Sebuah pesta pernikahan sejatinya adalah perhelatan yang sungguh-sungguh digelar secara personal dari hati tanpa intervensi apapun, termasuk intervensi dari keluarga besar. (Foto: CNBC Indonesia)
Jarang-jarang, bahkan dapat dikatakan hampir tidak pernah saya meresensi sebuah pesta pernikahan. Tetapi, pesta pernikahan yang saya hadiri Malam Minggu lalu,membuat tangan saya ‘gatal’ untuk ” tidak” tidak menulis. Lha, bingung dengan kalimat ini?
Haha saya sendiri bingung mengapa saya sampai repot-repot meresensi sebuah pesta, apalagi pesta pernikahan. Karena bukankah esensi sebuah pesta sama saja; merayakan dengan kemeriahan yang ”wew” (kalau enggan dikatakan “jor–jor-an”) dengan segala macam kemewahan yang terkadang bikin orang geleng kepala? Ya, apalagi kalau kita tahu pesta itu diselenggarakan oleh keluarga dari golongan kaum berada.
Nah, jujur itu juga persepsi saya ketika menghadiri pesta pernikahan yang berlangsung di sebuah hotel bintang empat di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Walau ya, sempat bertanya-tanya juga, sih, mengapa bukan hotel berbintang lima? Maklum, anak yang akan menikah, tentu akan jauh, jauhhh lebih mampu….
Namun, setelah masuk melangkahkan kaki ke sana, saya mulai paham. Berjalan dari lobby, menuju elevator dan berbaur dengan para tamu yang lain…. Penataan panggung berhiaskan bebungaan terbilang sederhana, termasuk kue pengantin yang terpajang di sana. Tidak tinggi menjulang dengan hiasan mewah! Warna putih, sedikit biru, cuma tiga tingkat pulak, sungguh minimalis di mata saya.
Begitupun tamu yang hadir, oh, iniiii mah keberagaman solidaritas yang di luar dugaan (karena saya tahu kedua pengantin merupakan golongan minoritas).
Tamu-tamu berhijab berseliweran. Bahkan, sepatu sneakers, kemeja yang tidak fashionable , saling padu padan dengan busana pesta yang keriyep–keriyep menyilaukan mata. Dan,efeknya? Ups, koksepasang mata di balik kacamata saya merasakan kehangatan,ya?
Di luar acara, pengantin dan keluarga yang muncul agak terlambat setelah para tamu menunggu (atau, mungkin ini termasuk kesengajaan acara? ) jangan harap lagu tenang a la “Ave Maria” atau musik wedding syahdu teng–teng–teng… . Dan, kedua pengantin yang muncul berbarengan bergandengan tangan seperti biasa kita jumpai, eh, ini mah… mereka berjalan santai dengan gaya masing-masing. Beneran mirip fesyen week, sang pengantin memegang bunga yang diacungkan ke atas dengan riang, boro-boro memegang takzim di bawah dada selaras perut. Lalu, kakinya menandak-nandak mengayun, menari-nari senyum sumringah.
Lha, kok bisa? Ya, bisalah! Wong busana pengantinnya sungguh simple. Cuma bustie sebatas dada tidak leyer–leyer puanjaaang yang membutuhkan pengapit membawakan buntut. Bahkan, penataan rambutnya yang sebahu juga senada. Jangan harap kau temukan mahkota bertakhtakan mutiara di balik veil alias cadar putih pengantin yang terbuat dari kain sutra. No way! Tidak ada selubung putih bak Putri Cinderella itu….
Bagaimana dengan pengantin prianya? Yo, sama ae’ . Tidak berjas hitam konvensional, tetapi ini warnanya cokelat muda. Atau, salem, mungkin? Lupa-lupa ingat saya, karena tidak terfokus kepada busana melainkan lebih kepada senyum di wajahnya dan kedua tangan yang dadah-dadah ceria melambai kepada para tamu ituu, lho.
Duh, saya mulai terkesan! Terlebih ketika Bapak Pendeta yang meresmikan acara sama sekali tidak khotbah berpanjang kata, luas kali lebar kali tinggi. Sudah dipesankan oleh pengantin, katanya di akhir doa, jujur.
Idih, bikin saya senyum. Ya, pemuka agama sebaiknya kudu jujur- lah, ya. Harus begitu. Lalu, ketika acara dimulai bukan pula pihak keluarga atau MC yang berkoar-koar menceritakan awal ikhwal pertemuan hati sepasang pengantin. Melainkan dua orang sahabat, satu kawan dekat pengantin pria, satunya lagi pengantin perempuan.
Begitulah, rasa haru biru, ikut bahagia membayangkan karakter sepasang pengantin yang diungkap teman perempuan. Mereka study di San Francisco, USA. Dan, teman lelaki yang pernah barengan kerja cuci piring selama kuliah di Beijing. Lagi–lagi, kok, saya melihat kejujuran para sahabatnya di sini. Nyelekit ledekan, tapi terselip juga rasa sayang. Ya, sahabat dekat tentulah orang yang paling tahu karakter kita, bukan?
Nah, selain pilihan makanan yang saya rasakan di lidah uwenaak (saya kesengsem salad dan dressingnya! Pingin nambah lagi tapi keburu habis, haha!), saya akhirnya menyimpulkan, bahwa pesta pernikahan yang saya hadiri kali ini adalah sungguh-sungguh pesta pernikahan “milik” kedua pasang suami isteri muda yang baru diresmikan itu. Yang lain- lainnya ngontrak. Karena pemberkatan pernikahan pun, simple di area swimming pool, bukan di hall gereja yang megah.
Peranan tetua tidak saya lihat di sini. Hingga saya pulang, memboyong suvenir yang juga terasa personal, berupa tas tangan, dan cookies kering bergula berlukiskan bunga dan gambar pengantin yang terkesan sama: minimalis, pun, saya masih bertanya-tanya; alangkah indah bisa mewujudkan kemandirian. Dan kehakikian sebuah esensi pernikahan; ini lho yang kami mau, eh, “saya mau.”
Ya, sebuah pesta yang terselenggara karena keinginan hati pengantinnya sendiri. Terlepas dari gengsi, atribut status keluarga, dan tentunya pernak-pernik segambreng kemewahan, kemeriahan tak perlu yang kerap cuma buang-buang duit semata. Apalagi bagi keluarga berada yang saya jelas paham akan sangat mampu, jauh lebih mampu menyelenggarakan sebuah perhelatan pernikahan bak cerita dongeng yang ending kisahnya kita belum tahu. Karena sebuah pernikahan itu sendiri,’kan, adalah sebuah perjalanan puanjaaang yang tidak main-main. Masih ada belokan, pengkolan, dan polisi tidur, bahkan jalan berbatu di sana-sini.
Jadi, jika saya mengulas resensi pesta pernikahan yang juga bukan selebritas walau lagi-lagi saya tekankan berasal dari keluarga mampu, hmmm… Kira-kira apa ya, pendapatmu, temans? Masihkah kau membayangkan sebuah pesta pernikahan yang melibatkan semua orang dengan relatif biaya yang wew, dan bikin orang melongo?
Wong, justru dengan kesimpelan yang saya saksikan di luar persepsi, justru saya melongo, lho. Sampai nekad berani menuliskan resensi sebuah pesta pernikahan. A la mak!
Betapapun, saya sungguh senang mendapati ada anak-anak muda milenial yang mampu mewujudkan segala mimpinya dengan kemandirian kasih tidak hanya sebatas karir, tetapi juga tatkala mereka memutuskan untuk menikah dan menggelar sebuah perhelatan yang sejatinya benar-benar style alias gaya mereka sendiri.
Terlepas saat ini pandemi, atau latar belakang kedua pengantin yang open minded karena mungkin menimba ilmu di luar negeri. Tetapi begitu jugalah yang saya yakini ; sebuah pesta pernikahan sejatinya adalah perhelatan yang sungguh-sungguh digelar secara personal dari hati tanpa intervensi apapun, termasuk intervensi dari keluarga besar.
@ctt19922, 10:19.
BACAAN LAIN