Oleh DENNY JA
100 Kisah dari 100 Koran Yang Tak Terbit Lagi, 100 Tahun Lalu, dalam NFT
Pandemik di era 100 tahun lalu sungguh berbeda.
Dikisahkan: “Orang- orang mati di jalan hingga di kebun lada. Mereka panik. Tapi yang dituakan di masyarakat itu, merespon pandemik, dengan mengajak penduduk berdoa bersama dan meminta hujan turun.
Ini salah satu cerita dari ribuan kisah di berbagai pelosok Indonesia. Semua kisah terjadi sekitar seratus tahun lalu. Kisah itu direkam oleh 100 edisi koran, di era itu. Kini koran itu sudah lama tak terbit lagi.
Tak semua kita mengingat nama 9 koran ini. Semua berbahasa kuno. Itulah bahasa Indonesia 100 tahun lalu. Atau bahasa Belanda 100 tahun lalu.
Saya tak bisa membaca dari koran itu langsung. Kertasnya sudah sangat rapuh. Tapi seorang fotographer sudah memotret koleksi koran tua itu. Saya hanya membaca aneka kisah dari hasil jepretan koran yang diperbesar.
Nama 9 koran itu, antara lain: Bintang Timor, edisi tahun 1866. Sinar Terang, edisi tahun 1888, hingga De Preanger Bode, edisi 1899.
Kini 100 edisi dari 9 koran yang usianya 100 tahun sudah di-NFT- kan (Non- Fungible Token). Sebanyak 100 edisi koran menjadi serial 100 NFT.
Ini perpaduan kisah lama, 100 tahun lalu, dengan teknologi paling mutakhir (blockchain technology) menjadi NFT.
Hari senin, tanggal 12 November 1888.
Koran Sinar Terang, sekitar 133 tahun lalu, menulis
“Sudah sebulan lamanya daerah dagang yang ramai di pesisir Kota Teluk Betung dilanda wabah cacar hebat. “
“Orang-orang mati di jalanan hingga di kebun lada. Wabah itu memang mereda dan menghilang. “
“Namun, kolera malah gantian mewabah dengan cepat ke kampung-kampung.”
“Dalam 15 hari, 98 orang terjangkit kolera dan 43 orang meninggal karenanya. “
“Orang-orang berdoa kepada Allah meminta keselamatan dan turun hujan karena sudah lama hujan tak turun. “
“Setelah mendapat laporan situasi tersebut dari seorang controleur, pemerintah setempat membagikan obat untuk masyarakat, sekaligus menghimbau mereka untuk membersihkan dan menjaga lingkungannya.”
Dari 98 orang terjangkit kolera, sekitar 50 persennya (43 orang) mati.
Alangkah tinggi prosentase kematian. Dari 98 orang terjangkit kolera, sekitar 50 persennya (43 orang) mati. Apa yang dapat pemerintah lakukan?
Saat itu belum ada vaksin. Belum dikenal Working From Home. Belum tahu soal social distancing.
Pemerintah hanya meminta mereka membersihkan lingkungan dan membagikan obat.
Sementara masyarakat hanya berdoa, dan meminta hujan turun.
Seperti itulah rekaman suasana di Indonesia, di Kota Teluk Betung, Bandar Lampung, 133 tahun lalu.
Selasa, 1 Maret 1904
Koran Bintang Betawi, yang terbit 117 tahun lalu melaporkan.
“Gubernur Jenderal Rooseboom dan Kepala Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Kerajinan Mr. Abendanon bertindak. “
“Ia memerintahkan kepada semua Bupati di Pulau Jawa dan Madura untuk membangun sekolah bagi anak-anak negeri (Pribumi), Indonesia, di masing-masing wilayah wewenangnya.”
“Meski begitu, jumlah siswa yang diperbolehkan belajar di tiap-tiap sekolah, di luar kalangan priyayi dan bangsawan masih dibatasi.”
Ini suasana tahun 1904, 41 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dan 24 tahun sebelum 1928, tahun munculnya kesadaran nasional “Satu Indonesia.”
Pihak penjajah, Belanda, justru memulai pendidikan untuk kaum pribumi. Yang diutamakan hanya keluarga elit saja. Di luar keluar elit, jumlah siswa dibatasi.
Ini awal tradisi pendidikan di mulai di wilayah kolonial. Rakyat banyak tidak diprioritaskan.
Pendidikan yang meluas untuk rakyat banyak akhirnya hanya meluas ketika Indonesia merdeka.
Tanggal 20 November 1921
Koran Tjaja Soematra 100 tahun lalu memberitakan.
“Semua Perserikatan Boemiputera di Tapanuli dan Sumatra Barat menghelat pertemuan/musyawarah besar di Sibolga.”
“Substansi pertemuan tersebut untuk memperkuat semangat persatuan di Sumatra untuk melepaskan diri sebagai ‘bangsa yang ditaklukan atau dijajah.”
“Lalu bersama bangkit menjadi bangsa dan manusia yang merdeka.”
Ini peristiwa tahun 1921, 24 tahun sebelum Indonesia merdeka. Ini terjadi 4 tahun sebelum 1928, tahun kebangkitan Satu Indonesia.
Bahkan kesadaran untuk bangkit melawan penjajah, untuk Indonesia merdeka, akar nasionalisme sudah tumbuh jauh di pelosok, di luar kota Jakarta, yang kelak akan menjadi pusat Ibu Kota.
100 Edisi Koran
Inilah contoh berita dari tiga koran: Sinar Terang, Bintang Betawi, dan Tjaja Soematra. Ketiga koran ini sudah lama tak terbit lagi.
Saya kini memiliki 100 edisi koran sejenis, original copies, dari 9 perusahaan koran.
Seorang sejarahwan, JJ Rizal, membantu melacak asal usul 9 koran itu. Kapan masing masing koran itu terbit pertama kali. Siapa penerbitnya. Kapan koran itu tutup dan mengapa. Peristiwa penting apa yang terjadi tentang masing masing koran.
Dari penelusuran sejarah JJ Rizal, dan studi penulis oleh Irsyad Mohammad, diketahui banyak penulis hebat Indonesia dan Belanda menjadi penulis atau redaktur di salah satu koran itu.
Ada Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Ia kini dikenal sebagai bapak jurnalisme Indonesia. Ia menulis di koran Pembrita Betawi dan Bintang Betawi
Ada pula Abdul Muis (1886-1959). Ia jurnalis, sastrawan, dan juga politikus Indonesia di masa pergerakan. Ia pengurus inti Syarikat Islam. Kini Abdul Muis menjadi pahlawan nasional. Ia banyak menulis di koran De Preanger Bode.
Pernah mendengar G.P.W. Francis? Ia penulis Njai Dasima (1896). Ini kisah terkenal seorang gadis pribumi cantik yang menjadi simpanan seorang pejabat Belanda yang dekat dengan Gubernur Jenderal Raffles. Francis menulis dan pimpinan di koran Bintang Betawi.
Tercatat pula Jan Fabricius (1871-1964). Ia banyak menulis skenario teater. Skenarionya sangat sering dipentaskan dalam gedung teater terkemuka di Rotterdam. Ia menulis di koran De Preanger Bode. Kini kantor koran itu jadi kantor Pikiran Rakyat.
Pernah mendengar Lie Kim Hok (1853- 1912)? Ia dianggap sebagai peletak utama sastra melayu dengan nuansa Cina. Ia acap menulis di koran Pembrita Betawi
9 Koran Lainnya
1. Bintang Betawi, 32 Edisi, terbit antara tanggal 1 Maret 1904- 1 Juni 1904. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1909.
2. Bintang Timor, 10 edisi, terbit antara tanggal 1 Maret 1866- 5 Mei 1866. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1887.
3. Pembrita Betawi, 4 edisi, terbit antara tanggal 13 Oktober 1892- 15 Oktober 1892. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1916.
4. Sinar Matahari, 1 edisi, terbit tanggal 1 Mei 1914. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1919.
5. Sinar Terang, 34 edisi, terbit antara tanggal 18 Oktober 1888 hingga 27 November 1888. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1898.
6. Tjaja Soematra, 7 edisi, terbit antara tanggal 3 November 1921- 15 Desember 1921. Bahasa Indonesia kuno. Terakhir terbit tahun 1933.
7. De Sumatra Post, 1 edisi, terbit tanggal 13 Juli 1907. Bahasa Belanda Kuno. Terakhir terbit tahun 1950.
8. De Preanger Bode, 4 edisi, terbit antara tanggal 12 Juli 1899 – 21 Juli 1899. Bahasa Belanda kuno. Terakhir terbit tahun 1957.
9. Mataram, 7 edisi, terbit antara tanggal 21 maret 1892 – 26 Januari 1893. Terakhir terbit tahun 1942.
Total 100 edisi koran. Saya menyimpan edisi printnya. Sangat hati- hati saya menyentuh koleksi koran ini. Kertasnya sudah sangat rapuh.
100 Koran Menjadi 100 NFT
Sebanyak 100 edisi koran di atas, kisah di Indonesia dan dunia sekitar 100 tahun lalu, koran yang sudah lama berhenti terbit, kini dibuatkan serial 100 NFT.
Apa itu NFT? NFT singkatan dari Non Fungible Token. Ia teknologi mutakhir yang menggunakan blockchain technology. Teknologi yang sama berhasil menciptakan uang crypto yang akan merevolusi dunia keuangan.
Melalui NFT, semua karya digital dapat diproteksi. Teknologi crypto mampu membuat karya digital dimiliki secara individual. Karena itu karya digital kini bisa dikomersialkan, diperdagangkan.
Dunia NFT akan merevolusi seni rupa. Di era digital, NFT memberikan enerji baru penciptaan karya seni.
100 koran kuno ini, dari 100 tahun lalu, juga diubah menjadi karya NFT.
Setiap NFT terdiri dari 1 edisi koran, dan sudah dipilihkan ringkasan berita yang historis atau unik dalam edisi itu.
Ringkasan berita dituliskan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.
Tiga kekuatan dari koleksi serial 100 NFT edisi koran dan 100 kopi orisinal edisi koran ini.
Pertama: Ia gabungan serial NFT dan kopi orsinal koran yang usianya sudah 100 tahun. Tak hanya ia dalam bentuk NFT yang sedang trend di masa kini. Ia juga berbentuk kopi asli koran, yang kertasnya sudah rapuh.
Bentuk NFT dan koran asli berada dalam satu paket.
Kedua: di NFT setiap edisi koran sudah dipilihkan satu berita yang historis atau unik.
Ada ringkasan 100 kisah tentang masyarakat 100 tahun lalu, langsung dari koran yang terbit saat itu.
Ini juga menjadi dokumen sejarah yang tinggi nilainya. Terutama ia benilai bagi mereka yang menyukai studi Indonesia, ataupun studi kolonialisme, dan peristiwa budaya lama.
Ketiga, serial koran ini dalam bentuk NFT dan orsinal kopinya adalah yang pertama di dunia. Kini serial NFT dan koran aslinya dimiliki oleh Studio NFT Denny JA.
Karya NFT Studio Denny JA ikut mempelopori nilai komersial NFT di Indonesia. Lukisan NFT studio ini laku dilelang sekitar satu milyar rupiah (70.000 USD) di bulan April 2021. (1)
Juga tweet yang diproduksi Studio Denny JA, laku 100 juta rupiah (7000 USD) di bulan yang sama: April 2021. (2)
Produk dari Studio Denny JA itu laku dilelang digital Opensea, untuk lukisan. Dan laku di lelang khusus twitter untuk NFT tweet.
Serial NFT 100 edisi koran menjadi karya NFT ketiga dari Studi Denny JA. Serial 100 NFT + orsinal kopi 100 korannya diniatkan di balai lelang Christie.
Victor Hugo menyatakan: “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan yang waktunya telah tiba.”
Gagasan NFT dengan blockchain technology memang waktunya telah datang.***
September 2021
CATATAN
1). Lukisan NFT Studio Denny JA laku 1 Milyar rupiah di balai lelang dunia opensea, melalui nilai ETH saat itu, April 2021.
2). Tweet Denny JA laku 100 juta di balai lelang dunia khusus twitter, April 2021