SEANDAINYA TIDAK ADA DIALOG

MENULIS ITU ASYIK (24): PENTINGNYA DIALOG

Oleh BELINDA GUNAWAN

“Semoga hari ini Yanti bisa membantu saya.” Kalimat ini muncul lagi dalam tayangan permohonan doa dari umat sebelum misa online dimulai. Dan itu sudah berlangsung setiap hari selama lebih dari satu bulan.

“Don, ada namaku lagi tuh. Pasti intensi dari Ibu,” kata perempuan itu pada suaminya.

“Ah, kamu ge-er saja. Belum tentu itu dari ibumu, lagipula bukan cuma kamu yang bernama Yanti.”

“Iya sih. Tapi aku kok kepikiran, ya? Apalagi cuma Ibu yang memanggilku Yanti.” 

“Memang namamu panjang banget. Aprilianti Gracia Natalia Somali. Aku memilih nama yang paling manis, Grace, karena mengandung arti berkah, rahmat, keanggunan, kecantikan hati.”

“Don… jangan menyimpang.  Feeling-ku kali ini serius. Ini ibuku, dan ia meminta aku datang!”

Bagaimana pendapatmu tentang dialog dalam (calon)  cerpenku ini?  Benarkah permohonan doa itu secara khusus ditujukan kepada Grace alias Yanti, dari ibunya? Konflik apa yang memisahkan mereka? Apa yang menyebabkan Yanti merasa terusik? Apa tindakannya selanjutnya?

Jika kamu penasaran, artinya dialog ini lumayan, dan ada gunanya aku melanjutkan cerpen ini.

Melanjutkan Plot

Dialog adalah percakapan antara dua atau lebih orang dalam suatu narasi. Sebagai teknik penulisan, dialog mempunyai beberapa fungsi dan tujuan.

Adanya dialog menunjukkan bahwa kisah ini “telling” bukan “showing” dan sebagaimana sering didengungkan, sebaiknya dalam menulis fiksi kita “show, not tell.”  Cerita yang “tell”, misalnya dongeng tradisional, efektif dilakukan di depan audiens yang hadir. 

Dalam cerita tertulis, dialog perlu ada. Tanpa dialog, cerita akan terasa hambar. Bahkan bisa pula mentok. Kenapa? Sebab salah satu tugas dialog adalah melanjutkan plot.  Contohnya dialog antara Yanti dan suaminya di atas. Dialog itu mengajak pembaca untuk ikut merasa penasaran, ingin tahu kenapa Yanti terpisah dari ibunya. Kemudian penulis memenuhi rasa ingin tahu itu.

Tapi tentu saja, meskipun tugasnya penting, dialog bukan “pemain tunggal”. Plot, karakter, deskripsi dan lain-lain punya tugas masing-masing. Namun  dialog punya kewajiban sendiri yang tidak bisa diabaikan.  Boleh dibilang dialog bagaikan katalis, ia membuat sesuatu terjadi. Akan terjadi sesuatu setelah adegan dialog itu. Misalnya, Yanti akan ngotot menemui ibunya. Ibunya bisa menerimanya dengan baik, atau sebaliknya. Atau, bisa juga Doni benar, Yanti dalam intensi misa itu bukan dia.

Jadi jelas, fungsi dialog adalah melanjutkan plot, membawa pembaca mendekat ke klimaks, teruuuus… sampai akhirnya tiba di akhir cerita.  

Fungsi Lain

Dialog juga memperlihatkan sifat para tokoh dalam cerita itu. Dengan adanya dialog  penulis dimudahkan untuk  mengungkapkan sifat dan sikap mereka, atau memberi info tentang latar belakang cerita.

Dialog bisa pula digunakan untuk menceritakan penampilan. Misalnya, Doni mengatakan kepada Yanti, “Kamu pantas pakai baju itu.” Yanti menjawab, “Iya, kata teman-temanku juga, warna merah bata membuat kulitku semakin cerah.” Terbayanglah oleh pembaca, bagaimana warna kulit Yanti.

Tidak bisa dimungkiri, dialog membuat cerita jadi seru. Ada adegan di mana para karakter salah paham, saling menyangkal atau menyerang, atau masing-masing  keukeuh mempertahankan pendapat sendiri. Lalu ada rasa lega, kalau salah paham itu akhirnya terurai.

Dengan begitu dialog, selain memberi info, juga  menjadi selingan yang menyenangkan bagi pembaca. Bayangkan jika pembaca  dijejali deskripsi terus-menerus atau penjelasan yang tak ada habis-habisnya. Tentunya ia akan capek bin bosan.

Tapi tentu saja dialog yang tak berkesudahan juga menjengkelkan. Jadi gunakan sesuai porsinya sajalah.

Tag Dialog

Tag dialog  (misal: katanya, ujarnya) penting keberadaannya agar pembaca tidak bingung bingung dan bertanya-tanya, “Ini siapa yang bicara?”  Sebaiknya jangan sampai pembaca harus membalik mundur halaman buku, mengulang baca, atau scroll up untuk mengetahuinya.  

Bahasa kita kaya, jadi tag perlu membatasi tag dengan “katanya”, “ujarnya”, “tanyanya”, Bisa juga kita gunakan  “tukasnya”, “protesnya”, “serunya”, asalkan… kata kerja, bukan kata lain. Jangan gunakan kata sifat (“terangnya”,  “jelasnya”) atau  kata benda (“batinnya”).  

Agar Wajar

Bagaimana caranya agar dialog  terkesan wajar dan bukan sekadar tempelan? Ada rahasianya, yaitu dengan memberi karakter kita “suara” atau  ciri  masing-masing─pilihan kata, gaya berbicara.

Gunakan juga kata-kata yang cocok dengan kalangan pembaca kita, juga genre tulisan. Ingat-ingat apakah cerita ini ditujukan kepada remaja, berjenis suspens, action, atau romantis? Pertanyakan, apakah mungkin  si A  yang sifatnya begini atau begitu mengucapkan kata-kata tertentu?   Wajarkah bila  seorang ibu yang lembut hati tiba-tiba mengucapkan kata  makian “bangsat”, misalnya?  

Satu lagi. Gunakan dialog untuk memberi info baru, bukan yang sudah diketahui pembaca.  Jangan biarkan karakter kita bicara panjang lebar tanpa interupsi dari lawan bicaranya.  Biarkan karaktermu saling berebut kata, saling membantah, bukan berkhotbah.

Bicara dalam Hati

Selain berbicara dengan pihak lain, karakter dalam cerita kita bisa juga berpikir atau berbicara dengan dirinya sendiri. Dialog di dalam hati ini berfungsi sama penting  dengan dialog yang diucapkan. Ia juga melanjutkan plot, mengungkapkan karakter, dan sebagainya. Agar jelas bagi pembaca, tulislah self talk ini dengan huruf cetak miring. Kecuali, kalau kita menulis dengan POV “aku”.

Jadi dialog itu…

  • penting dalam fiksi
  • melanjutkan plot
  • mengungkapkan banyak hal
  • harus “terdengar” wajar
  • bagi penulis: sarana untuk memberi berbagai info
  • bagi pembaca: selingan yang menyenangkan

Tanpa dialog besar kemungkinan cerpen kita akan ditinggalkan separuh jalan.  Oh, sedihnya…. (BG)

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.