Menurut Susi, total anggaran perjalanan dinas di kementrian dan lembaga (K/L) sangat besar, sangat boros dan tidak efektif. Juga anggaran studi banding, sosialisasi, FGD (focus Group Discusion), seminar dan sejenisnya, yang berlangsung di hotel berbintang dan totalnya sangat besar, menyedot banyak uang negara dan tidak tepat sasaran, dirasakan oleh rakyat.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
TERINGAT saya pada obrolan serius dan mendalam dengan Susi Pudjiastuti di rumahnya di daerah Pangandaran, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Kami, para jurnalis Kandang Ayam – Rawa Mangun, Jakarta Timur, berandai andai bila Susi Pudjiastuti terpilih sebagai nomor satu di republik, apa hal pertama yang dilakukan ? Menteri Kelautan dan Perikanan dari Kabinet Kerja (2014-2019) ini menjawab, akan memotong anggaran perjalanan dinas dan menghapus segalam macam seminar, diskusi, sosialisasi, studi banding, rapat pemantapan ini itu.
Menurut Susi, total anggaran perjalanan dinas di kementrian dan lembaga (K/L) sangat besar, sangat boros dan tidak efektif. Juga anggaran studi banding, sosialisasi, FGD (focus Group Discusion), seminar dan sejenisnya, yang berlangsung di hotel berbintang dan totalnya sangat besar, menyedot banyak uang negara dan tidak tepat sasaran, dirasakan oleh rakyat.
Susi yang juga pengusaha hasil laut maskapai penerbangan, demi efisiensi, dia terobsesi memotong jumlah kementrian menjadi 20-an saja. Juga mengurangi jumlah PNS separuhnya di semua kementrian dan lembaga negara, menawarkan pensiun dini kepada pegawai tidak cakap, out of date, mengganti dengan lulusan universitas terbaru (fresh graduate) yang kompeten sesuai perkembangan zaman.
Golden Shakehand – pensiun dini dengan pesangon – yang memakan biaya besar pada awalnya, segera memberikan efisiensi dan pengematan di tahun tahun berikutnya.
Selanjutnya, negara akan mendapatkan tenaga kompeten, tepat guna, profesional, bukan pegawai titipan parpol, produk KKN, hasil nyogok, korup, nunggu pensiunan dengan segala tunjangan yang membebani negara, seperti yang bersarang di kantor kantor pemerintah pusat dan daerah sekarang ini.
KECEMASAN dan obsesi Susi Pudjiastuti menemukan contoh aktualnya dan sedang heboh kini, dimana ramai diberitakan, trilunan uang negara habis terserap untuk perjalanan dinas dan studi banding. Notabene foya foya ala pejabat dan ASN .
Lebih celaka lagi, anggaran dinas yang disedot itu ditujukan untuk pembrantasan kemiskinan.
Tak kurang Menteri Pendayagunaan dan Reformasi Birokrasi, Azwar Anas sendiri yang menyentil penggunaan anggaran kemiskinan di Kementerian/Lembaga. Menurutnya anggaran tersebut hampir Rp 500 triliun, namun penggunaannya tidak sejalan dengan target Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Hampir Rp 500 triliun anggaran kita untuk anggaran kemiskinan yang tersebar di kementerian dan lembaga (KL), tapi tidak in line dengan target Pak Presiden karena, K/L sibuk dengan urusan masing-masing,” kata Anas, dalam acara Sosialisasi PermenPANRB No.1/2023, di Grand Sahid Raya, Jakarta Pusat, Jumat, 27 Januari 2023 lalu.
Tak pelak, kabar pemborosan anggaran hingga triliunan itu menimbulkan kehebohan. Menpan yang juga politisi PDIP itu merasa perlu memberi klarifikasi terkait hebohnya kabar tersebut.
Dia menjelaskan, anggaran terkait kemiskinan tersebar di 17 kementerian/lembaga sebesar Rp431 Triliun. Namun, jika ditambah dengan anggaran di TNP2K serta pemerintah daerah, berdasarkan data dari kementerian keuangan itu totalnya menjadi Rp526 Triliun.
Karena itu, Azwar berharap tata kelola anggaran kemiskinan tersebut bisa efisien agar terserap lebih banyak untuk program penurunan dibandingkan sosialisasi.
“Tolong jangan sampai teman-teman di daerah programnya menangani stunting tapi sosialisasi stunting dan gizinya lebih tinggi dibanding pembelian protein untuk mereka yang bayi di bawah 2 tahun dan ibu hamil,” kata Azwar.
Politikus PDIP ini juga mendorong agar kegiatan sosialisasi bisa dilakukan secara daring (online) agar lebih efisien. Hal ini juga dapat mengurangi biaya perjalanan dinas pemerintah daerah.
Sehingga, tidak harus sering-sering ke Jakarta, . Jelaskan program-programnya dengan zoom karena kalau dari daerah harus ke Jakarta setiap konsultasi urusan tertentu ini pasti perjalanan dinasnya akan mahal, ujarnya.
KEJAHATAN KORUPSI di Indonesia sudah berurat berkar selama puluhan tahun, bahkan sejak sebelum negeri ini belum merdeka. Bapak Bangsa dan Proklamator Bung Hatta menyebut, korupsi sudah menjadi budaya.
Pemerintah Kolonial Belanda era Daendles menganggarkan dana untuk tenaga kerja dalam pembuatan Jalan Anyer – Panarukan. Namun dana itu tak sampai ke rakyat yang bekerja, karena dikorup oleh pejabat dan bupatinya.
Begawan Ekonomi Indonesia, Prof. Sumitro Joyohadikusumo, pada awal tahun 1980-an, menengarai 30 persen dana APBN dikorupsi.
Sedangkan putranya, Prabowo Subianto, saat kampanye pencapresan 2019 lalu menyatakan, ada dugaan penggelembungan anggaran (mark up) sejumlah proyek sehingga anggaran negara bocor. Perhitungan Prabowo, anggaran negara yang ‘bocor’ mencapai Rp 500 triliun. Dia menuturkan anggaran sebesar itu bisa membangun industri besar di Tanah Air.
Dalam obrolan dengan perwira menengah aktif yang di bidang pertahanan di lembaga pertahanan negara, beberapa waktu lalu, terungkap, meski teknologi drone dan intelejen sudah canggih dan maju pesat, menerbangkan drone dari kapal patroli, bisa mendapat gambar secara akurat, mutakhir, tokh angkatan laut tetap memberangkatkan kapal patroli keliling pulau.
Ketika ditanya, kenapa tidak menghemat anggaran dan mengoperasikan drone saja ? “Sayang kalau anggaran operasional tidak terpakai. Dengan menengoperasikan kapal ‘kan ada uang buat beli minyak, belanja personil, uang transport, dll, “ katanya.
Mentalitas maling, nguntit, nilep, ngrampok duit negara, dari APBN dan APBD, sudah membudaya di sebagian pegawai / aparat pemerintahan. Dan kini terkemas dalam sebutan canggih, bernama perjalanan dinas, sosialisasi, diskusi grup, pemantapan program, dll. Yang sebagian besarnya hanya menghambur hamburkan uang rakyat dan anggaran negara. ***