HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Akun sahabat Sari Astuti mengutip postingan di bawah ini ihwal perkawinan dini. Saya tertarik karena ungkapan seperti peternakan tradisional. Sebenar apakah ungkapan itu di mata medik, sosial, dan nasib bangsa?
Perkawinan dini itu seperti peternakan tradisional. Hasilnya buruk tak menguntungkan. Keterbelakangan itu seperti kultur birokrat. Boros biaya tanpa prestasi nyata.
Indonesia…..
Sedikit kemajuan
Segudang keterbelakangan
Hidup yang jumud adalah hidup tanpa kemampuan mengubah keadaan.
Orang-orang berilmu di kota tak meraih derajat kemuliaan karena tak sadar tanggungjawab sosial.
Itu kenyataan harus diterima sebagai pengakuan dosa. Dan bergeraklah seperti para sarjana yang bersedia melayani pendidikan anak desa.
CITA-CITA mulia perkawinan semata tetap demi melahirkan keturunan unggul atau eugenic. Untuk itu tidak mungkin ditempuh dengan keputusan sekejap, sejadinya, sebagaimana lazim berlangsung dalam tradisi ketemu pasangan di tegalan terbuka malam hari tertentu, sehabis panen tiba, di desa Indramayu, misalnya. Tidak pula sebatas karena ketemu di lingkungan pagar tetangga, atau hanya karena terpaksa tertangkap hansip di semak, atau gudang tua, kalau bukan menerima dicomblangi.
Perkawinan yang matang, yang memenuhi masuk akal psikologis, masuk akal pertimbangan lain, bahkan ada cinta saja pun masih perlu disangsikan. Tujuannya bukan sekadar kawin, bukan sekadar memenuhi kebiasaan dan tradisi belaka, melainkan melanjutkan ayat-ayat berbiak-biaklah.
Tapi dengan siapa, dan bagaimana memilih yang benar-benar tepat. Bagaimana mendapatkan Mr Right dan Miss Right? Untuk itu tidak boleh hanya berdiam diri. Harus aktif dan memilih keadaan, tidak tunduk pada keadaan, bukan hanya menerima keadaan, nrimo saja.
Oleh karena nasib perkawinan nantinya kita sendiri yang akan rasakan, kalau terpaksa harus berakhir tidak bisa langgeng, maka keputusan kawin harus matang. Ini bukan urusan orang lain, bukan juga menjadi nestapa orang lain kalau perkawinan berakhir kegagalan.
Menerima konsep bahwa perkawinan sebuah determenisme, sukar mengharapkan perkawinan yang matang, yang menuju sukses kelanggengan. Perkawinan yang dengan cinta kelotokan setengah mati, yang keputusannya ditimbang betul pun bisa retak juga, apalagi hanya baru ketemu langsung jadian, atau dipasangkan oleh pihak lain.
Orang bertanya kok orang dulu perkawinannya langgeng? Belum tentu begitu. Kalau dilakukan studi, saya yakin dalam hati mereka berbicara lain. Hampir pasti tidak semua yang kelihatannya langgeng, betul merasakan bisa terus bertahan melakoninya begitu. Sangat boleh jadi cuma dilanggeng-langgengkan demi nama baik keluarga, dan tatat di mata Agama, dengan penderitaan. Di hati kecil mereka mungkin bukan itu yang diharapkannya. Kalangan generasi yang lebih muda tentulebih pragmatis realistis, kalau perkawinan mereka tidak cocok, mereka injak bumi saja, karena banyak alasan perkawinan terbelah lebih karena ketidakcocokan.
Perkawinan muda seturut teori, hampir pasti diputuskan secara tidak, atau kurang matang. Semata mengiukti kemauan orangtua, karena tradisi, atau entah apalah pertimbangan lain yang tidak mendukung perkawinan yang diprediksi bakal langgeng. Kawin cerai dalam tradisi kawin muda, bukan hal yang tabu, bahkan ada pula yang diharapkan. Maaf, tradisi sebagian masyarakat di pantura Jawa, misalnya, banyak masih belia sudah menjanda. Janda lebih bernilai dari gadis. Baru kawin sebulan sudah ditinggal suami merantau, lalu menjanda, dan menjanda lagi. Makin sering menjanda semakin dicari lelaki. Kehidupan semacam ini yang mungkin terkesan bagaikan peternakan.
Di kalangan strata atas, kawin muda lebih sebagai pandangan keluarga. Laurel-Atta Halilintar konon cepat menikah dan dinikahkan konon menganut konsep kawin muda.
Tidak semua kawin muda gagal. Tergantung seberapa matang proses intimacy, masa pacaran, apakah lebih banyak diisi oleh saling mengenal, saling mendalami, dan bukan cuma seks belaka. Bila kawin muda dengan RAQ (romantic attraction questions) skor tinggi, secara matematis dinilai sukses hingga kaken-ninen.
Jadi kalau rata-rata perkawinan muda dipandang asal kawin saja, bukan ada sesuatu yang mulia, dan luhur, ini yang hemat kita bisa dibilang seperti peternakan. Banyak tradisi di dunia memilih pasangan diputuskan dalam sesaat saja. Kawin tanpa pacaran (baca: intimacy), tanpa saling mencocokkan kepribadian, dan sifat tabiat. Bolehkah pasangan yang langsung tubruk demikian boleh kita pastikan mereka tentu berbahagia?
Perkawinan juga jalan menuju kebahagiaan. Dulu saya pernah didatangi pasien ibu sudah bercucu mengeluh tidak merasa cocok lagi dengan suaminya setelah menikah berpuluhan tahun. Sudah beberapa tahun suaminya stroke. Maaf, dalam pengakuannya, selama itu ia tak menemukan kepuasan seksual dalam perkawinannya. Ia belum pernah terpuaskan secara seksual. Setelah suaminya stroke, ia semakin merasa benci terhadap suaminya. Dan yang bikin ia semakin kecewa dan bersedih, karena dari pergaulan dengan sahabat lamanya, ia mendengar mereka para istri yang seksnya memuaskan. Dan kalau dia membohongi diri sendiri di hadapan mereka, karena merasa dirinya sendiri yang mengalaminya. Padahal hati kecilnya berkata lain. Suatu hari ia bertemu dengan pacar lamanya, lalu sampai ke ranjang, dan saat itu ibu yang sudah berumur 50 tahun ini untuk pertama kali menemukan kepuasan seksnya bersama pacar lamanya. Masalah yang ia hadapi, bagaimana seharusnya dia dalam konflik batin, antara apakah melanjutkan affair dengan pacar lamanya yang membuat dia happy, atau tetap dengan perasaan benci menghadapi suaminya. Ibu ini dari keluarga terpandang di kotanya.
Kita memahami kalau seks cuma sekerup kecil dalam mesin besar perkawinan, tapi bukan jarang masalah seks malah sering menjadi dalih untuk memutuskan bercerai. Bahwa betul juga tanpa cinta wanita sukar memetik keindahan seks. Untuk seks yang indah wanita perlu cinta. Namun bila diawali tanpa cinta, cinta bisa berkembang dengan semakin panjangnya perkawinan, learning by doing sex, katanya.
Kalau betul begitu, bagaimana perkawinan muda yang hampir pasti belum tentu ada cinta. Mungkin only for flirt saja. Padahal seks perkawinan bisa membosankan. Tanpa cinta perkawinan bisa lekas sepa, dan kering. Perkawinan yang indah butuh hal-hal besar lain.
Betapa rapuh perkawinan muda mau dilihat dari aspek apa saja pun. Jadi barangkali betul kalau perkawinan muda bagaikan peternakan belaka. Beternak keturunan yang secara medik belum tentu membuahkan anak yang unggul, karena secara biologis si ibu belum cukup matang, dan begitu juga secara kejiwaan, sehingga sikap pengasuhan kita ragukan bisa membesarkan anak yang betul unggul. Kita mendengar, di belakang anak sukses ada ibu yang hebat. Di belakang suami sukses ada istri yang hebat. Kalau umur belasan sudah kawin, bagaimana kemampuan biologis-psikologis seorang ibu, dan seorang istri, yang bukan terbilang hebat.
Rahim dinilai cukup matang di atas umur 20 tahun. Kejiwaan matang ditentukan pula oleh pendidikan, dan pengalaman bergaul, serta wawasan hidup. Makin cukup umur makin matang. Ibu Jepang, yang luas wawasan dan tinggi pendidikannya menjadi ikon, menjadi keteladanan ibu di dunia. Mereka yang akan melahirkan, dan menciptakan anak yang unggul. Anak yang tumbuhnya sempurna, dan berkembangnya mature.
Untuk menciptakan anak unggul tak cukup hanya kecukupan gizi, tapi sikap pengasuhan (nurture) juga diperlukan. Bagaimana supaya perkembangan psikoseksual anak semasa balita tidak cedera, sehingga kelak anak mengalami penyimpangan atau deviasi seksual. Bagaimana ibu mampu menciptakan anak dengan konsep tabula-rasa, anak bagaikan kertas putih yang belum digambar belum ditulis, dengan sikap mendidik dan membesarkan tangan ibu. Anak yang terbiasa dipukul ditampar akan menjadi anak yang sadis setelah dewasa, dan ini kelak mereka bukan anak unggul.
Saya membayangkan generasi yang lahir dari ibu-ibu yang kawin muda, yang kebanyakan dari strata bawah, yang akan mengisi generasi yang kurang unggul. Kita masih menyaksikan anak-anak yang tawuran, yang kriminal, yang nakal (deliquency), yang salah gaul, yang alih-alih menjadi patriot bangsa, malah sampah masyarakat kalau bukan toxic person, dan ini beban negara.
Keprihatinan saya itu yang sejak lebih 10 tahun lalu saya menyusun modul semiloka (seminar loka karya) “Sekolah Menjadi Ibu” yang sudah saya jalani ke lebih 11 kota. Para ibu muda dberikan penuntun bagaimana menjadi ibu yang unggul. Bagaimana memilih pasangan yang tepat, hamil yang sehat, persalinan yang aman, serta membesarkan anak agar menjadi generasi unggul. Tapi tangan saya hanya dua, mana mungkin memperkaya para ibu muda seluruh Nusantara kalau bukan menjadi gerakan nasional dari otoritas.
Perkawinan muda sesungguhnya harus menjadi keprihatinan bangsa, keprihatinan kita semua. Undang-undang yang melarang kawin muda saja belum cukup kalau nyatanya kejadian kawin muda masih bagian dari tradisi sebagian masyarakat kita. Kuncinya pemerataan pendidikan. Pendidikan yang mengajarkan generasi, bahwa kawin muda bukanlah pilihan kalau mau hari depan berbahagia.
Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL