Realitas Politik

ERIZELI JELY BANDARO

Indonesia itu mayoritas penduduknya adalah Islam. Dalam konstelasi politik nasional yang menentukan itu ada tiga yaitu Nasionalis, TNI dan Polri dan Islam. Takdir bangsa ini sejak berdiri ditentukan oleh tiga kekuatan itu. Semua pemain politik sangat sadar bahwa kalau mereka mau selamat memimpin maka tiga hal itu harus dijaga. Makanya jangan kaget kalau RUU Haluan Idiologi Pancasila kandas
di DPR, RUU kesamaan gender juga kandas. Karena 500 lebih anggota DPR tidak berani dan takut ketika MUI bersikap : no way.

Bahkan PDIP partai nasionalis , merasa lebih PeDe kalau Ma’ruf Amin sebagai wapres daripada Mahfud MD. Sebelumnya Periode pertama juga PDIP memasangkan JK yang ketua Dewan Masjid Indonesia dan anggota dewan Pakar NU sebagai Wapres mendampingi Jokowi. Pada periode pertama dan kedua, kemenangan Jokowi sangat tipis,dan bisa dibayangkan kalau PDIP tidak merangkul kekuatan kanan sabagai mitra koalisi. Itulah realitas politik di negeri ini.

Politik Islam

Dalam suasana demokrasi, pemimpin terpilih tidak bisa semudah itu bersikap terhadap kekuatan Islam informal. Kekuatan informal itu diam bukan berarti mereka lemah. Anda bisa bisa liat bagaimana kalau NU dan Muhammadiyah , MUI bersikap. Ahok yang begitu besar dukungan dan hebat prestasinya, jatuh. Bahkan setelah Anies berkuasa, tetap saja tidak ada yang gegabah menjadikan Anies pesakitan. Karena salah bersikap akan merugikan partai nasionalis dalam pemilu nanti. Itulah realitas politik.

Ketika presiden Perancis tidak menghukum tegas pihak yang melecehkan nabi Muhammad, Jokowi langsung bersikap keras. Engga ada urusan dengan poltik luar negeri demi menjaga suasana batin umat Islam. Bahkan Indonesia ambil bagian dalam proses perdamaian di Afganistan sehingga Taliban punya hak politik di meja perundingan. Anda bisa lihat pemerintah tidak bisa melarang kedatangan HRS ke Indonesia dan setelah itu proses peradilan HRS adalah juga proses poltik sebenarnya. Tanpa dukungan NU dan Muhammadiyah, proses peradilan sulit menjadikan HRS sebagai pesakitan.

Status Sosial dan Kekayaan

Nah yang jadi pertanyaan adalah mengapa rezim penguasa harus tersandera dengan kekuatan informal itu ? Karena poltik kita masih feodalistik. Belum berpolitik sebagai kekuatan moral atas nama keadilan dan kesejahteraan sosial. Buktinya rasio ginI sangat lebar. Politik masih berorientasi kepada status sosial dan kekayaan. Karena itu sulit untuk bisa mandiri lepas dari bayang bayang kekuatan primordial. Kita yang mendambakan kehidupan poltik seperti amanah Pancasila, ternyata Pancasila bukan idiologi tertutup tetapi terbuka… Itulah realitas poltik di negeri ini.

TULISAN MENARIK : Perubahan Politik Transgender di Swedia

Ketidakpedulian Organisasi Kepenulisan

Avatar photo

About Mas Soegeng

Wartawan, Penulis, Petani, Kurator Bisnis. Karya : Cinta Putih, Si Doel Anak Sekolahan, Kereta Api Melayani Pelanggan, Piala Mitra. Seorang Crypto Enthusiast yang banyak menulis, mengamati cryptocurrency, NFT dan Metaverse, selain seorang Trader.