REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Kadang dari mulut seorang anak kecil keluar pertanyaan besar. Seperti yang diajukan putriku berpuluh-puluh tahun yang lampau. Aku sedang menemaninya menggosok gigi ketika ia tiba-tiba bertanya, “Ma, untuk apa kita ada?”
Tentu aku kaget. Ini bukan pertanyaan biasa. Tapi aku harus menjawabnya. Tanpa ditunda. Maka aku menjawabnya sebaik mungkin, “Kau ada untuk menjadi anak yang baik bagi ayah dan ibumu.”
“Dan Mama, untuk menjadi ibu yang baik bagiku dan adikku.”
“Ya, betul.”
“Dan kita berempat, untuk saling menyayangi sampai akhir zaman!” ujarnya dengan teori ala Cinderella-nya.
Putriku, delapan tahun waktu itu, memang kadang-kadang ‘tua’. Lain kali ia seorang anak kecil biasa dengan keceriaan, keisengan, kenakalan, dan problem ecek-eceknya. Tapi pertanyaannya kali itu, walau sudah kujawab dengan cukup memuaskan, tetap tinggal dalam diriku dan membuat aku berpikir jauh.
Teringat aku akan diriku ketika seusianya. Waktu itu ada seorang pria Inggris yang pindah ke rumah kami karena rumahnya sendiri dimakan api. Mr Mann ini memberiku, saudara-saudaraku, sepupu-sepupuku, beberapa tetangga sebaya, kursus Inggris gratis. Suatu hari ia mendapat kiriman dari temannya di Amerika Serikat, dua untai kalung untuk aku dan kakakku. Di mataku itu adalah aksesori terindah yang pernah kulihat.
Aku bertanya padanya, “Mr. Mann, bagaimana kami membalas kebaikan temanmu itu?”
Ia menjawab tanpa berpikir lagi, “Kebaikan tidak usah dibalas, melainkan diteruskan kepada orang lain.”
Waktu itu aku belum begitu paham apa maksudnya. Tapi aku mengingatnya terus, sampai suatu ketika aku mendapat ‘Eureka moment’ yang membukakan pikiranku, khususnya tentang ayahku.
Ayahku seorang yang baik hati. Kalau ia tidak baik, mana mungkin ia mengajak Mr. Mann tinggal di rumah kami, yang sudah penuh sesak? Ada kami empat anak, dua tante dan satu sepupu, dan satu adik lelaki ayahku. Dengan adanya Mr. Mann, kamar depan yang memiliki akses ke luar, dikosongkan untuknya.
Lalu mulailah ada kelas-kelas Night School yang dikategorikannya sesuai usia. Selain pelajaran, ada juga sesi bercerita setiap malam Minggu. Ia juga memesankan buku dan melanggankan kami dua seri komik dari Inggris.
Pada Eureka moment itu tersadar aku, bahwa ia bukan membalas kebaikan ayahku, melainkan meneruskannya kepada murid-murid Night School tersebut. Mungkin aku yang terbanyak mereguk kebaikan hatinya itu, karena menerima bahasa asing dalam usia sangat muda untuk ukuran zaman itu. Dan konon, semakin muda usia seseorang, semakin mudah ia menerima bahasa kedua.
Ia meninggalkan kami ketika temannya dari Florida, Amerika Serikat, mengajaknya tinggal di sana. Night School pun bubar, tapi ayahku melanjutkannya khusus bagi kami, anak-anaknya. Sampai akhirnya aku masuk SMP dan mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Pria Inggris itu sudah lama meninggal, begitu pula ayahku. Tapi mereka, dengan cara masing-masing, telah menjawab pertanyaan ‘besar’ ini: untuk apa kita hidup. Sederhana saja, untuk berbuat baik dan meneruskan kebaikan kepada orang lain.






