri-lah yang paling utama untuk menentukan : bagaimana cara kita memerlakukan kesepian itu. Anggap ia sebagai kawan atau musuh?

Jika memutuskan berteman dengan kesepian, tentu tahu kiat paling andal untuk menerimanya. Membaca, nonton,berkebun, main dengan hewan peliharaan kesayangan, mendengar lagu, menyanyi, memasak makanan kesukaan, menjahit, merajut, atau menelepon teman dan sanak saudara yang luamaaa sudah tak ketemu dan dikunjungi. Semua kesibukan, syukur-syukur sih, “passion” yang kita lakoni itu bisa dikategorikan sebagai jurus penangkal kesepian. 

Karena sebaliknya, jika kau jadikan si Kesepian sebagai musuh niscaya ia akan semakin menggila menjadi-jadi. Merangkul, membelit, menyiksa…duh! Sesuatu yang kita tolak, bukankah akan membuat kita malah menjadi semakin terbenam dan tenggelam di dalamnya?

Ah, jangan mau! Jangan pernah dikalahkan oleh kesepian! Kita punya hak memilih sedari awal, bukan? Teman realita dan teman dunia maya tentu berbeda. Dari lima ribu kawan mayamu, paling cuma sepuluh yang berinteraksi denganmu. Dan, dari 10 orang teman yang memiliki hubungan itu, seberapa sih yang sungguh khusus mengusir kesepianmu? Even, suami, istri, orangtua, anak… keluarga sendiri? 

Itulah sebabnya menikmati kesendirian, berteman dengan kesendirian adalah cara paling manjur agar tidak pernah menjadi kesepian. Jadi, ciptakan saja yuk, sebuah “ruang” di hatimu sendiri. Ruang untuk tidak pernah menjadi kesepian walau sendirian! 

Dan, saya sangat percaya, Sang Maha senantiasa hadir di sana. Ngobrol-lah ngalor-ngidul bersama-Nya. Dijamin, DIA tidak akan pernah jemu bersama denganmu. Ia rela dan  mau sangat berbagi, mendengarkan keluh-kesah, apalagi sukacita kita. Asalkan tentu saja, kita pun rela membuka hati berserah, membiarkan-Nya datang mengetuk. Kehadiran yang sungguh setia akan membuat kesepianmu sirna. Yakinlah! 

Maka seperti Nenek bilang, “Berdamailah dahulu dengan diri sendiri, ya.” Tetap punya waktu berjumpa dengan Dia. Sesederhana apa pun, nikmati sungguh-sungguh. Syukuri sungguh-sungguh. Sehingga walau sepi senyap, tak merasa sendiri. Toh, saat lahir ke dunia dan tatkala tiba waktu berpulang ke haribaan-Nya kita hanya seorang diri, bukan? 

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang