Oleh RATIH POERADISASTRA
Pada zaman penjajahan Belanda jumlah dokter di Indonesia sangat sedikit. Itu pun semua dokternya berkebangsaan Belanda. Para dokter itu membutuhkan asisten sehingga didirikanlah dua sekolah pendidikan dokter pribumi di Jakarta dan Surabaya. Dokter Djawa School didirikan di Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto) Jakarta pada 1851. Kemudian didirikan NIAS (Nederlandch Indische Artsenschool) di Surabaya pada 1913.
Lulusan Sekolah Dokter Djawa menjadi mantri cacar atau pembantu dokter-dokter Belanda. Guru-guru di sekolah Dokter Jawa adalah para dokter di rumah sakit Weltevreden. Aktivitas pendidikan dan asrama Sekolah Dokter Jawa dirasakan menganggu kenyamanan Rumah Sakit sehingga perlu dipindah.
Gedung baru Sekolah Dokter Jawa dibangun oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa, Dokter HF Rool, pada 1899. Letaknya di samping rumah sakit itu. Pembangunan sempat terhenti karena kekurangan biaya. Berkat bantuan pengusaha perkebunan dari Deli, pembangunan dapat diselesaikan pada September 1901. Gedung baru itu dilengkapi asrama dan fasilitas yang dibutuhkan para penghuninya.
Gedung itu secara resmi digunakan pada 1 Maret 1902. Sistem pendidikan di Sekolah Dokter Djawa juga disempurnakan menjadi STOVIA (School ter Opleiding voor Indische Artsen) atau Sekolah Dokter Bumiputera dengan masa pendidikan sembilan tahun. Kurikulum STOVIA disesuaikan dengan School voor Officieren van Gezondeid di Utrech, sehingga lulusan STOVIA sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa.
Lulusan STOVIA mendapat gelar Inlandsch Arts atau dokter Bumiputra. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengobati berbagai penyakit menular. Dokter-dokter muda ini dibekali dengan tas kulit berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan ke lokasi tugas.
Salah satu lulusan STOVIA adalah dokter Wahidin Sudirohusodo yang mengadakan kampanye di kalangan priayi Jawa antara tahun 1906-1907. Tujuannya membentuk Dana Pelajar (Studiefonds) yang merupakan lembaga untuk membiayai pemuda-pemuda yang cerdas tetapi tidak mampu melanjutkan studi. Pada akhir tahun 1907 Dokter Wahidin bertemu dengan Sutomo, seorang pelajar dari STOVIA di Jakarta. Dari pertemuan itu Sutomo menceriterakan kepada teman-temannya di STOVIA maksud dan tujuan Dokter Wahidin. Ide itu mendapat sambutan hangat.
Para mahasiswa STOVIA di bawah pimpinan Soetomo berkumpul di ruang anatomi pada 20 Mei 1908 pukul 9 pagi. Mereka mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Pendirian Boedi Oetomo mendapat respon positif dari para pelajar STOVIA dan dari daerah lain. Cabang Boedi Oetomo berdiri di berbagai daerah. Tanggal 20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional.
Gedung STOVIA kini menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Alamat Museum Kebangkitan Nasional: Jalan Abdul Rahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat.