Pesan Terakhir

Cerpen – Makam itu masih basah oleh hujan yang turun deras semalam. Bunga-bunga yang ditaburkan juga masih terlihat segar. Nisan yang terbuat dari kayu bertulis namanya belum luntur oleh waktu. Hamidah duduk tepekur memandang semuanya dengan pertanyaan yang tak terjawabkan, ia masih tidak percaya, benarkan ia sudah pergi dari dunia ini? Semalam, usai pemakaman, ia memandang baju suaminya yang baru disetrika, masih teringat ucapan sang suami tiga hari yang lalu, “Aku mau ke kampus Ummy, ada mahasiswa yang minta bimbingan tesis untuk S2nya. Kasihan jika tidak ke sana.”

Dia masih penuh semangat. Menulis satu buku dengan tema keTuhanan baru saja seminggu yang lalu selesai dibuatnya, dan penerbit sudah datang ke rumah sekaligus memberikan uang muka untuk buku itu. “Simpan baik-baik uang ini, nanti akan ada pesta di rumah. Kau butuh biaya yang tidak sedikit .”

Penyakit ginjal yang sudah diderita selama empat tahun dengan melakukan cuci darah dua kali seminggu, rupanya lebih berkuasa dari semangat untuk hidup yang ada di dirinya. Tiga hari setelahnya, di malam saat Hamidah usai meminumkan air putih yang sudah diukur olehnya, sang suami memegang dadanya. Kemudian menjerit tertahan dengan suara parau, lalu tangannya lemas, Hamidah yang memegang bahunya menjerit ketakutan. Ia memeluk sang suami. Namun, lelaki yang baru saja memasuki usia ke enam puluh dua tahun itu kemudian lunglai, nafasnya terhenti dan rohnya melenggang dengan sempurna ke luar dari bumi.
Tangis kembali pecah. Hamidah masih tetap tidak percaya kalau suaminya benar-benar telah pergi. Ia merasa separuh raganya ikut mengantar jasad sang suami tatkala lelaki yang menjadi teman diskusinya itu pergi dan tak akan pernah kembali. Malam ini, perempuan berusia lima puluh tahun itu duduk termenung memandang baju berlengan panjang milik sang suami yang tergantung di lemari gantungan. “Jam berapa Kakak pulang dari kampus?” tanyanya dengan suara lembut. “Jangan terlalu lama ya Kak, Kakak kemarin mengeluh seluruh tulang terasa linu. Jangan makan sembarangan, ingat Minggu lalu Kakak makan soto Betawi bersantan sedikit saja, tubuh Kakak sakit semua. Ingat ya, Kak…” katanya lagi.

Tak ada jawaban. Perempuan itu tersentak ketika cucunya berdiri mematung di sampingnya. “Nenek, kapan Kakek pulang? Kok perginya lama sekali?”

Luruh air matanya kembali membasahi pipi. Lalu ia memeluk sang cucu. “Tunggu sebentar, Leo bisa melepas kangen dengan melihat baju Kakek, Nenek pakai dulu, ya?”

Lelaki kecil berusia tujuh tahun itu menanti sang nenek memakai pakaian kakeknya. Ia seolah melihat wujud sang kakek tatkala baju itu usai dikenakan sang nenek. “Leo ingin tidur dipangkuan Nenek. Kakek nanti pasti datang di mimpi Leo,” kata lelaki kecil itu dengan keyakinan penuh bahwa kakeknya akan kembali.
Namun sang kakek tak pernah kembali. Leo menyingkap korden jendela, menunggu dan tetap menunggu. Sang nenek menatapnya dengan air mata mengambang di pipi. Ia pun sadar, meski masih merasakan bahwa sang suami sudah pergi untuk selamanya, suara batinnya selalu berkata, “kapan Kakak pulang ke rumah?” Suara itu hanya berupa dengungan selintas yang mematrikan ingatannya bahwa pertanyaan itu selalu diucapkannya kala suaminya masih ada.

Beberapa hari setelah itu, Hamidah kerap tersentak tatkala seseorang mulai mengatakan perihal statusnya yang baru. Ia mengeluh pada sahabatnya bahwa baru beberapa hari menjanda, predikat itu telah disematkan secara frontal padanya. “Aku sangat sedih, ketika mengurus Kartu Tanda Pendudukku, seorang petugas di kelurahan mengatakan statusku harus diubah, bukan lagi menikah tapi harus janda. Meski aku menyadari itu benar, namun sebutan janda bagiku sangat memedihkan. Suamiku masih tetap ada di ingatan dan kenanganku,” katanya.

Hamidah kemudian teringat pada pesan terakhir sang suami. Katanya kala itu, “Apabila aku tiada Ummy harus siap. Ini kartu untuk urusan pembayaran rekening listrik, urusan pajak rumah, urusan surat-surat perpanjangan pajak mobil, di sini letak surat-surat berharga termasuk sertifikat rumah, surat BPKB mobil dan motor, STNK mobil, surat asuransi kesehatan, surat slip gaji dari kampus tempat Papa mengajar, dan surat-surat penting lainnya, juga tempat alamat bengkel jika mobil atau motor rusak. Ummy harus hidup lebih irit, sebab Papa belum pensiun. Jika Papa tiada nanti, Ummy akan menerima pensiun seorang janda yang jumlahnya tidak terlalu besar. Hati-hati dengan jalan hidup yang Ummy lakoni kelak, sebab sebutan janda sungguh terlalu berat untuk dipikul.”

Perkataan suaminya benar. Tapi kesedihan itu masih tetap bertahan. Hamidah tetap merasakan bayang suaminya ada di setiap sudut rumah. Bau keringat dan bekas pakaian yang dipakainya meruar di mana-mana, ia seperti masih ada, berjalan mengamati apa saja yang Hamidah dan anak-anak serta cucunya lakukan. “Diempat puluh hari kematiannya, aku masih merasakan nafasnya berhembus di sampingku. Dan aku selalu berkata, Papa jangan lupa minum obatnya ya kalau Ummy sudah ketiduran.” Katanya.

Ketidakpercayaan sang suami telah tiada, juga dirasakan oleh anak-anak dan cucunya. Lelaki kecil berusia tujuh tahun, masih tetap mengamati kaca jendela, selalu menyingkap kordennya dan menatap di celah gerimis senja sembari berkata, “Mengapa Kakek belum juga pulang Nek, Leo takut Kakek kehujanan…” Maka sang nenek akan memeluk cucunya, mencium kepala bocah itu sembari menahan tangis yang akan jatuh ke pipinya.

Ketika sang anak perempuannya akan menikah, Hamidah berjalan sendirian di ruang sunyi seolah penuh sekat. Ia merasa letih karena kini harus sendirian mengatur semuanya. “Suamiku ayah yang penuh cinta. Aku tahu ia pecinta keluarga yang militan. Ketika tubuhnya masih sehat juga saat posisinya yang penuh prestise sebagai diplomat, ia selalu berkata bahwa semua yang ia lakoni hanya untuk keluarga. Komitmen itu juga ia ucapkan pada sang putra, ia mengingini di usianya yang kedua puluh empat, putranya segera menikah, punya anak lalu tumbuh bersama sang anak diusianya yang tidak terlalu tua. Ia sangat mencintai cucunya dan begitu sebaliknya.” Ucapnya dengan tatapan mata menerawang.

Di benaknya Hamidah merasakan semua kebahagiaan yang telah diberikan sang suami. Kesetiaan, perhatian dan jalur kehidupan sebagai seniman yang dipilih perempuan ini, menjadi kemerdekaan yang membuatnya bebas melangkah kemana pun ia pergi. Sang suami yang juga intelektual itu, ia rasakan telah melepaskan ego dan sisi posesifnya selama kurun waktu 30 tahun dari pernikahan mereka. Kata sang suami yang selalu diingatnya, “kemerdekaan untuk setiap manusia itu mutlak. Baik itu untuk seorang suami maupun istri. Namun kemerdekaan yang diterima harus disertai dengan pertanggungjawaban penuh untuk tidak melenceng dari komitmen awal pada sebuah sumpah setia pernikahan. Jika kemerdekaan itu melenceng dari sejatinya pola-pola komitmen yang pernah dikatakan dalam sebuah janji pernikahan, maka semuanya akan hancur, hati suami maupun istri hancur, kehidupan kejiwaan anak-anak akan hancur, dan rumahtangga yang tercipta porak-poranda. Itulah yang selalu diucapkannya dan aku mematuhi komitmen yang telah terucap dengan baik.” Ujar Hamidah.

Pesan terakhir tentang kehidupan di kemudian hari sebagai janda, itulah yang kini menjadi beban pemikiran Hamidah. Ia tak kuasa untuk menolaknya. Tapi itu memang telah terjadi. “Predikat janda yang kau sandang kelak bila aku tiada, tidak akan membawamu pada ruang keputusasaan yang fatal apabila kau menyikapinya dengan baik. Jika kau telah menjadi janda, jadilah janda terhormat di mata Tuhan, anak-anak dan cucu juga masyarakat,” kata suaminya.

Hamidah merenungi ucapan itu. sampai kini ketika ia dan sang cucu menyingkap korden jendela lalu melihat gerimis yang luruh, mereka berdua akan berkata, “Kakek, kapan Kakek pulang? Hati-hati Kek, jangan sampai terkena hujan, nanti Kakek sakit…”

(Untuk sahabatku Fatin Hamama Samad)

Oleh: Fanny Jonathan Poyk

Cerpen : Elegi untuk Intan Olivia

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis