Ada proses panjang dalam “melahirkan” Indonesia dan kemudian tahapan “Menjadi Indonesia” setelah lahir tokoh-tokoh nasional berjiwa nasionalis dan tiada semangat sektarian di dalamnya. Adegan film Soegija karya film Garin Nugroho.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
ITULAH semboyan yang dikobarkan oleh Romo Albertus Soegijapranata dalam perjuangan kemerdekaan RI di Semarang, Jawa Tengah. Sepak terjangnya ikut memerdekakan RI diabadikan dalam film Soegija oleh Garin Nugroho 2012 lalu.
Film yang diangkat dari kisah nyata itu juga memaparkan sepak terjang kaum non muslim, kristen, katolik, hindu, budhis dan indo dalam kemerdekaan negeri ini. Mereka telah tercatat dalam sejarah.
Dalam tugasnya memimpin umat, Romo Soegija menghadapi berbagai tantangan. Selama periode pendudukan Jepang (1942-1945) banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Romo Soegija bisa lolos dari kejadian ini, dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Dukungan Mgr (monsignore) Soegijopranoto terhadap Republik Indonesia (RI) sangatlah jelas. Setelah ibukota RI pindah ke Yogyakarta dari Jakarta, Soegijo juga pindah ke Yogyakarta dari Semarang, sejak 13 Februari 1947.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegija ikut membantu menyelesaikan “Pertempuran Lima Hari”.
Semarang semakin rusuh dan pada tahun 1947 hingga Romo Soegija pindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegija berjuang mendapatkan pengakuan di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka.
Setelah erang melawan Jeoang dan belanda, masih dalam periode pasca-revolusi menulis dan membendung paham komunisme, mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik.
SEBELUM melesat nama Romo Albertus Soegijapranata (1896-1963), kita mengenal nama Agustinus Adi Soecipto (1916 – 1947), Ignatius Slamet Rijadi (1927 – 1950) dan Ignatius Joseph Kasimo (1900 – 1986) serta Franciscus Xaverius Seda (1926 – 2009). Mereka adalah orang orang Katolik yang berjuang merintis kemerdekaan dan membangun republik.
Agustinus Adisucipto, tokoh awal dalam Angkatan Udara, gugur di Bantul Yogya pada usia 31 tahun dalam perjuangan. Pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh Belanda ketika membawa keperluan medis dari Malaya dan jatuh di desa perbatasan desa Ngoto dan Wojo, Bantul. Namanya diabadikan sebagai bandar udara di Jogyakarta dan dinobatkan sebagai Bapak Penerbang Indonesia.
Ignatius Slamet Riyadi merupakan salah satu pemimpin pasukan yang ditugaskan untuk membasmi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di kawasan timur Indonesia.
Usianya masih sangat muda, 23 tahun, namun pemuda asal Solo ini sudah menempati posisi penting dalam misi bernama Operasi Senopati itu.
Setelah berkali-kali lolos dari rentetan tembakan lawan, dalam memimpin pasukan republik dia berhasil mendekati Benteng Victoria di Kota Ambon pada 4 November 1950. Namun, misi ini rupanya menjadi pengabdian terakhir Slamet Riyadi. Ia tertembak dan mengembuskan nafas penghabisan pada malam harinya.
Slamet Riyadi lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, Maluku, 4 November 1950 pada umur 23 tahun. Dia dinobatkan sebagai pahlawan dengan pangkat Brigadir Jenderal (Anumerta) .
Mr. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (lahir di Yogyakarta, Hindia Belanda, 10 April 1900 – meninggal di Jakarta, 1 Agustus 1986 pada umur 86 tahun) juga dikenangkan sebagai pelopor kemerdekaan Indonesia.
Pada 1930-an, I.J.Kasimo menjadi petugas penyuluh pertanian (Adjunct Landbouw Consulent) di Surakarta dan memperhatikan pertanian tebu. Selain dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan dia juga pejuang nasib petani tebu.
IJ Kasimo merupakan salah seorang pendiri Partai Katolik Indonesia. Beberapa kali ia menjabat sebagai Menteri setelah Indonesia merdeka. Ia jugalah yang memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu memakai “beginsel” atau prinsip yang harus dipegang teguh.
Pemimpin umum harian Kompas, Jakob Oetama, menyatakan, IJ Kasimo merupakan salahsatu tokoh yang menjunjung tinggi moto “salus populi supremalex” (kepentingan rakyat, hukum tertinggi), yang merupakan cermin etika berpolitik yang nyaris klasik dari jiwanya.
“Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia,” kata Romo Soegija. Kalimat itu belakangan jadi semboyan orang Katolik Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia.
Romo Soegija dikenal sebagai pastor yang memakai kebudayaan lokal Indonesia, khususnya Jawa, dalam membumikan Katolik di Indonesia. Dia membolehkan wayang dan juga gamelan dalam dakwah-dakwah katolik.
Pengangkatannya dianggap jalan aman agar agama Katolik yang sebelumnya banyak dipimpin oleh orang-orang Belanda atau Eropa lain itu tak dianggap agama orang Eropa, yang jadi musuh Asia Timur Raya.
Orang Katolik berbangsa Eropa pada tahun 1940 sebanyak 15.824 orang dan orang Katolik pribumi ditambah orang Cina berjumlah 25.278 orang,” catat sejarawan Anhar Gonggong (1993:36).
Banyak pemuda terpelajar Katolik yang bergabung dengan Republik, bahkan juga ada yang gugur untuk Republik Indonesia. Sebutlah Agustinus Adisucipto atau Ignatius Slamat Rijadi.
Berita sedih, tentang gugurnya Adisucipto ketika ikut pesawat pengangkut obat-obatan tertembak di Yogyakarta, sampai ke Soegija.
Menjadi pemimpin umat di wilayah kekuasaan Belanda kebutuhannya lebih terjamin. Namun Romo Soegija memilih bergabung dengan rakyat dan ikut revolusi kemerdekaan Indonesia.
Soegija terus memimpin umat Katolik, termasuk di masa perseteruan orang-orang Katolik dengan orang-orang komunis yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Monsinyor (monsignore) Soegijapranoto dianggap berjasa dalam mendapatkan dukungan dari Tahta Suci Vatikan untuk kemerdekaan Indonesia.
“Negara Vatikan adalah salah satu dari negara-negara (Eropa) yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” tulis FX Murti Hadi Wijayanto dalam Soegija in Frame (2012:138)”. Saat itu Georges Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d’Ardoye menjadi perwakilan Vatikan untuk Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan 1949 dan tentara Belanda diharuskan angkat kaki, Soegija kembali ke Semarang.
Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai Uskup Agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II
Romo Soegija meninggal pada 22 Juli 1963, di sebuah biara di Steyl, Belanda. Dua bulan sebelum meninggal, pada 30 Mei 1963, ia menghadiri pemilihan Paus di Vatikan—saat itu Paulus VI yang terpilih. Setelah itu, Soegija mampir ke Belanda dan jatuh sakit di sana hingga ia meninggal.
Presiden RI Sukarno tidak menghendaki Romo Soegija dimakamkan di Belanda. Akhirnya, jenazah Romo kelahiran 25 November 1896 itu diterbangkan ke Indonesia dan dikebumikan sebagai Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Ada proses panjang dalam “melahirkan” Indonesia dan kemudian tahapan “Menjadi Indonesia” setelah lahir tokoh-tokoh nasional berjiwa nasionalis dan tiada semangat sektarian di dalamnya.
Kita rindu pemimpin yang menyatakan luas; pemimpin nasional yang berani keluar dari pagar fanatisme golongannya; pemimpin yang tidak hanya memikirkan kepentingan golongannya sendiri, tetapi berpikir luas untuk seluruh negeri, untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia,” tulis Romo Murti Hadi SJ, penerus oerjuangan Romo Soegija.
Dari Flores, kita mengenal Franciscus Xaverius Seda. Beliau adalah seorang politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, ia aktif sebagai anggota Lasykar KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi) dan anggota Batalyon Paraja/Lasykar Rakyat GRISK/TNI Masyarakat (1945-1950); dikirim Markas Besar Biro Perjuangan di Yogyakarta ke Flores dan Surabaya; menjadi Ketua Pemuda Indonesia di Surabaya; anggota Panitia Pembubaran Negara Jawa Timur dan DPR Sementara Daerah Jawa Timur (RI) mewakili Pemuda; anggota Panitia Kongres Pemuda di Surabaya; peserta Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia I di Yogyakarta (1949-1950); anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Nederland; serta pendiri/pengurus Ikatan Mahasiswa Katolik Indonesia (IMKI) di Nederland (1950-1956).
Franciscus Xaverius Seda—yang lebih dikenal dengan panggilan Frans Seda—dilahirkan di Maumere, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926. Ia belajar di Kolese Xaverius Muntilan dan HBS (Hollandsche Burgerschool) di Surabaya. Gelar sarjana ekonomi diraih dari Katolieke Economische Hogeschool, Tilburg, Nederland (1956).
Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya antara lain adalah Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan Menteri Keuangan (1966-1968) sewaktu awal Orde Baru, serta Menteri Perhubungan (1968-1973) dalam Kabinet Pembangunan I. Frans Seda lahir di Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926 – meninggal di Jakarta, 31 Desember 2009 pada umur 83 tahun.
SAAT INI ada upaya masif dan sistematis penggalangan dan pembentukan opini bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperjuangkan oleh umat Muslim khususnya oleh ulama dan para Habaib.
Sebelumnya lebih buruk lagi mereka menistakan PKI yang mempeloropi perng melaan penjajah dan menyebut partainya sebagai Partai Komunis Indonesia di tahun 1920 – 25 tahun sebelum Republik Indonesia berdiri.
Islam pendatang era 1980an dari Ikhwanul Muslimin dan HTI yang bergabung dengan DI / TII mencoba menisbikan peran warga non muslim dalam perjuangan kerdekaan.
Dalam perang November 1945 di Surabaya, meski dikomando Allahu Akbar” yang turun di medan perang gerilya dari swmua agama.
Bung Tomo, tokoh November 1945 menulis dalam memoarnya bahwa yang berjuang di Surabaya adalah umat Islam, Kristen, Hindu, pribumi, Tionghoa, pejuang, preman bajingan bersatu mengusir penjajah Belanda.
Jangan percaya kampanye kadrun dalam opini opini yang menyesatkan.
Mereka kini gigih menolak suntikan vaksin Covid-19 padahal tanpa mikir nenggak kencing onta. ***